Supriyadi Sudirman
Infokom AMAN Maluku Utara
Menurut data Sawit Watch, di tahun 2019 terdapat 1.054 kasus tanah di dalam perkebunan monokultur sawit di Indonesia. Total kasus ini termasuk persoalan izin Hak Guna Usaha (HGU). Semuanya dianggap sebagai dampak dari adanya konversi lahan perkebunan sawit di wilayah Masyarakat Adat. Hal tersebut terungkap dalam diskusi “Tandan Sawit Interaktif Volume 11” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Sawit Watch Indonesia. Sebuah organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk mewujudkan perubahan sosial bagi petani, buruh, dan Masyarakat Adat serta komunitas-komunitas lokal untuk keadilan ekologis.
Dalam diskusi virtual ini, Sawit Watch mengusung topik “Restitusi Tanah Masyarakat Adat dalam HGU di Perkebunan Sawit”. Judul diskusi pada 12 Agustus ini dianggap tepat karena masih dalam suasana memeringati perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang jatuh setiap 9 Agustus.
Norman Jiwan, salah satu narasumber dari Forest Peoples Programme (FPP), mengatakan bahwa dalam konteks Masyarakat Adat yang terutama adalah pemulihan dalam bentuk pengembalian wilayah adat.
“Meski saya pesimis hal tersebut dapat dilakukan secara berkeadilan. ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil -red) sendiri tidak mengatur soal restitusi tanah. Sehingga mewujudkan ide tersebut, terutama dalam konteks Masyarakat Adat di Indonesia, menjadi sangat sulit,” tegas Norman.
Lebih lanjut, Norman mengatakan bahwa legalitas restitusi dalam konteks Indonesia hari ini sangat sulit. Hal ini disebabkan karena sistem hukum tidak memungkinkan terjadinya pengembalian tanah sebagai strategi pemulihan atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah.
“Itu mengapa kerja advokasi hari ini sangat penting untuk mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia saat ini,” jelas Norman.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal, Sandrayati Moniaga, mengatakan terkait restitusi bagi dirinya itu sama halnya dengan berbicara remedy.
“Tentang remedi, ada temuan menarik oleh kawan-kawan pemantauan Komnas HAM di 15 kabupaten yang dikunjungi. Seperti Sanggau ternyata punya cerita lain. Mereka sedang berupaya mengembangkan reforma agraria yang berorientasi pada pemulihan hak dari Masyarakat Adat,” papar Moniaga.
Hal tersebut mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah yang menjalankan Inpres tentang moratorium sehingga membentuk tim gugus tugas Reforma Agraria.
“Bahkan BPN Sanggau bahkan menyebut Reforma Agraria itu bukan sekedar bagi-bagi tanah. Inilah yang saya pikir menarik. Sebab ini berbeda dari tempat-tempat lain,” kata Moniaga dengan bersemangat.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), permasalahan hak-hak Masyarakat Adat di tanah-tanah HGU adalah bentuk pelanggaran HAM. Kesimpulan Sandra Moniaga merujuk pada temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM di tahun 2017.
“Pelanggaran HAM yang ditemukan Komnas HAM bukan hanya pelanggaran hak atas tanah. Tapi hal paling utama dilanggar adalah, hak atas pengakuan sebagai Masyarakat Adat, hak tradisional Masyarakat Adat, hak untuk mempunyai milik, hak untuk tidak dirampas miliknya secara sewenang-wenang, dan yang lebih mendasar adalah hak untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan,” papar Moniaga.
Dari beragam pelanggaran tersebut, akar masalahnya menurut Moniaga adalah pengabaian keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya.
“Seperti minimnya pengakuan Pemda atas keberadaan Masyarakat Adat sebagai dasar remedi atau sulitnya pemulihan hak. Selain itu juga, kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan semata. Inilah menjadi akar masalah,” ungkap Komisioner Komnas HAM ini.
Selain itu, Moniaga juga menegaskan soal remedy hak Masyarakat Adat yang sulit terpenuhi karena belum adanya akses ke peradilan yang setara dan efektif. Seperti juga masih sulitnya melakukan ganti kerugian (reparation) yang memadai, efektif, dan cepat atas kerusakan (harm) yang diderita. Belum lagi menyangkut masih timpangnya akses terhadap informasi yang relevan mengenai pelanggaran ganti rugi.
Hal di atas juga dibenarkan oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinngi.
“Dalam posisi ini, ketika kita berbicara dalam konteks remedy maka biasanya di ujung-ujungnya juga berbicara harkat dan martabat Masyarakat Adat. Nah, pemulihan hak-hak Masyarakat Adat melalui restitusi melalui rehabilitasi, harusnya tidak hanya bermuara pada pengembalian wilayah adat. Tapi juga pemulihan manusianya,” tegas Rukka.
Menurut Rukka, dampak dari perampasan wilayah adat berawal dari pandangan diskriminatif yang memandang Masyarakat Adat sebagai kelompok yang tidak kompeten dalam mengelola wilayah adatnya. Perampasan wilayah adat juga berdampak serius pada hilangnya berbagai praktek dan ritual yang terkait erat dengan identitas Masyarakat Adat. Karena wilayah adat dan Masyarakat Adat yang berdiam di wilayah tersebut, merupakan satu kesatuan. Jadi, hilangnya wilayah adat memiliki dampak serius terhadap eksitensi Masyarakat Adat itu sendiri.
Itu mengapa, menurut Rukka, dalam konteks Masyarakat Adat, pemulihan atas pelanggaran hak dan perampasan wilayah adat tidak boleh dilakukan terpisah.
“Dalam konteks restitusi hak Masyarakat Adat, kita harus bicara dalam dua tatanan. Yaitu konteks pemulihan bumi dan juga konteks pemulihan manusianya,” tegas Rukka.
Sekjend AMAN juga menegaskan bahwa konteks pemulihan ini mesti diawali dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk menjadi Undang-undang.
“Saat ini, RUU Masyarakat Adat menjadi sangat relevan. Karena kita berada dalam situasi di tengah pandemi yang sebenarnya memaksa kita berubah jika ingin selamat. Makanya, hadirnya UU Masyarakat Adat bukan lagi kebutuhan politik, tapi kemendesakan untuk bertahan hidup,” tutup Rukka.