Supriyadi Sudirman
Infokom AMAN Maluku Utara
Masyarakat Adat di Nusantara hingga kini masih terus berjuang merebut hak konstitusionalnya selaku warga bangsa. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa selama ini, Masyarakat Adat menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kriminalisasi, instimidasi bahkan terancam kehilangan nyawa. Ironisnya, produk-produk budaya milik Masyarakat Adat sering menjadi dagangan politik di Indonesia. Semisal penggunaan tenun dengan motif dari Masyarakat Adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, hal tersebut hanyalah aksi semiotik yang penuh syarat politik karena di saat yang bersamaan intimidasi oleh aparat terhadap Masyarakat Adat masih terus berlangsung.
“Pakaian Masyarakat Adat digunakan. Terlihat seolah-olah Masyarakat Adat dimuliakan dengan pakaian yang digunakan dalam perayaan-perayaan kenegaraan. Tetapi di balik itu, pada saat yang sama kekerasan terhadap Masyarakat Adat terus terjadi,” ungkap Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi.
Pernyataan itu disampaikan Rukka saat membuka Sarasehan ke-II dari rangkai acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN ke-VI yang mengambil tajuk “Dinamika Kebangsaan dan Masa Depan Gerakan Masyarakat Adat”. Webinar ini diselenggarakan secara daring (online) pada Kamis, 20 Agustus 2020, kemarin.
“Pakaian Masyarakat Adat dipakai oleh Presiden, tetapi pada saat yang bersamaan juga terjadi kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Amanuban Selatan,” tegas Rukka.
Realitas tersebut menurut Rukka menjadikan diktum bahwa Indonesia adalah milik bersama terasa kurang relevan dengan nasib yang sedang dialami oleh Masyarakat Adat hari ini.
“Kita sebagai Masyarakat Adat mesti bersabar untuk mencapai ideal bahwa Indonesia ini milik kita bersama. Kita punya hak yang sama dalam berbangsa dan bernegara. Apa yang menjadi tujuan kita terus kita perjuangkan. Bahwa Negara harus melindungi Masyarakat Adat lewat pengakuan dan perlindungan secara hukum yang merupakan mandat konstitusi. Itulah mengapa sampai saat ini, kita masih terus mendesak agar Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” jelas Rukka.
Lebih lanjut, Perempuan Adat asal Tana Toraya ini percaya bahwa masa depan bangsa juga terletak di tangan Masyarakat Adat dan kelompok-kelompok lain yang selama ini masih termarjinalkan di Indonesia.
“Di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, menjadi sangat relevan jika kita mengatakan bahwa masa depan Indonesia ada di tangan kita. Di tangan Masyarakat Adat, petani, para buruh, dan nelayan. Itulah mengapa saya mengajak kita semua bergandengan tangan untuk merebut kembali negara ini dari ancaman pemaksaan RUU Omnibus Law yang akan memangsa masa depan Indonesia. Solidaritas adalah kekuatan kita,” jelas Rukka.
Sementara itu, Sekretaris Jendral (Sekjend) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, yang menjadi salah satu narasumber mengatakan bahwa saat ini kondisi Masyarakat Adat dan kaum tani berada di dalam situasi di mana pengakuan negara masih setengah hati.
“Kondisinya, Negara masih setengah hati. Terutama soal pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dan petani,” papar Dewi.
Meskipun Konstitusi (UUD 1945) telah menjadi dasar yang jelas tentang jaminan hak-hak dasar Masyarakat Adat dan petani, menurut Dewi, saat ini terjadi kemunduran signifikan setelah progress yang dicapai melalui Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
“Di dalam Pasal 9 UUPA 1960, sudah ada jaminan bahwa setiap warga negara Indonesia terhadap tanah dan air. Jadi jaminan-jaminan konstitusional itu sudah ada. Sayangnya, kita dicengkram oleh sistem ekonomi kapitalistik sehingga Pancasila ataupun konstitusi kita hanya dirayakan di gelanggang seremonial semata,” kata Dewi.
