Tahun 2020 ini adalah tahun yang paling suram bagi Masyarakat Adat pasca reformasi. Di tengah pandemi Covid-19, Masyarakat Adat masih mengalami berbagai kekerasan dan kriminalisasi. Dan ditengah ketiadaan UU yang melindungi Masyarakat Adat, DPR mensahkam Omnibuslaw atau UU Cipta Lapangan Kerja yang menghilangkan hampir semua proteksi perlindungan hukum yang ada terhadap Masyarakat Adat.
Demikian inti pernyataan Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi ketika membuka diskusi dalam webinar bertajuk “Potret Buram Relasi Negara dan Masyarakat Adat di tengah Pandemi Covid-19” yang berlangsung Jumat, 17/12/2020.
Webinar ini merupakan rangkaian dari Festival HAM 2020, yang diselenggarakan Komnas HAM berserta panitia dari K/L. CSO dan institusi terkait lainnya. Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Prof. DR. Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Komisioner Komnas HAM Hairansyah, tokoh Masyarakat Adat Kinipan Effendi Buhing, dan Ketua Umum Perempuan AMAN Devi Anggraeni. Diskusi dipandu Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPMAN) Nur Amalia. Tayangan ulang Webinar tersebut dapat disaksikan melalui kanal Youtube AMAN : https://bit.ly/3gWFkWR
“Inilah potret buram, tahun yang paling suram,” tegas Sekjen AMAN di awal pemaparannya. Ia menyebut beberapa kasus kekerasan dan kriminalisasi yang dialami komunitas Masyarakat Adat sebagai bukti. Antara lain adu domba dan penggusuran secara paksa yang dialami Masyarakat Adat Amanatun, di Molo, NTB (?), kriminalisasi terhadap tokoh Masyarakat Adat Kinipan Effendi Buhing, kekerasan yang dialami Masyarakat Ada Rakyat Penunggu di Sumatera Utara. “Masih banyak kasus besar yang tidak disampaikan ke publik,” ujarnya.
Di sisi lain, di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat, belum ada UU yang secara spesifik menjadi panduan bagi pemerintah bagaimana memenuhi dan melindungi, hak-hak Masyarakat Adat, DPR memaksakan Omnibuslaw yang kemudian disebut UU Cipta Lapangan Kerja, yang menghilangkan hampir semua proteksi perlindungan hukum yang ada dan membuat Masyarakat Adat seperti anak kecil yang baru lahir dan tanpa perlindungan apa-apa.
Kondisi tersebut berlangsung di tengah situasi bangsa berhadapan dengan pandemi Covid-19. AMAN membentuk Gugus Tugas AMAN-kan Covid-19 yang memastikan komunitas-komunitas anggota AMAN bisa melewati situasi sulit ini. Dan Masyarakat Adat menunjukkan relisiensi yang luar biasa. Memberlakukan lockdown, untuk memastikan virus tidak masuk ke wilayah adat. Terus terus bekerja, terus melakukan ritual, terus menanam, mengisi lumbung, dan membantu sesama yang berkekurangan.
“Yang diperjuangkan Masyarakat Adat selama ini dibuktikan oleh pandemi, bahwa ternyata mereka yang benar. Terbukti, Masyarakat Adat yang masih menguasai wilayah adat, yang masih mengelola wilayah adat secara penuh, itulah yang yang saat ini menunjukkan daya survival, daya tahan yang luar biasa di tengah pandemi. Tidak kekurangan, dan masih tetap bisa bekerja,” jelas Sekjen AMAN. “Sementara, wilayah adat yang sudah dirampas perusahaan, yang sudah berubah jadi kebun kelapa sawit dan lainnya, ternyata tidak menjamin kesejahteraan kehidupan,” lanjutnya.
Di tengah-tengah situasi itu, Omnibuslaw UU Cilaka datang menjadi ancaman yang sangat nyata bagi Masyarakat Adat. Menurut Sekjen AMAN, tidak ada tempat bagi Masyarakat Adat dalam UU Cilaka. “Ini seakan buldoser sudah siap-siap di depan kampung wilayah adat yang tersisa,” tegasnya.
Selama ini pemerintah menganggap bahwa jawaban untuk Indonesia adalah investasi, yang selama pandemi ini justru tidak terbukti. Yang jelas kelihatan, justru pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dilakukan Masyarakat Adat di kampung-kampung bisa memastikan kedaulatan pangan, memastikan ekonomi lokal bisa berjalan, memastikan rasa senasib, saling berbagi dan bertukar pangan.
Menurut Sekjen AMAN, tidak ada jalan lain, Masyarakat Adat harus terus mendesak DPR untuk mensahkan UU Masyarakat Adat, namun dengan catatan tidak boleh seperti draft yang sekarang. Karena draft itu punya potensi menghilangkan Masyarakat Adat dengan pasal-pasal yang mengatur evaluasi terhadap Masyarakat Adat.
“Kita terus berusaha di tingkat nasional. Terus mendesak supaya ada UU Masyarakat Adat yang sesuai aspirasi dan situasi Masyatakat Adat. Di daerah kita harus terus menggerakkan pembuatan perda-perda pengakuan Masyarakat Adat. Kepala desa dan komunitas-komunitas Masyarakat Adat harus tetap diperkuat,” tegas Sekjen Aman.
Pandemi yang hadir saat ini, menurut Sekjen AMAN, ada kemungkinan masih menimbulkan krisis-kriris yang akan menyusul. Tidak ada pilihan bagi Masyarakat Adat, harus terus memperkuat kampung, karena tidak bisa mengharapkan perlindungan dari pemerintah.
“Masyarakat Adat harus bersiap-siap. Kita siap jadi penopang. Terus menanam, terus mengisi lumbung, menjaga wilayah adat, mengolah wilayah adat, memastikan pangan tersedia dan cukup. Potret situasi nasional memang buram, tapi potret di kampung-kampung tetap bercahaya,” ujar Sekjen AMAN.
*NRT