Jumat, 30 Juli 2021
Setelah 44 hari melakukan Aksi Jalan Kaki Tutup PT Toba Pulp Lestari, 11 perwakilan warga dari Tano Batak, di kawasan Danau Toba–yang menamakan diri Tim 11 Ajak Tutup TPL–tiba di Jakarta pada Selasa, 27 Juli 2021 usai menempuh perjalanan 1.700 kilometer dari Danau Toba, Balige, Sumatera Utara. Tiga orang dari mereka, antara lain Togu Simorangkir, pegiat literasi dan penerima Anugerah Kick Andy Heroes 2019; Anita Martha Hutagalung (Oni), ibu rumah tangga dan penulis perempuan; serta Irwandi Sirait, penyandang disabilitas dan aktivis lingkungan.
Tak lama berselang, turut tiba di Jakarta adalah Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak; Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM); dan Pendeta Faber Manurung, korban kekerasan TPL.
Kedatangan mereka telah disambut hangat masyarakat Jakarta dan rekan-rekan aktivis yang ikut mendukung Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) Tutup TPL, sebuah aliansi yang terdiri dari berbagai individu lintas bidang dan terbangun atas solidaritas perjuangan Masyarakat Adat yang selama puluhan tahun berjuang mempertahankan wilayah adat sebagai ruang hidup mereka dan kelestarian lingkungan di Danau Toba dan sekitarnya.
Seruan #TutupTPL
Tuntutan terhadap pencabutan izin operasional pabrik dan konsesi PT TPL kali ini, bukan yang pertama. Perampasan tanah Masyarakat Adat oleh perusahaan yang terhubung dengan Sukanto Tanoto itu, telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade ketika perusahaan pulp (bubur kertas) tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang didirikan pada 26 April 1983.
Awalnya, perusahaan itu memiliki konsesi seluas 269.060 hektar yang tersebar di 11 kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara, dan Humbang Hasundutan, melalui SK MENHUT No. SK.493/Kpts/II/1992 dengan periode izin dari 1 Juni 1992 sampai 31 Mei 2035. Konflik bermula dari lokasi konsesi yang banyak bersinggungan dengan wilayah adat.
Pada era 1990-an, perlawanan besar dari Masyarakat Adat Porsea, Toba, pernah terjadi dan berhasil memaksa penutupan IIU. Tetapi, perusahaan kembali datang dengan nama baru: TPL. Pada 2009, perseteruan pecah lagi ketika TPL melakukan penebangan secara brutal terhadap pohon-pohon kemenyan dan penanaman ekaliptus di hutan adat yang menjadi ruang hidup sekaligus sumber penghidupan Masyarakat Adat Pandumaan dan Sipituhuta di Pollung, Humbang Hasundutan. Perselisihan itu berujung pada kriminalisasi sejumlah warga.
Belakangan, kemarahan Masyarakat Adat terulang lagi di Natumingka, Toba pada 18 Mei 2021 saat mereka menghadang sekitar 400 buruh/petugas keamanan TPL yang hendak menerobos wilayah adat yang diklaim sebagai bagian dari konsesi perusahaan. Warga yang kala itu tengah melindungi hutan dan makam leluhur, kemudian dilempari kayu dan batu oleh para pekerja TPL. Sedikitnya terdapat 12 warga mengalami luka serius, termasuk para ibu dan lansia.
Kehadiran TPL tidak hanya berdampak serius pada kerusakan lingkungan Kawasan Danau Toba serta kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, tetapi juga menghancurkan kebudayaan Batak dan perekonomian warga yang berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidup dari getah pohon kemenyan di hutan adat dan pasokan air yang bersumber dari hulu Danau Toba, di mana TPL membangun pabriknya dan membuang limbah. Keberadaan konsesi di hutan kemenyan juga berdampak pada menurunnya sumber ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan.
Dukungan dari Berbagai Organisasi
Tuntutan penutupan PT TPL juga mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, khususnya dari berbagai organisasi di tingkat nasional. Keberadaaan PT TPL yang telah banyak melakukan perampasan wilayah adat, pencemaran lingkungan, hingga kriminalisasi warga sekitar dinilai menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk menutup perusahaan tersebut.
Pada acara konferensi pers yang juga menghadrikan TIM 11 TUTUP TPL, mereka secara tegas menyatakan akan melanjutkan perjalanannya ke Istana Negara yang tersisa 8 kilometer lagi untuk menuntaskan misi bertemu langsung Presiden Jokowi dan menyampaikan langsung aspirasinya untuk menutup PT TPL. “Terima kasih atas dukungannya kepada kami, dan perjuangan ini bukan hanya perjuangan Banso Batak, namun perjuangan masyarakat Indonesia untuk menjaga bumi. Masih ada 8 kilometer lagi langkah kami menuju Istana Negara untuk meminta Presiden Jokowi segera menutup PT TPL,” ujarnya mewakili TIM 11 TUTUP TPL.
