Ringkasan
Makalah ini menyoroti bagaimana pandemi COVID-19 telah mempengaruhi dan mencerabut hak masyarakat adat dan komunitas hutan di Indonesia. Kurangnya perlindungan yang memadai atas hak- hak masyarakat adat dan atas wilayah mereka sebelum pandemi telah diperparah oleh kurangnya perlindungan selama pandemi. Tantangan yang dihadapi masyarakat hutan selama pandemi menunjukkan bahwa akses ke lahan dan sumber daya alam sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada hutan. Selain itu, bukti-bukti dari daerah- daerah di mana masyarakat adat memang memiliki kendali atas tanah mereka memberikan pelajaran penting tentang bagaimana masyarakat adat membangun ketahanan diri ketika mengelola tanah dan sumber daya mereka sendiri.
Makalah ini menyoroti betapa impunitas negara untuk perampasan tanah yang semakin meningkat dan menurunnya kapasitas negara untuk memantau hutan selama pandemi secara serius mengancam hak masyarakat adat atas tanah, kesehatan, dan kesejahteraan. Makalah ini juga menarik perhatian khusus pada bagaimana Omnibus Law tentang Cipta Kerja tergesa-gesa disahkan oleh parlemen Indonesia (DPR) selama lockdown tanpa proses (hukum) yang layak atau penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Omnibus Law mengubah dan mengamandemen beberapa undang-undang yang ada termasuk undang-undang sektoral tentang perlindungan lingkungan hidup, penggunaan lahan, dan konsultasi publik. Pemerintah memberikan pembenaran atas pengesahan yang diburu-buru ini sebagai respons terhadap resesi ekonomi yang dipicu oleh pandemi, dengan tujuan menciptakan tenaga kerja (formal) yang lebih besar dan mempercepat industri ekstraktif dan berbasis sumber daya alam. Namun, Omnibus Law ini diprojeksikan akan berdampak negatif terhadap cara masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dapat mengakses tanah mereka dan menempatkan mereka pada posisi yang dirugikan dalam kaitannya dengan korporasi yang memiliki kepentingan komersial. Dengan pelanggaran HAM historis dan berkelanjutan marak terjadi dalam konflik antara masyarakat adat dan entitas komersial, ada kekhawatiran luas bahwa Omnibus Law akan semakin mengesampingkan hak-hak masyarakat adat dan menggambarkan mereka sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, laporan ini mencakup beberapa cerita anekdotal (cerita pengalaman pribadi) tentang negara menanggapi aktivisme masyarakat adat selama pandemi dengan meningkatkan kriminalisasi.
Makalah ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi. Secara kritis, laporan ini menghimbau pengesahan segera atas RUU Masyarakat Adat yang telah lama tertunda agar pada akhirnya hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara, dengan demikian juga mewujudkan perlindungan yang lebih baik untuk hutan.
COVID-19 dan Dampaknya terhadap Masyarakat Adat
Indonesia telah menjadi salah satu negara yang paling terpukul di Asia Tenggara selama pandemi COVID-19 global. Jumlah orang positif COVID-19 telah mencapai 5.292 per hari, sehingga jumlah kasus positif mencapai 586.842 per 9 Desember 2020.1 Dengan angka-angka ini, Indonesia saat ini menduduki urutan teratas dalam daftar jumlah tertinggi kasus resmi virus Corona di Asia Tenggara per 9 Desember 2020 dan peringkat ke-20 di seluruh dunia per 9 Desember 2020 dalam hal jumlah tertinggi kasus kumulatif COVID-19.2
Satu keprihatinan serius bagi masyarakat adat di Indonesia selama pandemi COVID-19 adalah kurangnya akses ke layanan kesehatan yang layak sebagai salah satu bagian dari kurangnya perlindungan hak-hak mereka yang terus berlanjut, sebuah masalah yang semakin memburuk selama krisis kesehatan dan keamanan ini. Kepedulian lain terhadap masyarakat adat adalah sumber makanan yang tidak mencukupi selama pandemi, terutama bagi masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat tanah adat di mana mereka dapat bertani dan bercocok tanam. Karantina kewilayahan (lockdown) dan isolasi telah menghalangi banyak warga masyarakat adat untuk pergi mencari makanan alternatif di hutan. Christian Ari, direktur Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL), sebuah LSM lokal di Papua, menyatakan bahwa pihak berwenang harus membantu masyarakat yang memilih untuk menutup desanya, termasuk mereka yang terbiasa mencari makan di hutan, dengan menyediakan pasokan makanan. Kerawanan pangan dapat memaksa warga komunitas ini “meninggalkan desa mereka untuk mencari makanan, sehingga berisiko bertemu dengan orang lain dan kemungkinan terinfeksi.”
Menurut Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ada tiga status masyarakat adat dalam hal ketahanan pangan dan akses lahan untuk budidaya pangan selama pandemici COVID-19
- Komunitas yang paling terancam. Kelompok-kelompok ini paling membutuhkan pasokan bantuan pangan, seperti masyarakat Tobelo yang terancam pembangunan smelter di daerah mereka di Halmahera, Kepulauan Maluku atau Orang Rimba di Sumatra yang tidak dapat mengakses hutan terdekat karena telah dijadikan bagian dari taman nasional.
- Komunitas yang berisiko. Mereka adalah kelompok-kelompok yang tidak dapat berkebun atau bertani karena tanahnya telah diklaim dan diambil alih oleh perkebunan kelapa sawit. Banyak masyarakat adat di komunitas-komunitas ini telah menjadi pekerja perkebunan kelapa sawit.
- Komunitas yang aman. Masyarakat adat yang masih menguasai wilayah adatnya dan mampu hidup dari hutan dan tanahnya sendiri.
Kerawanan pangan adalah masalah yang menyoroti betapa pentingnya hutan dan kepemilikan lahan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Komunitas yang paling tangguh adalah mereka yang dapat berkebun dan bertani di tanah mereka sendiri. Namun, terdapat banyak kasus di mana masyarakat tidak dapat mengakses tanah atau hutan adat mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Dalam suatu wabah yang melanda keseluruhan negeri, perempuan adat termasuk mereka yang paling terdampak meski merupakan yang paling mendukung negara dalam hal masalah ketahanan pangan. Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, menyatakan bahwa: “Tidak dapat mengakses hutan, terdampak oleh perusakan hutan, terpaksa menanggung beban dampak bencana seperti wabah ini, dan men- galami gagal panen. Masyarakat adatlah yang pertama-tama merasakan dampaknya, terutama kaum perempuan dikarenakan peran mereka di ranah domestik.