Selama 60 tahun Undang-Undang Pokok Agraria tidak dijalankan dengan konsekuen, bahkan diselewengkan, sehingga menimbulkan ketimpangan agraria yang luar biasa bagi penderitaan rakyat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Gurita kapitalisme yang memonopoli sumber agraria harus dihentikan.
Demikian antara lain isi Manifesto Politik Agraria yang dibacakan secara daring oleh Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Jumat malam, 25/9/2020.
Manifesto ini merupakan hasil “perasan” dari kegiatan Rembuk Nasional Gerakan Reforma Agraria yang diselenggarakan secara online oleh KNPA pada 20 – 22 September 2020, bersama dengan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) dan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), dalam rangka Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) dan 60 Tahun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Rembuknas diikuti lebih dari 500 peserta dari berbagai wilayah di Tanah-Air, melibatkan elemen gerakan petani, masyarakat adat, nelayan, buruh, perempuan, mahasiswa, pemuda, kaum miskin kota, NGO, akademisi dan sebagainya.
Manifesto Politik Agraria tersebut dibacakan bergantian oleh Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Nurhidayati dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Sunarno dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dan M. Arirah Fitra dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi – Dewan Nasional (LMND-DN), yang mewakili lebih dari 255 organisasi rakyat, mahasiswa, NGO, dan aliansi Hari Tani Nasional di seluruh wilayah Indonesia yang mengikuti Rembuk Nasional Gerakan Reforma Agraria.
Bagian awal Manifesto Politik Agraria tersebut berisi kesimpulan-kesimpulan evaluatif terhadap penyelewengan pelaksanaan UUPA dan menimbulkan ketimpangan serta konflik agraria yang bersifat struktural ini di seluruh sektor pembangunan, karena kebijakan pemerintah lebih berpihak pada kuasa dan kepentingan kapitalisme.
Petani dan buruh tani menjadi kaum terbanyak yang terhisap dan tak memiliki tanah. Kaum buruh dimiskinkan oleh kebihakan pemerintah dan kroni kapitalis, yang hanya menjadikan buruh sebagai alat pengusaha melipatgandakan kekayaan.
Masyarakat Adat tidak berdaulat, tidak bisa mandiri secara ekonomi, dan kehilangan martabat budaya karena wilayah adatnya dirampas dan warganya dikriminalisasi. Nelayan tetap miskin, meski memiliki laut yang begitu luas dan melimpahnya hasil laut.
Perempuan belum bisa lepas dari hegemoni patriarki, telah terjadi ketimpangan dari berbagai aspek ekonomi dan sosial. Kaum perempuan, petani, buruh, nelayan, masyarakat adat banyak direpresi, begitupun juga kehidupan pemuda dan mahasiswa.
Masalah-masalah utama yang dihadapi kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa dan rakyat tak bertanah tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme di Indonesia. Karena sistem ekonomi politik yang dibangun selama ini hanya menyejahterakan pengusaha, elit politik dan tuan tanah lain.
Karena itu, gerakan rakyat harus bersatu padu mendukung dan memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria yang muncul berdasarkan inisiatif rakyat (agrarian reform by leverage), dengan melakukan konsolidasi dan membentuk gerakan kekuatan politik kolektif dengan modal ekonomi, sosial, politik dan pengetahuan yang dimiliki.
Manifesto Politik Agraria ini merumuskan sepuluh (10) butir SIKAP POLITIK DAN SIKAP SEJARAH, enam ( 6) butir langkah PROGAM PERJUANGAN untuk merealisasikan Sikap Politik dan Sikap Sejarah tersebut, serta lima (5) PROGAM PANCA AKSI REFORMA AGRARIA yang akan dilaksanakan secepatnya dan serentak untuk menjalankan Program Perjuangan tersebut.
Manifesto Politik Agraria yang disusun ini selain untuk memperingati HTN dan 60 Tahun UUPA, juga dimaksudkan untuk mengingatkan DPR RI dan Pemerintah akan pentingnya menyikapi realisasi reforma agraria dan penuntasan konflik agraria struktural di seluruh negeri, serta ancaman baru baru kapitalisme agraria terhadap UUPA melalui RUU Cipta Kerja.*
(NRT)