aman.or.id – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyelenggarakan Sarasehan Webinar terkait Peran Advokat Muda Probono dalam menangani kasus pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat pada hari ini, Sabtu, 26 September 2020.
Sarasehan webinar ini selain diselenggarakan sebagai bagian dari rangkaian penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN yang akan dilaksanakan pada 17-19 November 2020 yang akan datang, juga diselenggarakan sekaligus merayakan 7 tahun pembentukkan Organisasi PPMAN.
Kegiatan ini menghadirkan beberapa pembicara, diantaranya Loury Da Costa, SH (Advokat Masyarakat Adat Papua Barat), Santi Chintya Dewi, SH (Advokat Masyarakat Adat Kuningan-Jawa Barat), serta Ibrahim, SH (Advokat Masyarakat Adat Seko, Luwu Utara), Abdon Nababan – Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS), serta Sugeng Teguh Santoso (Ketua Umum Peradi Pergerakan).
Dimulai dari sharing pengalaman para advokat Masyarakat Adat hingga peneguhan-peneguhan yang dilakukan untuk terus memperkuat PPMAN melakukan kerja-kerja advokasi litigasi di lapangan.
Ibrahim, menjelaskan tentang berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam membela Masyarakat Adat Seko melawan pembangunan proyek PLTA di wilayah adat.
“Legal standing yang menjadi dasar kita sejak awal dirumuskan yaitu SK Bupati No.300/2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Kemudian kita menggunakan juga Perda Luwu Utara No.2/2011 tentang RTRW yang menjadi point penting bagi kita. Dua dokumen ini yang menjadi dasar kita. Selain itu, penguatan terhadap Masyarakat Adat juga kita lakukan terkait partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan perencanaan tata ruang sebagai dasar legal standing lainnya seperti pelaporan pidana dan perlawanan di Masyarakat Adat Seko”, jelas Ibrahim.
Ibrahim pun menyampaikan bahwa sebagai anggota PPMAN, peran seorang advokat Masyarakat Adat sejak awal tidaklah mudah, apalagi ketika melakukan pendampingan hukum di lapangan memiliki tantangan telekomunikasi dan akses yang terisolasi seperti Seko. Beberapa hal yang dilakukan diantaranya: Investigasi dan analisa potensi konflik hukum, melakukan pendampingan hukum pada komunitas adat sampai pra peradilan tingkat kasasi, memfasilitasi pendampingan di beberapa lembaga negara (LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan), mendesak Pemda Luwu Utara untuk meninjau ulang ijin prinsip dan ijin lokasi PLTA, melakukan pengorganisasian melalui aliansi strategis dan jaringan tingkat lokal dan nasional.
Lain halnya dengan Santi Dewi, yang menyampaikan pengalaman pertamanya mendampingi kasus Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan.
“Kasus pendampingan pada Masyarakat Adat Kahurun Urang Kuningan, merupakan pengalaman pertama saya mendampingi masyarakat Adat. Perjalanan panjang perjuangan yang begitu menambah pengalaman sebagai advokat memang harus dimulai pendampingan terhadap Masyarakat Adat”, kata Santi Dewi.
“Berkas-berkas yang disampaikan oleh Masyarakat Adat itu sangat sederhana, sehingga saya harus melakukan penguatan terhadap surat-surat (dokumen) yang dimiliki dan data-data oleh Masyarakat Adat atas kepemilikan tanah Leuweung Leutik”, jelas Santi Dewi.
“Dalam proses penanganan advokasi di Sunda Wiwitan Cigugur ini ada 3 upaya yang saya lakukan selama ini, sebagai kuasa PMH, sebagai kuasa pidana serta PTUN”, lanjut Santi Dewi.
Santi Dewi pun menambahkan bahwa saat ini proses penanganan perkara Masyarakat Adat Kahurun Urang Sunda Wiwitan di pengadilan tinggal 2 kali lagi, sidang kesimpulan dan sidang keputusan.
Loury da Costa, anggota PPMAN dari Region Papua juga berbagi pengalamannya dalam menangani kasus yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di Papua.
“Kerja-kerja advokasi yang selama ini kami lakukan di Papua Barat, pertama pada tahun 2004 advokasi terkait penembakan Masyarakat Adat dan 5 orang meninggal di Kab Bintuni akibat eksploitasi SDA hutan oleh salah satu anak perusahaan PT Jayanti Group. Selain itu bersama jaringan di Papua Barat kita mengadvokasi kasus-kasus kehutanan terkait operasi hutan lestari yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Selanjutnya, advokasi penembakan masyarakat Kokoda dan seterusnya hingga pembentukkan paralegal di komunitas-komunitas adat yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat, Sorong dan Tambraw”, kata Loury.
Loury pun menyampaikan bahwa kedepan strategi penangan kasus yang dilakukan oleh PPMAN harus memperkuat kampung.
“Permasalahan hukum yang sering terjadi itu justeru lebih banyak di kampung-kampung. Kerja-kerja advokasi kita kedepan harus lebih banyak memperkuat advokasi legal masyarakat di kampung-kampung. Apinya tidak boleh padam untuk perkuat advokasi Masyarakat Adat”, jelas Loury.___
Sebagai informasi, bahwa pada tanggal 25-27 September 2013 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan konsolidasi para advokat dan ahli hukum untuk membicarakan dan merumuskan persoalan Masyarakat Adat di Indonesia. Konsolidasi tersebut dilakukan melalui sebuah Konferensi Nasional (Konfernas) yang bertempat di Komunitas Adat Sassa, Luwu Utara – Sulawesi Selatan. Kegiatan yang dilakukan selama 3 hari tersebut diawali dengan pertemuan dan workshop singkat selama sehari yang didukung oleh PW AMAN Tana Luwu dan PB AMAN.
Pada Kamis, tanggal 26 September 2013, baru dilakukan Konferensi Nasional Pertama para Advokat Masyarakat Adat se-Nusantara yang pada intinya sepakat membentuk dan mendirikan organisasi sayap AMAN yang bernama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara disingkat PPMAN.
Setelah itu, pada tanggal 25 November 2013, bertempat di Jakarta hasil dari Konfernas tersebut ditindaklanjuti dengan dilaksanakan Rapat Pengurus PPMAN untuk melakukan pembahasan atas keputusan-keputusan Konfernas terkait Statuta, Program Kerja dan Resolusi/Rekomendasi hasil Konfernas Pertama.*
Infokom PB AMAN