Jamal Bobero
Infokom AMAN Maluku Utara
Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria terkait dengan penggusuran dan perampasan tanah untuk sektor perkebunan, dari satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan lima (5) tahun periode pertama masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), selalu menempati peringkat pertama sebagai penyebab terjadinya konflik dan krisis agraria yang dialami oleh Masyarakat Adat.
Hal tersebut diungkap oleh Sekretaris Jendral (Sekjend) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam Sarasehan II dalam rangka menuju Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN ke-VI yang bertajuk “Dinamika Kebangsaan dan Masa Depan Gerakan Masyarakat Adat”. Sarasehan ini diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) secara daring pada Kamis, 20 Agustus 2020.
“Hal ini ironis karena semangat Konstitusi UUD 1945 sangat kental dengan nafas sosialisme. Namun pada prakteknya, kuasa kapitalisme lebih kuat dalam praktek pembangunannya,” tutur Dewi.
Akibatnya, menurut Dewi Kartika, adalah penyingkiran-penyingkiran Masyarakat Adat dari wilayah-wilayah adatnya.
“Penyingkiran-penyingkiran ini dianggap sebagai solusi ekonomi. Meski sebenarnya, hanya di tataran makro. Tapi di level mikro atau yang lebih kecil, corak produksi berbasis rumah tangga oleh petani dan peternakan skala kecil justru tidak bisa berkembang,” jelas Dewi.
Model ekonomi jenis ini menurut Sekjend KPA sangat rentan dengan krisis ekonomi di tingkat global. Jadi saat krisis ekonomi terjadi, pengelolaan ekonomi negara dengan model seperti ini terbukti tidak mampu bertahan di tengah krisis. Berkebalikan dengan daya tahan ekonomi skala kecil yang digerakkan oleh petani dan nelayan tradisional.
“Ekonomi makro itu lebih mengacu pada cepatnya pertumbuhan meski tidak merata. Jadi angka-angka yang disebutkan tersebut tidak terdistribusi kepada mereka yang wajib dilindungi oleh Negara. Berbeda dengan ekonomi mikro yang membawa efek langsung kepada kelompok marjinal seperti Masyarakat Adat dan petani,” kata Dewi.
Salah orientasi tersebut yang akhirnya mendorong terjadinya perampasan wilayah-wilayah adat untuk memuluskan investasi skala besar seperti industri pariwisata, bisnis properti, perkebunan monokultur, bisnis batu bara dan berbagai pertambangan lainnya.
“Negara memfasilitasi perampasan-perampasan ini melalui berbagai perangkat aturan yang merugikan Masyarakat Adat dan petani, semisal Hak Guna Usaha (HGU). Ambil contoh bagaimana sejarahnya perkebunan-perkebunan itu berasal dari tukar guling kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat. Pola serupa juga terjadi saat tukar guling untuk pembangunan di bidang pertambangan, atau tukar guling di bidang properti atau untuk kebutuhan pariwisata. Tukar guling ini bermasalah karena Negara mengklaim kawasan tersebut sebagai bagian dari hutan negara, meski sejatinya kawasan-kawasan tersebut merupakan wilayah adat,” jelas Dewi.
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan mandat konstitusi yang secara jelas telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Menurut Dewi Kartika, pengakuan terhadap entitas Masyarakat Adat secara otomatis juga berarti pengakuan terhadap wilayah-wilayah adat. Sebab, Masyarakat Adat tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan wilayah adatnya.
“Ambil contoh bagaimana di dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, pasal 33 yang menjelaskan bahwa hak penguasaan oleh Negara atas tanah yang berada di dalam wilayah adat tidak bersifat langsung. Namun harus melalui proses penyerahan kuasa oleh Masyarakat Adat sebagai pemilik hak atas wilayah tersebut, sebelum diklaim oleh Negara,” tegas Dewi.
Lebih lanjut, menurut Dewi, pelanggaran konstitusi demi memuluskan praktek barbar ekonomi kapitalisme yang menyasar wilayah-wilayah adat, pada akhirnya terbuka boroknya dengan jelas di masa pandemi. Bagaimana model ekonomi makro ternyata gagal untuk memenuhi mandat Negara dalam menyediakan pangan yang cukup dan terjangkau bagi warga negaranya.
“Di masa pandemi Covid-19, terlihat jelas bagaimana kampung-kampung dan wilayah adat menjadi wilayah yang sanggup bertahan saat krisis pangan melanda. Kedaulatan atas wilayah adat membuat petani dan Masyarakat Adat dapat memenuhi kebutuhan pangan komunitasnya dan di saat yang bersamaan juga dapat mendukung kelompok rentan lain, seperti buruh di daerah perkotaan yang harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK),” tutup Dewi.
Hal ini membuktikan bahwa kedaulatan atas wilayah-wilayah adat merupakan solusi untuk mengatasi krisis pangan. Di saat Negara dan konsep ekonomi makro-nya yang gagap dan akhirnya memilih abai terhadap mandat konstitusi untuk melindungi dan menyediakan kebutuhan pangan warga negaranya.
“Memiliki kedaulatan atas tanah, terhadap wilayah adat, adalah solusi terhadap krisis pangan yang saat ini melanda Indonesia. Negara dan paham ekonomi kapitalistik-nya sudah gagal dan akhirnya mengabaikan mandat UUD 1945. Negara dan perusahaan-perusahaan hari ini lepas tangan terhadap kebutuhan pangan di tengah merebaknya wabah Covid-19. Masyarakat Adat dan petani memang rentan dalam relasinya dengan Negara, tapi justru paling berdaulat dan paling mampu bertahan saat digempur pandemi,” tutup Dewi.