Sejak awal virus korona terdeteksi di Indonesia pada awal Maret tahun lalu, AMAN telah mengambil langkah cepat dan tegas. Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi segera bergerak dengan mengeluarkan surat instruksi terkait dengan situasi wabah dan bagaimana komunitas adat harus segera bertindak. Seluruh komunitas adat anggota AMAN pun lekas melakukan lockdown ala Masyarakat Adat. Berbagai ritual tutup kampung dan tolak bala, dilangsungkan. Wilayah adat diupayakan agar tetap terkunci dari kedatangan orang luar maupun Covid-19. Para dukun atau tabib ikut berperan dengan mengoptimalkan imunitas warganya lewat ramuan atau obat-obatan herbal.
Sementara itu, selama pandemi ini, kita telah melihat ada banyak pembelajaran yang tergali dan akan terus dipertahankan. Di banyak tempat, para pemuda dan perempuan adat begitu aktif menginisiasi berbagai cara kreatif untuk mencegah penyebaran virus serta mengantisipasi dampak-dampak yang terjadi. Mereka menegaskan posisi sebagai garda depan dalam menghadang situasi krisis, terutama dalam hal kedaualatan pangan. Tentu saja, sebagian besar dari mereka, telah memberikan kontribusi besar di dalam Satuan Tugas (Satgas) AMANkan Covid-19.
Melalui artikel ini, kita akan berbincang dengan Anas Radin Syarif dari Pengurus Besar AMAN yang sekaligus merupakan Ketua Satgas AMANkan Covid-19 di level nasional. Bagaimana satgas ini bekerja dan seperti apa kerja-kerja yang selama lebih dari setahun terakhir ini dilakukan oleh tim-tim satgas yang tersebar di berbagai kampung di Nusantara?
Tentang Satgas AMANkan Covid-19
Dalam mengantisipasi wabah dan dampaknya, AMAN membentuk satuan tugas khusus untuk penanganan pencegahan sebaran virus korona, yaitu Satgas AMANkan Covid-19. Satgas bekerja melalui tim-tim di tingkat kampung. Lewat dukungan yang diberikan, kerja-kerja yang dilakukan oleh berbagai tim itu juga beragam dan disesuaikan dengan situasi maupun sumber daya di kampung. Hal tersebut tidak terbatas pada edukasi dan proteksi komunitas terkait tujuan mencegah penyebaran atau masuknya korona ke wilayah adat, tapi mengantisipasi dampak yang mungkin ditimbulkan dari situasi krisis Covid-19 terhadap Masyarakat Adat.
“Melihat ada kasus di Indonesia, kemudian Sekjen menghentikan semua kegiatan yang saat itu kita rencanakan menjelang Rakernas (Rapat Kerja Nasional),” ujar Anas menjelaskan awal mula lahirnya inisiatif pembentukkan Satgas AMANkan Covid-19. “Karena kondisi kian parah dan kasus meningkat, Sekjen keluarkan instruksi kepada seluruh staf, organsiasi sayap, dan komunitas untuk melakukan karantina wilayah, melangsungkan ritual tolak bala, dan menjaga stok pangan.”
Pad level nasional, Satgas AMANkan Covid-19 dibantu oleh sejumlah koordinator wilayah, di mana setiap wilayah itu akan komunikasikan pembentukkan tim-tim di daerah dan kampung. Pada Juli 2020, AMAN memiliki 87 tim. Jumlah itu pun telah kian berkembang seiring berjalannya waktu dan kemungkinan masih akan bertambah dengan situasi pandemi yang belum berakhir.
“Satu tim itu minimal ada tiga orang, ada yang lima dan tujuh orang, tergantung kebutuhan mereka.” Anas mengungkapkan bahwa tim tersebut tidak juga harus berdasarkan pada pengurus di daerah maupun wilayah. “Misalnya di Bengkulu, tim di sana hanya di tingkatan PW (Pengurus Wilayah AMAN) karena kerja-kerja sudah terintegrasi antara PW dan PD (Pengurus Daerah AMAN), sehingga cuma dibentuk satu tim dan cukup banyak orangnya. Tim ini melibatkan pemuda adat dan perempuan adat. Idealnya, dikelola atau dipimpin oleh teman pengurus AMAN, Ketua BPH (Badan Pengurus Harian AMAN) atau OKK (Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan AMAN). Tapi, kalau BPH atau OKK di daerahnya tidak tidak bisa, maka BPAN, PEREMPUAN AMAN, atau kader bisa bentuk langsung, bahkan komunitas pun bisa.”
