Siaran Pers – Komite CERD PBB Minta Pemerintah Indonesia Meninjau Kembali Omnibus Law dan Serius Mengurusi Masyarakat Adat

Siaran Pers - Komite CERD PBB Minta Pemerintah Indonesia Meninjau Kembali Omnibus Law dan Serius Mengurusi Masyarakat Adat

Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (Komite CERD PBB) meminta Pemerintah Indonesia untuk menyediakan bukti bahwa pemerintah telah menetapkan upaya perlindungan untuk menjamin perlindungan hak-hak Masyarakat Adat, “dalam kaitannya dengan meningkatnya perluasan kelapa sawit di tanah dan wilayah Masyarakat Adat.”

“Pemerintah harus upaya-upaya serius untuk melindungi Masyarakat Adat,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi Masyarakat Adat terbesar di Indonesia.

“Komite CERD jelas meminta pemerintah Indonesia untuk menghormati dan melindungi hak Masyarakat Adat, salah satunya dengan menetapkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU,” kata Rukka.

Komite CERD PBB menyampaikan surat komunikasi formal yang mendesak pemerintah Indonesia:

  • “Menghormati cara Masyarakat Adat mengaku dan menyatakan diri mereka sendiri”
  • “merubah semua UU, peraturan dan praktik untuk memastikan bahwa konsep kepentingan nasional, moderenisasi dan pembangunan ekonomi serta sosial dirumuskan secara partisipatif […] dan tidak digunakan sebagai pembenaran menghapus hak Masyarakat Adat”
  • “menjamin hak-hak menguasai dan memiliki dari Masyarakat Adat dan lokal sebelum terus melanjutkan” Megaproyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan; dan
  • “memastikan konsultasi nyata dilakukan dengan semua masyarakat yang dimaksud agar diperolehnya persetujuan dan partisipasi masyarakat [dalam proyek tersebut]

Surat tanggal 30 April 2021 dikeluarkan sebagai tanggapan pada dua laporan bersama yang disampaikan oleh sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia pada tahun 2020.

Laporan pertama mengajak Komite CERD PBB memberi perhatian terhadap berbagai ancaman terhadap Masyarakat Adat yang hidup di perbatasan Kalimantan dimana Pemerintah Indonesia sedang dalam proses memfasilitasi perambahan dan perampasan tanah Masyarakat Adat untuk membangun jalan, perkebunan dan pertambangan sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia.

Laporan ini menyatakan bagaimana proyek-proyek tersebut akan menyebabkan kerugian besar, parah dan tidak terpulihkan bagi orang Dayak dan Masyarakat Adat lainnya dalam wilayah adat bagi 1 – 1.4 juta orang Dayak. Beberapa komunitas sudah tergusur paksa dan diperkirakan sekitar 300,000 orang Masyarakat Adat akan terancam penggusuran.

Permintaan ini menjabarkan bagaimana rencana Pemerintah Indonesia tidak hanya menyebabkan deforestasi besar– karnanya merusak komitmen perubahan iklim Indonesia dan perlindungan keanekaragaman hayati – tapi juga menjegal usaha-usaha Masyarakat Adat di wilayah perbatasan untuk mengamankan pengakuan hukum atas tanah-tanah mereka.

Komite CERD PBB berulang kali meminta Indonesia untuk melakukan langkah-langkah perlindungan yang diperlukan untuk menjamin penghormatan prinsip menentukan jati-diri sendiri dan hak-hak Masyarakat Adat.

Laporan kedua kepada CERD PBB menggarisbawahi berbagai upaya langkah mundur yang dilakukan Indonesia selama wabah Covid-19 merubah perlindungan hak-hak Masyarakat Adat yang sudah lemah dengan disahkannya UU Omnibus Law yang sangat kontroversial.

“Negara seharusnya dapat menjamin pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia di berbagai sektor,” kata Eko Zanuardy, Direktur Eksekutif Link-AR Borneo.

“Dengan terbitnya Omnibus Law lebih melanggengkan penguasaan tanah masyarakat untuk terus di eksploitasi tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan,” tambahnya.

Laporan ini fokus pada pengesahan Omnibus Law tentang Cipta Kerja, satu langkah mundur dan sebuah produk legislasi yang diskriminatif yang diputuskan secara tergesa-gesa oleh Presiden Indonesia pada 3 November 2020. UU ini merupakan salah satu dari perubahan legislasi terbesar dalam sejarah Indonesia dan disahkan ketika wabah Covid-19 sedang belangsung tanpa konsultasi dan partisipasi semestinya dari Masyarakat Adat Indonesia.

UU ini adalah amandemen sapu jagat – hampir 80 UU – langkah mundur dari perlindungan yang sudah lemah bagi hak-hak Masyarakat Adat, dan semakin menguntungkan dunia bisnis, perusahaan perkebunan dan industri rakus ekstraktif. Sementara itu RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat terkatung-katung selama hampir satu dekade menunjukan upaya nyata sengaja memilih kepentingan bisnis lebih penting dari pada hak-hak Masyarakat Adat.

