Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat terjadi lagi. Kali ini, hal tersebut menimpa Masyarakat Adat Agabag Sebuku di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Kasus bermula dari perusahaan perkebunan PT Karangjoang Hijau Lestari (KHL) yang melaporkan 17 warga Masyarakat Adat Agabag atas pencurian sawit di lahan HGU yang diklaim sepihak oleh perusahaan. Dari 17 orang yang dilaporkan, lima orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Yohanes sebagai Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Kalimantan Utara, menjelaskan kronologis persoalan. “Sebenarnya persoalan sudah lama terjadi di Masyarakat Adat Agabag,” ujarnya melalui wawancara lewat sambungan telepon. “Itu mulai memuncak pada Desember 2020 ketika mereka dilaporkan melakukan pencurian sawit.” Yohanes mengungkapkan bahwa Masyarakat Adat di sana dijerat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Padahal, Masyarakat Adat meyakini bahwa mereka memanen sawit yang mereka tanam di kebun-kebun yang berada di wilayah adat mereka secara turun temurun.
Tetapi, Yohanes tidak begitu saja menerima. Ia melakukan konsultasi hukum ke AMAN, mengumpulkan data, dan mengonsolidasi lima desa yang terkait dengan kasus. Kelima desa itu adalah Desa Bebanas, Desa Sojau, Tretaban, Melasu Baru, dan Lulu. Untuk menjangkau lokasi tersebut, Yohanes melakukan perjalanan dengan motor sekitar 12 jam dan dilanjutkan dengan speed boat selama 1,5 jam.
“Januari 2021, saya mulai mengorganisir bersama PD (Pengurus Daerah) AMAN Agabag. Lalu hingga Februari, kita identifikasi kronologis di desa-desa dan terhadap orang-orang yang dilaporkan oleh PT KHL,” ungkap Yohanes.
Ia menemukan kejanggalan, di mana satu orang warga yang dilaporkan mencuri sawit perusahaan, ternyata tengah mengalami sakit stroke sejak 2018.
Dalam melalui proses yang panjang, berbelit, dan banyak menguras energi itu, Yohanes tidak sendirian. Ia dibantu oleh tim advokat dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) – sebuah organisasi sayap AMAN yang beranggotakan pengacara atau advokat yang membela Masyarakat Adat – dan Tariu Borneo Bangkule Rajangk (TBBR) – sebuah organisasi masyarakat setempat yang banyak beranggotakan pemuda-pemuda Dayak.
Yohanes mengaku bahwa kala itu warga dalam keadaan tertekan dan diliputi ketakutan atas tuduhan pencurian. Mereka bahkan sempat disarankan oleh kelompok tertentu agar menolak tawaran AMAN untuk pendampingan. “Masyarakat tak paham, takut. Jadi apa pun yang diminta, dilakukan,” kata Yohanes menggambarkan situasi yang dihadapi warga. Ia menuturkan kalau masyarakat sempat diminta menandatangani pernyataan bahwa mereka benar melakukan pencurian dan meminta maaf pada pihak PT KHL. “Saat itulah mereka ditahan di Polres Nunukan.”
Berbagai upaya pun dilakukan. Yohanes bersama tim pendukung turut melakukan audiensi ke DPRD Kabupaten Nunukan dan sempat melakukan aksi dengan sekitar 100 massa. Rekomendasi dari pertemuan itu adalah meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menurunkan tim investigasi ke lokasi. Mereka juga mendesak agar kampung, kebun, dan tanah yang berada di wilayah adat Masyarakat Agabag, dikeluarkan dari HGU. Desakan itu punya alasan kuat mengingat kedudukan Masyarakat Adat diakui dan dihormati oleh negara mengacu pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Selain dengan DPRD Kabupaten Nunukan, Yohanes dan tim juga melakukan pertemuan dengan Wamen ATR/BPN Surya Tjandra yang kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian kunjungan dan mediasi. Sementara itu, Masyarakat Adat di sana pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan berbagai ritual adat dan puncaknya adalah aksi penutupan dua pabrik PT KHL oleh sekitar 200-300 orang.
Perjuangan akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 24 Juni 2021, Pengadilan Negeri Nunukan memutuskan empat warga Masyarakat Adat Agabag Sebuku, yaitu Kual, Singgung, Bapuli, dan Abetman, bebas murni atas tuduhan yang dilaporkan PT KHL.
Kita yang mendampingi, harus fokus sebab di kampung dibuat kacau dan bentrok. Warga sudah dikotak-kotakkan,” ungkap Yohanes memetik pembelajaran dari kasus yang menimpa Masyarakat Adat Agabag. Selain itu, ia juga berpesan agar pendamping perlu menyemangati masyarakat untuk terus mendukung dan bergerak bersama. “Kita bilang aksi, mereka dukung, termasuk di pengadilan, di mana di tiga persidangan terakhir itu kita barengi dengan aksi. Lobi kita tetap jalan sambil fokus organisir kekuatan di kampung dan lapangan, bahkan di kota, jadi kita hearing ke DPRD dan kita ribut.”
Pengorganisiran masyarakat dan pembuktian lewat data dan dokumen yang ditelusuri dan dipelajari bersama dengan tim advokat PPMAN dan TBBR, juga ia akui menjadi kunci kemenangan.
Setelah divonis bebas, Yohanes mendapat kabar bahwa Masyarakat Adat Agabag menyampaikan terima kasih kepada AMAN dan akan melakukan syukuran acara adat.
Merespon keputusan tersebut, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi turut mengucapkan rasa syukur dan puji Tuhan.
“Mewakili Pengurus AMAN Provinsi Kalimantan Utara sebagai pendamping Masyarakat Adat, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada PPMAN, advokat TBBR Kaltara, Ketua DPW TBBR dan anggotanya, Kepala Desa Bebanas, Kepala Desa Sojau, Kepala Desa Melasu Baru, Kepala Desa Tretaban, serta seluruh lapisan Masyarakat Adat Agabag Sebuku yang telah bekerja keras berjuang bersama untuk membela saudara-saudara kita yang telah dikriminalisasi sebagai dampak investor yang telah merampas wilayah Masyarakat Adat Agabag Sebuku,” ucap Rukka.
Ia juga berpesan agar Masyarakat Adat bisa tetap menjaga kesehatan di tengah situasi pandemi serta menjaga soliditas agar tidak mudah diadu domba. (ND)
***