Apresiasi dan dukungan disampaikan secara langsung dalam acara yang bertajuk Salam Sabut dan Konferensi Pers Tutup TPL yang menghadirkan perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan juga dari masyarakat Batak yang ada di Indonesia yang menyambut dan mengapresiasi aksi jalan kaki yang dilakukan oleh TIM 11 AJAK TUTUP TPL, dan mendukung perjuangan masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba untuk menutup PT TPL.
Sambutan dan dukungan tak hanya diberikan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang memang selama ini telah bersama-sama dalam Aliansi GERAK TUTUP TPL berjuang menuntut penutupan PT TPL. Dukungan juga muncul dari Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Lamsiang Sitompul, Horas Bangso Batak, juga dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Rainforest Action Network (RAN), Green Peace Indonesia, dan berbagai organisasi lain.
Dalam sambutannya, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan bahwa aksi TIM 11 TUTUP TPL adalah lambang perjuangan Masayrakat Adat dan cermintan dari apa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam melindungi tanah leluhur. “Sebagai anak-anak yang lahir dari sejarah leluhur kita, tugas kita yang paling mulia adalah membela tanah leluhur kita. Aksi Tutup TPL ini adalah puncak gunung es, di tengah pandemi mereka terus melakukan perampasan wilayah adat. TPL adalah salah satu dari banyak perusahaan yang sampai saat ini terus melakukan perampaasan wilayah adat di seluruh Nusantara, dan oleh karenanya pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi penting agar peristiwa-peristiwa serupa tak lagi terulang. Terima kasih kepada Togu Simorangkir, Anita Hutagalung, dan Irwandi Sirait yang telah melakukan perjalanan perjuangannya menutup PT TPL,” ujarnya.
Sementara itu Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), merasa terhormat bisa bertemu dengan teman-temannya pejuang dari Tano Batak. Ia menyotori bahwa pada masa pandemi ini rakyat harus berjalan kaki menjemput keadilan karena PT TPL perampasan tanah di masa pandemi. “Tanah adalah harga diri, atas nama KPA, kami mendukung perjuangan menutup PT TPL. Ini adalah amanat reformasi di mana Indorayon sebelumnya telah ditutup, tapi terjadi penghianatan reformasi dengan beroperasinya kembali Indorayon dengan nama PT TPL. Sudah tak terhitung kerugian, kekerasan, kehilangan yang dialami Masyarakat Adat dan masyarakat di kawasan Danau Toba. Negara di tengah situasi krisis berlapis yang dialami oleh masyarakat, pemerintah harus mendengar dan bertindak tegas. Saya berkomitmen dan bersama Aliansi GERAK TUTUP TPL, TIM 11, untuk memastikan kemenangan rakyat. Dan mengajak seluruh elemen masyarakat di Indonesia, buruh, tani, nelayan, mahasiswa untuk bersatu mendukung aksi-aksi penutupan TPL sebagai bagian dari amanat reformasi,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional yang menyampaikan salam hormat dari WALHI di seluruh Indonesia kepada TIM 11 TUTUP TPL yang telah berjuang berjalan dari Toba ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi bagi masyarakat yang menjadi korban TPL. Nur Hidayati menyoroti kerusakan lingkungan, pencemaran, kekerasan, pelanggaran HAM, kriminalisasi, yang menjadi potret bagaimana negara mengelola sumber daya alam.
“Presiden harus mendengarkan suara-suara dari rakyat Tano Batak. Tanah dan lingkungan yang selama ini didiami harus bisa diwariskan pada generasi di masa yang akan datang. Kita satu nasib dan sepenanggungan dan kita harus memastikan Presiden mau menerima TIM 11 untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung untuk menutup PT TPL. Mari kita satukan langkah untuk memastikan bahwa PT TPL ini akan menjadi sejarah pahit yang tidak akan terulang lagi di Indonesia,” imbuhnya.
Pernyataan Narasumber dalam Konferensi Pers TUTUP TPL
Maruap Siahaan – Ketua Yayasan Pecinta Danau Toba
Kami mendukung penuh dengan tulus, iklas, dan mendalam atas perjuangan TIM 11 AJAK TUTUP TPL. Selamat datang, kalian adalah simbol perlawanan dan jantung semangat Tutup TPL. Kehadiran TPL lebih dari 35 tahun telah merampas tanah ulayat adat dan mencemari lingkungan Danau Toba. Saya ajak kita semua di seluruh negeri untuk bersatu padu dengan satu langkah mempertahankan tanah ulayat dan menjaga dunia yang ramah lingkungan dengan satu kata, Tutup TPL selamanya. Kepada Presiden Jokowi, tutup TPL agar kita mencatatkan sejarah bagi lingkungan dan kemanusiaan.
Lamsiang Sitompul – Horas Bangso Batak
Kehadiran TIM 11 kita harapkan bisa menyatukan Bangso Batak di mana saja untuk satu suara tutup TPL. Ini adalah tanggung jawab Bangso Batak di manapun berada. Kita minta kepada pemerintah sekarang untuk segera memutuskan tutup TPL.
