Oleh Nurdiyansah Dalidjo
Situasi Masyarakat Adat kembali bergejolak di Tano Batak (Tanah Batak), Sumatera Utara. Pada awal Juli lalu (7/7/2021), sekitar 750 orang warga adat dan petani di Kabupaten Tapanuli Utara, turun ke jalan. Gelombang protes tersebut hanyalah satu dari serangkaian bentuk kemarahan yang dilontarkan mereka untuk mendesak Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara mendukung penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Di media sosial, tagar #TutupTPL turut mengemuka.
Di Balik Seruan Tutup TPL
Bukan kali pertama bagi Masyarakat Adat berseteru dengan pihak TPL. Konflik bahkan telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade ketika perusahaan pulp (bubur kertas) tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang didirikan pada 26 April 1983. Tidak tanggung-tanggung, perusahaan itu memiliki konsesi seluas 269.060 hektar yang tersebar di 11 kabupaten, yaitu Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara, dan Humbang Hasundutan. Pada awalnya, modal izin perusahaan yang terhubung dengan Sukanto Tanoto itu, adalah SK MENHUT No. SK.493/Kpts/II/1992 dengan periode izin mulai tanggal 1 Juni 1992 sampai 31 Mei 2035 (43 tahun).
Konflik dengan Masyarakat Adat bermula dari lokasi konsesi TPL yang banyak bersinggungan dengan wilayah adat. Salah satu perseteruan yang sempat menarik perhatian banyak pihak, terjadi pada 2009 ketika TPL melakukan penebangan secara brutal terhadap pohon-pohon kemenyan milik Masyarakat Adat di hutan adat Pandumaan dan Sipituhuta di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan. Bagi Masyarakat Adat di sana, hutan yang kerap disebut tombak, merupakan ruang hidup sekaligus sumber penghidupan. Secara turun temurun, mereka telah merawat keberadaan pohon-pohon kemenyan dan menggantungkan perekonomian dari hasil getahnya.
Perselisihan berujung dengan penangkapan sejumlah warga. Penebangan hutan adat dan penanaman eukaliptus oleh pihak perusahaan, terus berlangsung dengan melibatkan aparat kepolisian. Konflik berkepanjangan itu ikut menjadi sorotan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan melakukan Inkuiri Nasional dalam menelusuri proses perampasan hak-hak Masyarakat Adat oleh TPL dan pembumihangusan bukti-bukti klaim adat tersebut. Inkuiri Nasional sendiri adalah penyelidikan yang sistematis dan menyeluruh sebagai upaya Komnas HAM dalam memberikan kontribusi pada upaya penyelesaian kasus Pelanggaran HAM. Bagi Masyarakat Adat, Inkuiri Nasional pada dasarnya ingin menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang menyatakan bahwa penguasaan negara atas hutan adat, bertentangan dengan UUD 1945.
“Kehadiran TPL, dari dulu sudah menimbulkan persoalan dan tidak diterima masyarakat,” ungkap Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (BPH AMAN) Wilayah Tano Batak. Selain menyoal penebangan hutan adat dan penanaman eukaliptus, ia menyinggung pula lokasi pabrik perusahaan yang berada di kawasan hulu Danau Toba.
Pada akhir tahun 1990-an, perlawanan besar dari Masyarakat Adat di Porsea, Toba, pernah terjadi. Saat itu, mereka berhasil memaksa penutupan. Tetapi, selang beberapa tahun, perusahaan datang kembali dengan nama baru: TPL. Rentetan konflik pun hadir lagi.
“Setelah beroperasi itu, hampir tiap tahun kita direpotkan dengan TPL yang merampas wilayah adat, merusak hutan dan lahan pertanian, serta menggusur warga yang tersebar di berbagai kabupaten di Danau Toba. Terakhir, kemarahan memuncak ketika ada tindakan kekerasan dari TPL terhadap Masyarakat Adat di Natumingka, Toba,” ujar Roganda pada wawancara lewat sambungan telepon.
Bentrokan antara Masyarakat Adat dan pekerja TPL tersebut terjadi pada 18 Mei 2021. Pagi di tanggal itu, ratusan warga Natumingka telah berkumpul untuk menghadang sekitar 400 buruh dan petugas keamanaan TPL yang hendak masuk ke tanah leluhur yang diklaim sebagai bagian dari wilayah konsesi perusahaan. Warga tak terima hutan adat mereka ditebang dan ditanami eukaliptus. Ketika warga dengan gigih merapatkan barisan, Roganda menceritakan bagaimana para pekerja TPL kemudian melempari warga dengan kayu dan batu. Sedikitnya terdapat 12 warga adat mengalami luka serius, termasuk para ibu dan lansia.
“Yang melakukan kekerasan itu, adalah TPL,” kata Roganda. “Tapi, seolah mau membalikkan fakta dengan bilang ada karyawan TPL luka, sementara di video yang sudah kita bedah, justru lemparan batu itu dari karyawan TPL sendiri. Jadi, tidak ada warga adat yang melempar dan memukul.”
Video yang dimaksud itu merekam kejadian sebenarnya di lapangan dan telah beredar luas di media sosial. Dari situlah simpati dan dukungan dari berbagai pihak, mengalir hingga melahirkan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL. Aliansi terbangun secara spontan atas solidaritas terhadap perjuangan Masyarakat Adat di Tano Batak dan terdiri dari berbagai individu yang beragam, termasuk pemuda adat, aktivis lingkungan, advokat, politisi, pegiat pariwisata, dan lain-lain.
