Supriyadi Sudirman
Infokom AMAN Maluku Utara
Covid-19 telah menyebabkan ekonomi di semua negara maju dan berkembang kian merosot dan meneyebabkan dampak krisis yang serius bagi tatanan kehidupan di kota hingga menjalar ke kampung. Dalam situasi ini, Masyarakat Adat di indonesia harus menanggung kondisi ini dengan pelik dan hilangnya harta benda atas perampasan wilayah adat yang terus tanpa henti meski di tengah pandemi.
Padahal situasi di masa pandemi seharusnya menjadi catatan serius bagi negara bahwa Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya merupakan aset penting bangsa untuk bertahan dari krisis yang menjelang karena pandemi berkepanjangan.
Hal tersebut disampaikan lewat pidato yang disiarkan secara langsung dari Jakarta, 9 Agustus 2020, oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN), Rukka Sombolinggi, untuk membuka perayaan HIMAS 2020.
HIMAS yang dirayakan setiap 9 Agustus, merupakan hari yang ditetapkan PBB sebagai The International Day of the World Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS).
“Sekarang adalah saat yang sangat tepat untuk lebih memperkuat sistem ekonomi di tingkat lokal,” seru Rukka dengan bersemangat.
Dalam pidatonya, Perempuan Adat asal Toraja ini juga menggarisbawahi bahwa praktek ekonomi global yang lebih adil dan merata di masa depan, hanya mungkin jika dibangun di atas serangkaian jutaan sistem ekonomi berskala lokal yang kokoh.
“Ini saatnya kita bersama-sama menciptakan mekanisme di mana Masyarakat Adat dan masyarakat di pedesaan maupun masyarakat urban dapat saling mendukung,” jelas Rukka.
Di perayaan HIMAS 2020 yang dilangsungkan secara daring untuk pertama kalinya, Rukka juga kembali mengutip ungkapan lama yang sudah akrab di telinga banyak orang. Bahwa bumi ini cukup untuk semua orang tetapi tidak pernah cukup buat satu orang rakus. Sehingga menurut Rukka, pandemi global memberikan ruang dan kesempatan bagi kelompok-kelompok marjinal untuk menciptakan bumi yang dapat menjamin kehidupan bersama dan generasi yang akan datang.
“Covid-19 saat ini telah menunjukkan arah bahwa kita harus berpaling paradigma pembangunan saat ini. Dalam hal ini, kita mesti mempromosikan tatanan ekonomi kerakyatan gotong-royong yang adil dan menjamin keberlanjutan kehidupan. Ini yang harus menjadi modal bagi masa depan,” tegas Rukka.
Apa yang disampaikan oleh Sekjend AMAN tersebut merupakan simpulan dari praktek yang selama ini hidup di tengah Masyarakat Adat. Bahwa semangat gotong-royong dan solidaritas adalah satu-satunya jaminan kedaulatan pangan di wilayah-wilayah adat.
Lewat Perayaan HIMAS kali ini, AMAN kembali mendesak agar wilayah-wilayah adat yang rusak akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit harus segera direhabilitasi. Hal ini untuk memastikan resiliensi Masyarakat Adat agar terus bertahan dengan mengubah sistem pertanian secara berkelanjutan yang ramah lingkungan. Namun, rehabilitasi wilayah adat harus dilakukan secara total. Tidak hanya sebatas menanam pohon saja, tetapi juga melakukan rehabilitasi fisik atas tanah yang rusak.
Dalam pidatonya, Rukka juga kembali mengingatkan tentang perjuangan panjang Masyarakat Adat untuk memperjuangkan hak-haknya. Menjelang 75 tahun kemerdekaan Indonesia, hingga kini Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat masih belum kunjung disahkan. Pengabaian terhadap amanat konstitusi ini membuat AMAN berkesimpulan bahwa Negara masih belum hadir di tengah Masyarakat Adat.
Bagi AMAN sendiri pengabaian konstitusional seperti pemiskinan, pembunuhan, konflik, kriminalisasi, pemusnahan bahasa, krisis identitas yang terus meluas dan kualitas lingkungan hidup yang terus menurun, berdampak pada memburuknya kesehatan Masyarakat Adat di seluruh pelosok Nusantara.
Di akhir pidatonya Rukka optimis AMAN pasti akan mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.
“Jadi, kita harus tetap menjaga dan mempertahankan wilayah adat dari serbuan perusahaan sambil membangun solidaritas. Kita juga masih harus berjuang lebih keras untuk mendesak pengesahan UU Masyarakat Adat yang menjadi payung hukum Masyarakat Adat,” seru Rukka menutup pidatonya.