Togu Simorangkir – Peserta Aksi Jalan Kaki, TIM 11 AJAK TUTUP TPL
Saya mewakili TIM 11, menyampaikan terima kasih atas sambutannya hari ini. Bagi saya yang seorang petani, kami berinisiatif untuk melakukan aksi ini dengan tulus, tak ada yang bayar, hanya untuk satu tujuan kelestarian kawasan Danau Toba. Ini adalah bagian dari penyadaran dan kampanye ke publik bahwa kawasan Danau Toba tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kita ingin menyampaikan dan silaturahmi langsung kepada Presiden sebagai rakyat. Kita tidak merasa lebih hebat dari perjuangan tutup TPL yang lainnya, kita semua sama karena ini tentang perjuangan kita bagi generasi yang mendatang. Dukungan luar biasa dari masyarakat selama perjalanan kami. Bumi anak saya memaksa ikut, walau saya tidak pernah mengajaknya. Tapi dia mau ikut berjuang bagi generasinya. Kami masih menunggu kabar dari Istana untuk menemui kami dan masih ada 8 kilometer lagi perjalanan perjuangan kami menuju Istana Negara. Kita doakan bagi teman-teman kita yang bekerja di PT TPL dan saat nanti tutup, bisa mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang lebih baik. Lindungi Danau Toba, Selamatkan Bangso Batak.
Anita Hutagalung – Peserta Aksi Jalan Kaki, TIM 11 AJAK TUTUP TPL
Terima kasih atas sambutannya untuk rekan-rekan semua. Ketika saya membaca unggahan Togu Simorangkir yang ingin melakukan aksi jalan kaki, saya sampaikan langsung saya ingin ikut. Sebelum melakukan aksi, kami berdoa pada leluhur meminta restu untuk perjuangan kami. Ini bukan hanya perjalanan TIM 11 untuk misi tutup TPL, tapi perjuangan kita semua, perjuangan bangso Batak. Banyak dukungan dalam perjalanan kami dan bukan hanya dari orang Batak saja. Ada yang menjamu makan, ada yang memberikan bekal, dll, hingga dukungan dari masyarakat setibanya kami di Jakarta. Dukungan juga hadir dari anak-anak saya sebelum melakukan aksi. Saya sangat salut pada perjuangan orang-orang sebelumnya untuk menutup Indorayon.
Delima Silalahi – KSPPM Parapat
TIM 11 adalah bagian dari Aliansi GERAK TUTUP TPL. Ini adalah momentum bagi kita untuk membangun gerakan masyarakat sipil yang lebih luas. Dengan aksi jalan kaki ini, kita semua kembali bersatu bagi semua masyarakat yang peduli pada lingkungan dan kelestarian di kawasan Danau Toba. Kami mendukung TIM 11 sampai Presiden Jokowi untuk menerima mereka. Kami melihat bahwa Presiden harus mendengar langsung dari rakyatnya tentang apa yang sebenarnya dilakukan TPL di sana, karena sudah banyak surat dan audiensi yang kami lakukan pada lembaga negara, sehingga jalan untuk bertemu langsung pada Presiden menjadi jalan baru yang ditempuh. Toba akan lestari tanpa ada PT TPL.
Roganda Simanjuntak – AMAN Tano Batak
Aliansi GERAK TUTUP TPL yang terdiri dari Masyarakat Adat, petani, pegiat lingkungan, pegiat wisata, yang selama ini terancam aktivitas PT TPL yang selama puluhan tahun merusak kawasan Danau Toba. Ini harus segera direspon oleh Presiden Jokowi, jika ingin masyarakat Danau Toba sejahtera maka PT TPL harus ditutup segera. Mendesak Presiden Jokowi untuk menutup PT TPL. Terima kasih atas dukungan pada kami bagi rekan-rekan yang ada di Jakarta.
Pendeta Faber Manurung – Salah Satu Korban PT TPL
Puji tuhan TIM 11 telah sampai di Jakarta dengan selamat. Kampung saya di Parbulu, mengalami bombardir dari PT TPL sejak 34 tahun lalu, kami tidak berdaya karena begitu kuatnya PT TPL. Tapi kami masih percaya kepada Tuhan dan sejak tahun 2000 sudah mengingatkan PT TPL ini, dan mereka memang tidak menghargai manusia sebagai manusia. Kampung kami, tanah adat kami 20 hektar yang tak pernah jual beli, dirampas begitu saja. Tanah kuburan kami dibuat tembok oleh PT TPL. Dan mereka mengatakan tidak ada pencemaran. Saya sangat bersyukur kita semua ada di sini, termasuk pada TIM 11 yang punya empati yang tinggi pada rakyat. Tanah itu adalah kehidupan dan darah bagi kami, kami makan dari sana, namun setelah ada PT TPL bahkan kami harus membeli air. Inilah tangisan yang luar biasa selama 34 tahun. PT TPL harus ditindak dan negara harus menutup tegas. Permainan mereka cukup luar biasa. Tiga kali saya sudah surati Presiden Jokowi dan belum ada kabar dari Presiden. Melalui pertemuan ini, mudah-mudahan Tuhan mendengarkan suara kita dan memberikan kembali hak hidup kami. Kita harus menghentikan narasi PT TPL yang bisa bermain ke segala arah dengan uangnya. Mereka bukan Tuhan, seharusnya menghargai alam dan manusia sebagai ciptaan Tuhan.
***