Oleh karenanya, Dewi menyerukan agar gerakan sosial baik petani dan Masyarakat Adat untuk kembali ke kampung dan membangun inovasi untuk memperkuat kapasitas dan peran keterlibatan di akar rumput. Terutama kelompok perempuan petani dari kelompok Masyarakat Adat.
“Kampung adalah benteng terakhir kita untuk memastikan agar ekonomi makro yang berlandaskan sistem kapitalisme yang kini masuk merangsek ke kampung-kampung, ke desa-desa itu, bisa kita minimalisir,” seru Dewi.
Dalam paparannya, Dewi Kartika juga menjelaskan bahwa di masa pandemi seperti saat ini rakyat telah mengambil inisiatif-inisiatif yang seharusnya menjadi tanggungjawab Negara. Menurut Sekjend KPA, praktek-praktek baik tersebut menunjukkan daya resiliensi yang dimiliki oleh Masyarakat Adat dan kalangan petani.
“Saya pikir sudah 70 persen tanggungjawab Negara sudah diambil alih oleh inisiatif-inisiatif rakyat. Tinggal bagaimana hal ini ditingkatkan dengan cara penguatan kapasitas perempuan dan pemuda sebagai garda terdepan dalam aksi resiliensi tersebut,” jelas Dewi.
Dewi Kartika juga mengusulkan untuk kembali memperkuat ekonomi gotong royong sebagai upaya mencegah monopoli. Sekaligus menjadikan kampung-kampung sebagai pilar prioritas untuk menopang dan memberi dukungan terhadap konsumen-konsumen di sektor rentan, terutama yang berada di perkotaan.
Sementara itu, Rektor Universitas Nahdatul Ulama Yogyakarta, Prof. Drs. Purwo Santoso, mengaku bahwa kondisi di atas tak lepas dari masih minimnya perbincangan tentang isu Masyarakat Adat dan wilayah adat di level kampus-kampus.
“Ada kesan bahwa lembaga-lembaga pendidikan seperti kampus disekat bahkan dijauhkan dari perbincangan soal isu Masyarakat Adat dan wilayah adat. Hal ini menurut saya ikut menjadikan lembaga pendidikan sebagai pendosa karena memupuk ketidakberpihakan terhadap Masyarakat Adat di level akademik,” tutur Prof. Purwo.
Lebih lanjut, menurut Prof. Purwo, salah satu faktor yang menjauhkan peserta didik dari realitas Masyarakat Adat adalah wacana pendidikan yang masih kental dengan warisan kolonial.
“Realitas sosiologis itu hilang dari perbincangan-perbincangan di lembaga-lembaga pendidikan. Apalagi realita kultural dan narasi tentang Indonesia yang masih menggunakan sudut pandang yang merupakan warisan kolonial,” tegas Prof. Purwo.
Menurut Prof. Puwro, dominasi warisan kolonial dalam dunia pendidikan hadir dalam satu paket utuh soal pemahaman mengenai narasi ekonomi bangsa yang didominasi oleh cara pandang yang sangat kapitalistik. Hal ini tentu saja bermasalah untuk melihat keragaman kultural yang seharusnya menjadi pondasi penting dari aktivitas berbangsa dan bernegara.
“Karena itu, yang menjadi masalah sekarang di Masyarakat Adat bukanlah soal citizenship atau status kewarganegaraan. Sebab konstitusi sudah menjamin hal tersebut. Problem yang dihadapi Masyarakat Adat adalah soal citizenry atau narasi kerakyatan. Narasi yang menjadikan rakyat sebagai titik berangkat,” tegas Prof. Purwanto.
Mengubah sudut pandang menurut Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta adalah poin penting untuk melihat soal klaim kepemilikan terhadap wilayah adat oleh Masyarakat Adat. Tanpa mengubah sudut pandang, akan mustahil kita melihat kebijakan yang berlandaskan pada upaya-upaya untuk menyejahterakan rakyat.
“Mengubah sudut pandang ini tidak bisa dilakukan secara informal. Justru sebaliknya, ia harus formal. Harus ada legalitas agar supaya ada legitimasi,” pungkas Prof. Purwo.