Tim Satgas AMANkan Covid-19 akan memonitoring situasi dan membuat perencanaan terkait dukungan protokol kesehatan, seperti mencuci tangan, memakai masker, dan lainnya serta strategi lain terkait kedaulatan pangan.
Lalu, sejauh ini bagaimana situasi dan kerentanan keterpaparan Masyarakat Adat pada sebaran virus korona?
“Ada kondisi daerah-daerah yang jauh dari akses kesehatan, maka perlu antisipasi,” jawabnya. “Pertama, kita perketat lockdown itu harus tetap dilaksanakan, penjagaan kampung diperketat, apalagi di pulau kecil. Karena ada kasus di Mentawai, masuk satu orang dari luar, itu pun panik karena fasilitas kesehatan di sana tak ada. Sehingga, yang diduga terkena virus, dilarikan ke Padang dan itu perlu memakan waktu lama. Juga, teman-teman Masyarakat Adat yang terancam punah terkait keterancamannya terhadap stok pangan. Mereka akan kesulitan karena akses terhadap lahan untuk menghasilkan pangan sangat terbatas. Bagi komunitas-komunitas yang selama ini mengandalkan penghasilan dari menjual karet, getah gaharu, atau terpaksa menjadi buruh sawit, ini sekarang susah menjualnya dan harganya turun. Di sisi lain, kebutuhan-kebutuhan pokok mereka harus dipenuhi dari luar dan harganya lebih tinggi dari saat normal. Itu yang buat semakin rentan terhadap pangan di komunitas tersebut.”
AMAN pun menaruh perhatian lebih terhadap komunitas-komunitas dengan kerentanan tinggi, termasuk mereka yang masuk dalam kategori Masyarakat Adat terancam punah maupun yang berada di pulau-pulau kecil.
“Komunitas yang rentan itu memang rentan karena kondisi sebelum Covid-19, sudah parah. Di sisi lain, banyak komunitas yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap kondisi Covid-19.”
Ketua Satgas AMANkan Covid-19 itu mengungkapkan kisah sukses dari Masyarakat Adat Talang Mamak dan Sakai yang terancam punah. Menariknya, justru di tengah situasi pandemi, gerakan Masyarakat Adat di sana kian menguat di tingkat akar rumput lewat pembentukkan tim dan kerja-kerja tim.
“Mereka bisa memanfaatkan lahan-lahan yang kembali mereka kelola untuk menghasilkan pangan,” sambung Anas. Menurutnya, jika kehidupan maupun ruang hidup Masyarakat Adat tidak diganggu, Masyarakat Adat sebenarnya sangat mampu bertahan di tengah kondisi krisis. “Dengan praktik anak muda dan komunitas di beberapa tempat, itu mereka bisa survive (bertahan hidup), bahkan mereka bisa mengatasi kondisi secara mandiri melalui pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Terkait obat tradisional, mengapa ditekankan oleh Sekjen AMAN, pertama, karena bahan obat tradisional ini melimpah dan cara pengobatan tradisional bisa dilakukan. Kita juga instruksikan Masyarakat Adat untuk mengeksplorasi tanaman-tanaman obat.”
AMAN juga tengah mengupayakan kerja sama dan advokasi, terutama dengan Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, dan berbagai organisasi penyelenggara vaksinasi, terkait dengan dorongan pada kebijakan khusus vaksinasi bagi Masyarakat Adat.
Selama pandemi, secara masif dan terstruktur Masyarakat Adat di kampung-kampung mengoptimalkan pengelolaan wilayah adat. Banyak dari mereka, terutama pemuda adat – lelaki maupun perempuan – dengan percaya diri menggarap kebun dan ladang. Panen-panen pangan sedang terjadi di berbagai komunitas adat bersamaan dengan kerja-kerja terkait pendokumentasian dan lain-lain, termasuk pengorganisasian, kampanye, dan advokasi lewat pemanfaatan perpaduan pengetahuan lokal dan teknologi modern yang melahirkan serangkaian inovasi dan kisah sukses perjuangan Masyarakat Adat di kampungnya.
***
Oleh Nurdiyansah Dalidjo