AMAN – Masyarakat Adat Tano Batak dan berbagai gerakan sosial-lingkungan bergolak menuntut agar pabrik pulp PT Toba Pulp Lestari Tbk. (TPL) ditutup. Perusahaan pulp ini dinilai sudah terlalu lama dan semena-mena menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik sosial di kawasan Danau Toba.
Pergolakan gerakan AJAK TUTUP TPL ini dipicu insiden yang terjadi di Natumingka, Kec. Borbor, Kab. Toba, 18 Mei 2021 lalu. Dalam insiden itu rombongan karyawan TPL yang mau melakukan penanaman ekaliptus bentrok dengan kelompok Masyarakat Adat yang mempertahankan tanah ulayatnya. Bentrokan itu diwarnai pelemparan batu, sehingga 8 orang warga Masyarakat Adat Natumingka mengalami luka-luka.
Hal yang memprihatinkan, aparat kepolisian hadir di lokasi, tapi tidak mampu mencegah bentrokan yang agak barbar itu. Peristiwa itu seperti melukai perasaan masyarakat Batak dan memicu lahirnya berbagai aksi dan gerakan menuntut TPL ditutup.
Berbagai Gerak Penolakan
Gerakan Ajak Tutup TPL bermunculan spontan dalam bentuk aksi nyata dan penggalangan dukungan di media sosial. Tanggal 22 Mei sekelompok pemuda yang menamakan diri Aliansi Perjuangan Pemuda Toba melakukan aksi dan pemasangan spanduk berisi tuntutan penutupan TPL di Pematang Siantar. Aksi itu diikuti sekelompok mahasiswa yang melakukan aksi pencegatan truk-truk logging TPL yang lewat di kota tersebut, pada 5 Juni 2021.
Tanggal 31 Mei, utusan yang menamakan diri Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL menemui Ketua MPR untuk mengajukan tuntutan yang sama. Aliansi ini juga menggalang dukungan melalui berbagai kegiatan di media sosial, antara lain membuat grup WA dan melakukan webinar. Aliansi ini, bersama berbagai elemen masyarakat melakukan unjuk rasa ke kantor Bupati dan DPRD Toba, pada 29 Juni 2021.
Tanggal 10 Juni, sekelompok mahasiswa Aliansi Mahasiswa Peduli Danau Toba melakukan unjuk rasa di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutatan (KLHK) Jakarta, menuntut pencabutan ijin TPL.
Tanggal 16 Juni 2021, Masyarakat Adat Sihaporas, melakukan aksi tutup jalan dan pemasangan spanduk di hutan ekaliptus di wilayah adat mereka. Masyarakat Adat Sihaporas komunitas yang sering mengalami intimidasi dan kriminalisasi dari TPL.
Sementara itu, Masyarakat Adat Natumingka menyampaikan pengaduan ke Polda Sumut, karena menilai pengaduan atas kekerasan yang mereka terima tidak mendapat respon yang baik dari Polres Toba. Kabar terakhir, pengaduan itu juga disampaikan ke Bareskrim Mabes Polri.
Tak kalah geram, aktivis lingkungan dan penggiat literasi Togu Simorangkir, bersama aktivis sosial dan lingkungan Anita Martha Hutagalung dan Irwandi melakukan aksi jalan kaki dari Toba ke Jakarta. Mereka, yang menamakan diri AJAK Tutup TPL bertekad menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara, untuk menyampaikan tuntutan TPL ditutup.
“Ini bukan sekedar karena kasus Natumingka. Kasus Natumingka adalah akumulasi dan puncak kemarahan dan kegeraman bangso Batak yang lingkungannya hancur, Masyarakat Adatnya diporak-porandakan tanah ulayatnya. TPL harus ditutup,” kata Togu (lihat: Aksi Jalan Kaki Toba – Istana)
Akumulasi Dosa TPL
Sejak awal beroperasi, bahkan sejak perencanaan, perusahaan pulp yang pabriknya berlokasi di Porsea ini memang sudah menuai kontroversi dan tentangan. Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup ketika itu, dan ahli lingkungan Prof. DR. Otto Soemarwoto diberitakan menolak rencana ini.
Hutan di kawasan Danau Tona, Tano Batak umumnya adalah hutan alam yang berkontur lembah dan bukit dengan tebing-tebing curam (bukan hamparan datar) yang rawan gundul dan longsor. Hutan-hutan tersebut sangat dibutuhkan untuk sumber air bagi kehidupan, pertanian, dan suplai air untuk Danau Toba.
Tapi, di jaman Orde Baru, tidak ada yang bisa membendung sesuatu yang sudah mendapat restu Presiden Soeharto. Tanggal 19 November 1984 PT Inti Indorayon Utama (IIU), nama awal PT Toba Pulp Lestari (TPL), mendapat hak penguasaan hutan (HPH) seluas 150.000 hektar, mencakup hutan pinus Merkusii di berbagai kapupaten di Sumatera Utara. Tahun 1992, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap memperluas ijin ini menjadi 269.060 hektar.