Aksi Jalan Kaki Toba-Jakarta
Kampanye dan advokasi yang dilakukan oleh Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL pun tak hanya menyasar pada pengorganisiran serangkaian aksi Masyarakat Adat dan petani dalam menuntut para pejabat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah setempat, melainkan turut mendesak Pemerintah Pusat untuk menutup TPL.
Roganda Simanjuntak yang bergabung ke dalam aliansi tersebut, menegaskan bahwa seruan #TutupTPL adalah pula seruan untuk menjaga kelestarian lingkungan di kawasan Danau Toba dan sekitarnya yang pada 2 Juli 2020 lalu ditetapkan sebagai Unesco Global Geopark (UGG) di Paris, Perancis.
“Kerusakan di Danau Toba salah satunya disebabkan oleh kehadiran perusahaan itu,” ungkapnya. “Teman-teman pelaku wisata ikut dirugikan akibat setiap tahunnya ada bencana longsor dan banjir bandang di hilir karena aktivitas TPL di hulu yang menggunduli hutan alam. Warga yang tinggal di sekitar Danau Toba yang dilalui truk-truk (perusahaan), ikut bersuara karena terganggu dan terancam karena truk-truk kayu itu arogan di jalan raya.”
Untuk menjaga seruan tetap bergaung, tiga aktivis lingkungan, yakni Togu Simorangkir, Irwandi Sirait, dan Anita Martha Hutagalung, serta tim pendamping yang terdiri dari 11 orang, melakukan aksi jalan kaki dari Toba menuju Jakarta sebagai bentuk protes. Mereka mulai berangkat sejak 14 Juni 2021.
Perjalanan yang menempuh jarak sekitar 1.700 kilometer itu direncanakan akan memakan waktu sekitar 45 hari. Tujuan mereka adalah menemui Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan secara langsung berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh TPL.
Kepada para wartawan yang meliput, Togu mengutarakan bahwa aksi jalan kaki merupakan bentuk solidaritas sekaligus kegerahan terhadap TPL. “(Lewat) aksi ini, kita meminta pemerintah mencabut izin konsesi TPL,” katanya.
Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, ikut mendukung dan bersuara lantang. Ia berkomentar kalau Presiden Joko Widodo sudah beberapa kali membahas tentang konflik antara Masyarakat Adat dan TPL, sehingga aksi maupun seruan untuk menutup TPL, adalah dukungan terhadap lontaran janji presiden untuk mengembalikan hutan adat kepada Masyarakat Adat.
“Perusahaan melakukan penanaman paksa di wilayah konflik sampai (melakukan tindak) kekerasan. Di tengah pandemi ini, Masyarakat Adat dan para pendukungnya melakukan aksi unjuk rasa di mana-mana. Ini ancaman di tengah pandemi,” kata Abdon pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi IV DPR RI pada 8 Juli 2021. “Jadi, ingatkan pemerintah supaya perusahaan pemegang konsesi, menghentikan dulu operasinya di wilayah konflik sebab itu akan direspon oleh Masyarakat Adat dan masyarakat lokal lewat aksi.”
Tanggal 13 Juni 2021, 23 perwakilan dari komunitas adat bersama AMAN Wilayah Tano Batak dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), telah melakukan pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan para pejabat terkait di Hotel Khas Parapat.
“Kami akan mendengarkan apa yang dialami dan diharapkan oleh Masyarakat Adat, sehingga segera bisa dilakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik,” jelas Siti Nurbaya. Niat baiknya itu tertuang pada Surat Keputusan Menteri LHK RI No. SK.352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang Langkah-langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba.
Sementara itu, Direktur KSPPM Delima Silalahi yang ikut hadir, mengutarakan bahwa Situ Nurbaya dan jajarannya di Kementerian LHK selalu merespon dengan baik pengaduan masyarakat. Ia optimis pada penyelesaian konflik tersebut dengan mengatakan, “Kami sangat berharap ada hasil dari pertemuan ini. Ada upaya serius penyelesaian konflik Masyarakat Adat dan pengembalian wilayah adat kepada Masyarakat Adat.”
Eva Junita Lumban Gaol mewakili Masyarakat Adat, menggambarkan bagaimana konflik telah menimbulkan perselisihan di kalangan Masyarakat Adat sendiri. “TPL membuat rusak hubungan keluarga. Abang-adik tidak saling sapa akibat pecah belah yang dilakukan TPL. Keberadaan konsesi di hutan kemenyan kami juga berdampak pada menurunnya sumber ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan.” Belum usai satu persoalan, tantangan lain juga kian mulai menghantui warga dengan adanya rencana proyek terkait food estate di Tano Batak.
Saat ini, AMAN terus berjuang bersama Masyarakat Adat dalam membangun komunikasi dengan jaringannya. “Kita sudah kerja untuk advokasi terkait hutan adat dan keberadaan konsesi TPL dan sedang berjalan juga advokasi dan kampanye di (tingkat) internasional. Kita sudah lakukan aksi massa di Toba pada 24 Juni dan di Tapanuli Utara padal 7 Juli. Kemudian, kami akan rencanakan aksi di Humbang Hasundutan dan Samosir,” ungkap Roganda Simanjuntak.
***