Setelah disahkan, para pembuat UU mengungkapkan betapa kagetnya mereka akibat dari kekuasaan yang diberikan oleh UU deregulasi ini yang memberikan amnesti pada kelapa sawit ilegal dalam kawasan hutan. Suatu UU yang Komite CERD catat membuat Pemerintah dapat “sepihak menyatakan tanah sebagai ‘terlantar’, dan mengambilalih tanah Masyarakat Adat tanpa persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC), dan tanpa kompensasi yang sesaui dan adil”.

Selain itu Komite CERD PBB mendesak pemerintah untuk mengambil upaya-upaya khusus untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat khususnya yang hidup di perbatasan internasional Indonesia-Malaysia dimana Megaproyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan sedang dalam proses dibangun. Komite CERD PBB meminta Pemerintah Indonesia menyediakan informasi tentang:

  • Upaya perlindungan ditetapkan untuk menjamin penghormatan prinsip dasar dari menentukan jatidiri sendiri dalam penetapan Masyarakat Adat;
  • Upaya-upaya diambil untuk percepatan pengesahan RUU tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat melalui konsultasi dengan Masyarakat Adat.
  • Langkah-langkah nyata dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan sawit, dan secara hukum melindungi hak-hak Masyarakat Adat dalam hal makin meningkatnya kehadiran perkebunan kelapa sawit dan pembangunan jalan khususnya di wilayah perbatasan Kalimantan.
  • Status penerapan UU Cipta Kerja (UU No.11/2020, 30 November 2020) termasuk dampak buruk pada hak-hak Masyarakat Adat dan upaya-upaya diambil untuk mencabut atau revisinya;
  • Upaya nyata diambil untuk menjamin secara terbuka dan memadai kewajiban melakukan konsultasi Masyarakat Adat yang terkena dampak industri minyak sawit dan proyek skala besar lainnya, dan mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC).

Komunikasi formal ini disambut baik oleh organisasi Masyarakat Adat dan masyarakat sipil Indonesia dengan sejumlah catatan penting dan pernyataan substantif.

Informasi lebih lanjut:

Narahubung:

Angus MacInnes, FPP (+44(0)7526819460)

Monica Ndoen, AMAN (+62-857-7535-3307)

Nikodemus Alle, WALHI Kalbar (+62-813-2890-1101)

Norman Jiwan, TuK INDONESIA (+62-813-1561-3536)

Kutipan tambahan editor:

“Pemerintah harus serius mengurusi Masyarakat Adat. Sudah waktunya pemerintah membuka mata dan telinga, atas diskriminasi rasial yang dialami oleh Masyarakat Adat. Sudah ada banyak laporan yang diadukan oleh organisasi Masyarakat Sipil dan mendapatkan rekomendasi Komite CERD. Kasus mega proyek sawit di Kalimantan, MIFEE, Aru dan yang terakhir Omnibus Law. Komite CERD jelas meminta pemerintah Indonesia untuk menghormati dan melindungi hak Masyarakat Adat, salah satunya dengan menetapkan RUU MA menjadi UU. Yang terjadi malah Omnibus Law disahkan. Surat komite CERD tentang Omnibus Law harus direspon serius oleh pemerintah Indonesia, dengan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi didalamnya,” ungkap Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jendral AMAN.

“Indonesia sebagai negara hukum masihlah menjadi sebuah fantasi semata, tatkala ada metode inkonstitusional dengan nama omnibus justru dilanggengkan oleh eksekutif dan legislatif kita dalam menghapus juga mengganti pasal dalam perundang-undangan tanpa sebuah uji materil di majelis tinggi konstitusi. Indonesia harus meredefinisi ulang perjuangan reformasi kita dua puluh tahun silam, karena gagal menyejahterakan masyarakat yang selama ini termarjinalkan,” kata Agung Wibowo, Direktur HuMA, Jakarta.

“Negara seharusnya dapat menjamin pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia di berbagai sektor. Namun pada kenyataannya negara lebih berpihak kepada kepentingan para pengusaha yang haus akan kekayaan alam negeri ini. Dengan terbitnya omnibus law lebih melanggengkan penguasaan tanah masyarakat untuk terus di eksploitasi tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.” Kata Eko Zanuardy, Direktur Link-AR Borneo.

“Dengan gagalnya pemerintah memenuhi mandat konstitusi untuk mengesahkan Rancangan UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat menjadi UU. Negara wajib segera memulihkan pelanggaran HAM akibat dari pembiaran diskiriminasi secara de jure dan de facto, dengan penyelesaian pelanggaran oleh pemerintah secara yudisial maupun nonyudisial terhadap Masyarakat Adat Dayak dan Masyarakat Adat lainnya di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia sepanjang Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara,” ungkap Mayang Andasputri, staf Hukum LemBAH.

Dokumen dapat diunduh pada link di bawah ini:

Siaran Pers Bhs

Press Release Eng

Tinggalkan Balasan