Tanggal 13 November 1986, PT IIU mendapat ijin operasi sebagai industri pulp (sebagai bahan baku kertas) dan rayon (sebagai bahan baku tekstil) melalu surat keputusan bersama (SKB) Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT (BJ Habibie) dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Emil Salim).
Tanggal 14 Desember 1989, pabrik Indorayon bersama tujuh pabrik pulp dan rayon lain diresmikan Presiden Soeharto di Desa Nisam, Lhokseumawe, Aceh. Tapi jauh sebelum peresmian itu, sejak beroperasi Indorayon sudah menuai banyak tentangan dan konflik.
Sebabnya, hutan-hutan dan tanah di Tano Batak mayoritas tanah ulayat milik marga-marga dan huta (kampung). Kepemilikan tanah di Tano Batak berkaitan dengan geneologis. Itu sudah menjadi hukum positif tenurial dalam masyarakat Batak selama puluhan generasi, beratus-ratus tahun. Sementara pemberian konsesi HPH kepada PT IIU tidak melalui pemetaan dan penetapan batas-batas.
Konflik-konflik pertanahan, pabrik yang menimbulkan bau busuk sampai puluhan kilometer, jebolnya dam penampung limbah dan meledaknya tabung gas klorin, sempat menimbulkan demontrasi besar dan konflik yang memakan korban jiwa. Industri pulp dan rayon memang industri “kotor” yang tidak seharusnya berada di hulu.
Tapi Indorayon terus jalan dengan berbagai trik adu domba antara masyarakat ada yang menolak dan mendukung, intimidasi, dan kriminalisasi. Beberapa tokoh masyarakat yang menentang Indorayon dari berbagai wilayah diadili dengan berbagai tuduhan berbau rekayasa. Sementara aparat pemerintah dan keamanan lebih sering berperan sebagai humas perusahaan. Indorayon terus berjalan dengan berbagai persoalan yang tak kunjung terselesaikan.
Berbagai pengaduan tentang konflik dan degradasi lingkungan yang ditimbulkan Indorayon di kawasan Danau Toba membuat Presiden BJ Habibie menutup operasional Indorayon pada Maret 1999. Tapi Mei 2002, sidang kabinet pada masa pemerintahan Presiden Megawati menyetujui Indorayon beroperasi kembali. Nama PT Inti Indorayon Utama (IIU) diganti menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Ditetapkan TPL tidak lagi memproduksi rayon, hanya pulp.
Akal Sehat Penutupan
Para ahli dan aktivis lingkungan terus menyuarakan kerusakan ekologis yang ditimbulkan TPL di Kawasan Danau Toba. Tanaman monokultur ekaliptus telah menghilangkan flora dan fauna endemik Kawasan Danau Toba. Tanaman ini menghisap air tanah dengan rakus untuk pertumbuhannya, sehingga sungai-sungai di kawasan yang ada hutan ekaliptus mengecil, bahkan mengering. Sementara kalau curah hujan tinggi menjadi banjir.
Perkebunan ekaliptus juga diduga mengakibatkan pencemaran limbah pupuk dan pestisida berjumlah besar. Belum lagi truk-truk logging TPL yang menimbulkan kerusakan jalan dengan muatan over tonase. Tapi TPL seperti perusahaan “the untouchables”.
Terasa ironi, karena pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan Kawasan Danau Toba sebagai Kawasan destinasi wisata unggulan, bahkan sampai membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba melalui Kepres. Bagaimana sebuah kawasan yang yang menjadi destinasi wisata dibiarkan mengalangi degradasi lingkungan dan ekologi?
“Sudah saatnya TPL dihentikan, demi lingkungan dan kehidupan masyarakat kawasan Danau Toba saat ini dan di masa mendatang. Percayalah, setelah TPL tutup, hidup Bangso Batak, Tano Batak, Danau Toba akan jauh lebih baik, jauh lebih sejahtera. (Itu) harus ada dalam pikiran kita, harus ada dalam mimpi kita, harus ada dalam doa kita,” kata Togu dalam siaran langsung aksi jalan kaki Ajak Tutup TPL.
Analis keuangan Elisa Lumbantoruan, dalam wawancara visual yang dipublikasi Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) memberi alasan rasional dengan merujuk pada Laporan Akhir Tahun 2019 PT Toba Pulp Lestari Tbk. Menurut laporan tersebut PT TPL merugi, atau tidak untung, yang berarti tidak perlu membayar pajak. Tapi masih memiliki pajak terhutang 57.000 $ US. Tenaga kerja tetap TPL hanya 600-an orang dan tenaga lepas 400-an orang.
Menurut Elisa, perusahaan yang merugi, dengan konsesi begitu besar, dengan jumlah pekerja sedikit, tapi menimbulkan kerugian ekologis dan sosial besar, akal sehatnya tidak perlu untuk negara. “Dari sisi manfaat sebenarnya perusahaan ini tidak ada. Ini bukan lagi industri strategis,” ujar Elisa.
Sebenarnya, “dosa-dosa” TPL sudah terang-benderang. Tinggal akal sehat dan tindak nyata keputusan pemerintah.
Nestor Rico Tambunan