Pandemi Covid-19 telah menjadi menjadi hantu bagi semua orang sepanjang 2020, dan belum berakhir hingga saat ini. Indonesia merupakan salah satu negara paling terdampak di Asia Tenggara. Sudah ribuan orang kehilangan nyawa, ratusan ribu orang bahkan jutaan kehilangan pekerjaan, yang pada gilirannya berdampak pada orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada negara. Belum lagi masyarakat yang hidupnya tergantung penuh pada lahan dan hutan.
Pandemi Covid 19 pun tak menyurutkan semangat perampasan wilayah adat. Tidak ada pilihan lain bagi Masyarakat Adat selain berusaha mempertahankan wilayah adat dengan mempertaruhkan hidupnya di tengah ancaman wabah dan kriminalisasi serta kekerasan. Kesan bahwa negara menjadikan pandemi sebagai dalih memperluas perampasan wilayah adat sulit ditolak.
AMAN sendiri mencatat terdapat 40 (empat puluh) kasus kirminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang terjadi sepanjang tahun 2020. Sebagian besar kasus tersebut merupakan kasus yang telah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi terus berlanjut karena tak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara. Dengan situasi tersebut, rasanya sulit untuk membantah bahwa negara memang telah melakukan pembiaran dan bersikap diskriminatif terhadap Masyarakat Adat.
Terhadap problematika yang dihadapi oleh Masyarakat Adat sepanjang masa pandemi Covid 19, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) menyelenggarakan webinar bertajuk “Kemunduran Selama Masa Pandemi: Pengabaian dan Kriminalisasi Masyarakat Adat selama Pandemi Covid 19 di Indonesia” pada Kamis (18/02/2021). Webinar ini juga sekaligus memaparkan hasil riset AMAN, Forest Peoples Programme (FPP) dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) berjudul Indonesia: Pelemahan Regulasi di Tengah Pandemi Covid 19.
Rukka Sombolinggi Sekjen AMAN membuka webinar dengan mengungkapkan situasi bahwa sepanjang masa krisis pandemi Covid 19, ada dua situasi yang menunjukkan kemunduran perlindungan hak Masyarakat Adat. Situasi pertama adalah revisi UU Minerba dan UU CILAKA yang menjadi penanda dari titik balik kebangkitan kembali kolonialisasi Masyarakat Adat. Situasi kedua adalah banyaknya kasus kriminalisasi dan kekerasan yang membelenggu Masyarakat Adat. Situasi ini membuat Masyarakat Adat harus menghadapi beban ganda yakni berusaha bertahan di tengah terpaan badai pandemi yang kian masif, dan di sisi lain Masyarakat Adat harus menghadapi ancaman kriminalisasi dan kekerasan yang semakin membelenggu.
“Kondisi Masyarakat Adat di wilayah adat sangat minim fasilitas, bahkan tidak ada Puskesmas. Oleh karena itu, jika penyakit ini (COVID 19) masuk ke wilayah adat, dipastikan banyak Masyarakat Adat yang akan menjadi korban karena sulitnya jangkauan dan aksesibilitas layanan kesehatan” ungkap Rukka.
Selain itu, Mia Siscawati Pengajar Program Studi Kajian Gender UI yang juga berperan sebagai penulis laporan riset menambahkan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid 19 adalah terbatasnya akses ke perawatan kesehatan yang layak dan terbatasnya perlindungan atas hak-hak mereka. Tantangan lain adalah masalah ketersediaan pangan, terutama di kalangan Masyarakat Adat yang wilayah adatnya diambil alih korporasi atau pihak lain.
“AMAN meminta 2.371 Masyarakat Adat anggotanya untuk mulai mengelola sumber pangan dan memulai langkah-langkah jarak sosial yang ketat sebagai tanggapan terhadap ancaman virus corona. Banyak Masyarakat Adat di seluruh Indonesia merespon pandemi dengan kapasitas komunitasnya masing-masing” tambah Mia.
Menurut Mia, tindakan paling penting yang diperlukan untuk melawan pelemahan regulasi lingkungan hidup dan sosial selama Pandemi Covid 19 adalah memperkuat kemampuan Masyarakat Adat di tingkat akar rumput, daerah/kabupaten, dan nasional. Di tingkat akar rumput, AMAN telah mendorong anggotanya untuk melindungi tanah dan wilayah adat mereka, sambil mengatasi masalah kerawanan pangan dengan mengelola lahan secara kolektif. Perempuan dan pemuda adat adalah pemain kunci dalam upaya ini.
Di tingkat daerah/kabupaten, AMAN telah bekerja dengan pejabat pemerintah kabupaten dan anggota DPRD yang progresif untuk bersama-sama mengembangkan upaya strategis untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat.
Emil Ola Kleden sebagai salah satu narasumber memetakan dampak Covid 19 terhadap Masyarakat Adat yang juga tersampaikan dalam riset bahwa AMAN memetakan Masyarakat Adat menjadi tiga kategori yakni sangat terancam, penuh risiko dan yang aman. Kelompok ketiga bisa aman karena masih menguasai wilayah dan bisa mengelola lahan dan hutan secara aman untuk kehidupan sehari-hari. Perempuan adat berperan besar dalam memperkuat kedaulatan pangan.
“Saya melihat ada situasi yang kontradiktif antara kehidupan masyarakat industry di perkotaan dan Masyarakat Adat yang sangat agraris di dalam dan sekitar hutan: ketika Covid-19 melanda, kehidupan di kota mengalami ‘pembalikan jaman’ dari yang serba ‘modern, mobilitas tinggi, digital dan otomatis’ menjadi ‘tradisional, diam di tempat, analog dan manual’. Situasi yang terputus (diskrit) dari kelaziman. Terjadi pembalikan jaman, peradaban modern tersentak. Sementara Masyarakat Adat yang masih menguasai dan masih aman mengelola lahan dan hutan mereka, irama hidupnya berjalan landai/linier, tidak terputus, kontinyu. Tidak ada pembalikan jaman di sana” tambah Emil.
Sebaliknya, situasi berbeda dihadapi oleh kelompok Masyarakat Adat yang sangat terancam dan yang beresiko tinggi. Pada umunya sudah ada kehadiran perusahaan ekstraktif di wilayah-wilayah masyarakat tersebut. Artinya, mereka terpapar kepada wabah oleh karena aktifitas bisnis korporasi dan oleh mobalitas orang-orang yang terlibat dengan operasi korporasi. Ada ancaman ganda bagi kelompok Masyarakat Adat pada kategori ini: Wabah Covid 19 dan masalah kedaulatan pangan, karena umumnya tanah-tanah adat mereka telah diokupasi oleh korporasi.
Diskusi ini ditutup dengan catatan reflektif dari Emil Kleden bahwa situasi ini jelas memberi gambaran bahwa jika Masyarakat Adat dipaksa mengikuti perkembangan jaman, justru akan berujung pada pola hidup yang bertentangan dengan konsepsi pembangunan berkelanjutan: sementara Masyarakat Adat yang hidup selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan justru dipandang sebagai pola hidup yang tidak selaras dengan perkembangan jaman.
**Yayan Hidayat