Momen perayaan 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Presiden Joko Widodo tampil mengenakan dua busana adat dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu busana yang digunakan, bermotif Nunkolo, yang berasal dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di kabupaten ini, terdapat tiga kelompok besar Masyarakat Adat: Mollo, Amanatun dan Amanuban. Sayangnya, penggunaan busana adat di acara-acara kenegaraan ternyata berbanding terbalik dengan kebijakan terhadap Masyarakat Adat.
Sehari setelah pesta perayaan kemerdekaan, tepatnya pada Selasa 18 Agustus, Komunitas Adat Besipae di desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan, didatangi oleh aparat gabungan polisi Brimob dan pamong praja. Mereka diperintahkan oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat untuk menghancurkan pondok-pondok milik warga yang berada di sekitar Hutan Adat Pubabu. Sekitar 30 rumah dibongkar paksa dan 47 kepala keluarga terpaksa harus mengungsi.
Dalam aksi pembongkaran paksa tersebut, aparat menggunakan kekerasan verbal dan fisik kepada warga anggota komunitas adat Besipae yang berada di lokasi. Aksi kekerasan ini terutama menyasar perempuan dan anak-anak. Menurut saksi mata, terdengar tiga kali letupan senjata api.
Sengketa Hutan Adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam, diawali oleh keengganan komunitas adat Besipae untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan Hutan Adat Pubabu. Di tahun 1987, selama 25 tahun wilayah tersebut digunakan sebagai areal proyek peternakan sapi yang merupakan kerjasama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Timor Tengah Selatan (TTS) dengan sebuah perusahaan asal Australia. Di tahun 2010, dua tahun sebelum izin kadaluarsa, tawaran perpanjangan dari Pemkab TTS ditolak warga.
Komunitas adat Besipae bersikeras bahwa Hutan Adat Pubabu mesti dikembalikan lagi ke fungsi awalnya sebagai areal Nais Kio atau kawasan hutan larangan. Nais Kio adalah bentuk konservasi tradisional Masyarakat Adat Besipae berlandaskan kearifan lokal. Penolakan tersebut tidak dipedulikan dan Pemkab TTS tetap melanjutkan penggunaan kawasan Hutan Adat Pubabu sebagai Hutan Makanan Ternak (HTM).
Meski demikian, komunitas adat Besipae tetap teguh menolak penggunaan areal seluas 3.700 hektar di kawasan Hutan Adat Pubabu.
Pada 12 Mei 2020, saat Gubernur Laiskodat mengunjungi Desa Mio, warga menyatakan penolakan mereka dengan melarang Gubernur untuk masuk ke dalam wilayah adat mereka dengan cara melakukan pemblokiran jalan. Pemalangan ini direspon dengan aksi kekerasan untuk membongkar pagar blokade oleh kepolisian yang turut serta dalam rombongan gubernur. Hal ini memicu aksi histeris dari perempuan-perempuan adat Besipae yang menanggalkan baju mereka sebagai simbol dukacita atas ancaman perampasan yang menyasar wilayah Hutan Adat Pubabu.
Aksi sepihak Pemprov NTT yang menghancurkan pondok-pondok milik warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional Masyarakat Adat yang telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Lebih jauh, penyerangan terhadap komunitas adat Besipae juga merupakan pelanggaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengutuk keras tindakan represi dan persekusi terhadap Masyarakat Adat Besipae.
“Penggunaan tindak kekerasan adalah cara-cara yang tidak beradab dan melanggar HAM. Kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat Bisapae termasuk perlakuan tidak manusiawi kepada perempuan dan anak, menunjukkan negara tidak hanya gagal menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak konstitusional Masyarakat Adat, tetapi juga menunjukkan watak otoritarian rezim yang berkuasa hari ini. Pemerintah harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada dilokasi kejadian, segera membebaskan warga yang ditahan tanpa syarat dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak, serta mendesak pemerintah untuk lebih mengedepankan dialogis untuk menyelesaikan masalah ini dengan memastikan Masyarakat Adat Tiga Tungku; Mollo, Amanatun dan Amanuban terlibat penuh dalam menyelesaikan perkara ini.” tegas Rukka.
Lebih jauh, Rukka menegaskan bahwa peristiwa penyerangan terhadap komunitas adat Besipae yang terjadi sehari setelah riuh perayaan kemerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa Masyarakat Adat masih terbelenggu oleh penjajahan. Perjuangan untuk mendapatkan pemenuhan hak melalui undang-undang Masyarakat Adat juga masih jauh dari harapan.
“Ini ironis. Presiden Joko Widodo tampil berpidato dengan menggunakan pakaian Masyarakat Adat Tiga Tungku. Tapi di saat yang bersamaan, Pemerintah dari level nasional hingga ke tingkat lokal justru sama sekali tidak menghargai hak-hak Masyarakat Adat. Sementara itu, sudah 15 tahun nasib Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat tak kunjung mendapatkan pengesahan di saat eskalasi kekerasan terhadap Masyarakat Adat semakin memprihatinkan.” jelas Rukka.
“Terlebih lagi, di saat pandemi, Negara justru ingin mempercepat pembahasan Omnibus Law yang justru akan memperparah perampasan-perampasan wilayah adat. Apa yang terjadi di Besipae hari ini tidak berakhir justru akan banyak kasus serupa jika Pemerintah tetap bersikeras dengan RUU Omnibus Law Cilaka dan menutup mata terhadap RUU Masyarakat Adat. Omnibus Law bukan hanya akan menghancurkan wilayah-wilayah adat, tapi juga akan menghapus pekerjaan-pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan akan memperlebar jurang ketimpangan dan diskriminasi perempuan adat.” tutup Rukka.
* * *
Untuk mendukung Masyarakat Adat Besipae dapat melalui petisi di http://www.change.org/SavePubabu/
Kontak Media :
- Andre Barahamin (Direktur Infokom), HP: 0858-3106-0727
- Muhammad Arman (Direktur Advokasi Hukum dan HAM), HP: 081218791131