Kepada Yth.
- Ketua Baleg DPR RI
- Ketua dan Anggota Panja RUU Masyarakat Adat
- Ketua-Ketua Fraksi DPR RI
Di-Jakarta
Dengan Hormat,
Kami mengapresiasi inisiatif DPR RI yang telah mengusulkan RUU Masyarakat Adat untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020. Kami juga mengucapkan terima kasih atas keterbukaan Panja RUU Masyarakat Adat dalam proses pembahasan harmonisasi RUU Masyarakat Adat yang dilaksanakan secara virtual pada tanggal 16 April 2020.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, perkenankan kami menyampaikan alasan-alasan utama pentingnya pembentukan Undang-undang Masyarakat Adat:
- Secara historis-sosiologis dan antropologis, keberadaan Masyarakat Adat telah ada jauh sebelum terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa. Para pendiri bangsa bahkan telah merumuskannya dalam pembentukan awal Konstitusi/UUD 1945.
- Pasca-amandemen UUD 1945, hak konstitusional Masyarakat Adat secara tegas diatur dalam Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1). Ketiga ketentuan tersebut mewajibkan negara untuk mengakui sistem pemerintahan asli dan penghormatan hak asal-usul Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
- Meski telah diatur di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, situasi Masyarakat Adat saat ini sebagian besar berada dalam kemiskinan karena wilayah adat mereka diambil secara sepihak oleh pemerintah atas nama pembangunan. Pemerintah juga memberikan wilayah- wilayah adat mereka secara sewenang-wenang untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
- Pengaturan Masyarakat Adat di dalam berbagai UU sektoral saat ini tidak cukup memadai, bahkan telah menjadi penyebab utama peminggiran dan pemiskinan Masyarakat Adat menikmati ruang hidup dan hak-hak tradisonalnya. Masyarakat Adat kerap menjadi korban kriminalisasi akibat kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh negara.
- UU Masyarakat Adat bertujuan untuk menata ulang hubungan antara Masyarakat Adat dengan negara di masa depan dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, keseteraan gender, perlakuan tanpa diskriminasi, dan pro lingkungan hidup. Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk mengatasi sektoralisme pengaturan hak Masyarakat Adat yang yang selama ini menjadi penyebab utama peminggiran masyarakat adat dalam menikmati hak-hak tradisionalnya.
- Pengakuan dan perlindungan wilayah Masyarakat Adat menjadi sangat penting sebagai benteng pertahanan pangan terakhir masyarakat dalam menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19
- Masyarakat Adat terancam dalam RUU Minerba yang menjadikan wilayah adat sebagai wilayah eksploitasi tambang dalam bentuk apapun.
- Dalam RKUHP, pengaturan Living Law dalam RKUHP mengancam keberadaan hukum adat dengan menjadikannya sebagai hukum positif dengan pengaturan melalui peraturan daerah dalam bentuk kompilasi, sementara penerapannya diserahkan kepada alat-alat hukum negara dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan tentang hukum pidana yang sudah ada.
- RUU Omnibus Law Cipta Kerja jelas sekali mengabaikan masyarakat adat, bahkan gagal melihat keberadaan masyarakat adat. RUU Cipta Kerja tidak menganggap keberadaan masyarakat adat sebagai penyandang hak. Masyarakat adat hanya dinilai perannya melalui pemberian persetujuan untuk masuknya investasi di wilayah adat, tanpa ada ruang untuk menggugat.
- Keluarnya beberapa RUU yang merugikan masyarakat dan lingkungan hidup di antaranya RUU Minerba, Revisi RKUHP dan juga RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang juga terkait keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya. Keberadaan RUU-RUU tersebut tidak hanya mengancam masyarakat adat sebagai subjek hukum yang harus dilindungi tetapi juga berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan wilayah adatnya. RUU Cipta Kerja juga meminggirkan proses pengakuan Masyarakat Adat ke dalam tingkat terendah peraturan perundangan. Peraturan perundangan tentang masyarakat adat bahkan dapat dibatalkan oleh UU ini jika dinilai menghambat masuknya investasi.
- Kehadiran RUU Omnibus Law sangat jelas mengancam eksistensi Masyarakat Adat dalam melaksanakan hak atas pekerjaan tradisionalnya yang telah diatur di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO. 111 Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation. Padahal dalam masa krisis pangan karena pandemik Covid-19, sistem ekonomi dan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan masyarakat pedesaan seperti petani, peladang tradisonal dan nelayan tradisional menjadi pilar utama pertanahan pangan nasional.
Berkaitan dengan draft RUU Masyarakat adat yang telah dipersiapkan oleh DPR RI, kami menyampaikan masukan atau usulan sebagai berikut:
- Mengenai Judul RUU tentang Masyarakat Adat
Pada prinsipnya, mendefinisikan Masyarakat Adat sebagai subjek hukum harusnya mengacu pada dua istilah sebagai rujukan pokok di dalam konstitusi, yaitu istilah Masyarakat Hukum Adat (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945) dan istilah Masyarakat Tradisional (Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945). Kedua istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan dua pendekatan dalam konstitusi mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat beserta hak-haknya, yaitu pendekatan fungsional sebagaimana diinginkan oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, dan pendekatan berbasis HAM dalam pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat beserta hak-hak nya sebagaimana diinginkan oleh
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Dalam konteks dimana konstitusi sendiri mengenal dua istilah sebagaimana disebutkan itu, maka harus ditemukan suatu istilah yang mengakomodasi dua maksud dalam dua istilah tersebut. - Proses Penetapan/Pendaftaran yang MUDAH bagi Masyarakat Adat, MURAH bagi Pemerintah, dan Hasilnya LEGITIMATE.
Dalam Pasal 18 ayat (4) draft RUU menyatakan “Menteri menetapkan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan laporan hasil validasi yang diserahkan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk Keputusan Menteri”. Proses penetapan/pendaftaran Masyarakat Adat melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, ini terlalu birokratis dan menyulitkan Masyarakat Adat.
Oleh karena itu, diperlukan suatu proses penetapan/pendaftaran yang mudah bagi Masyarakat Adat. Penetapan/pendaftaran seharusnya dibuat lebih sederhana yaitu cukup dengan Keputusan Bupati dan Keputusan Gubernur berdasarkan kewenangannya masing-masing dan agar hasilnya legitimate, haruslah mendapat persetujuan dan validasi bersama antara komunitas masyarakat adat, pemerintah dan pihak terkait lainnya. - MENGHAPUS “Bab Mengenai Evaluasi Masyarakat Adat”
Pasal 20 dan 21 RUU Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat yang telah ditetapkan akan dievaluasi keberadaannya setiap 10 (sepuluh) tahun pasca penetapannya oleh pemerintah. Ketentuan ini melanggengkan politik penyangkalan keberadaan Masyarakat Adat, padahal Masyarakat Adat telah ada jauh sebelum terbentuknya NKRI. Masyarakat Adat adalah subjek hukum alamiah dan serangkaian haknya termasuk hak atas tanah merupakan hak asal-usul- bawaan-tradisional adalah hak yang tidak terpisahkan (inalienable rights) dari sejarah keberadaan Masyarakat Adat itu sendiri. - MENAMBAHKAN klausul mengenai hak Masyarakat Adat atas “Rehabilitasi dan Restitusi”
Persoalan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat saat ini tidak dapat dilepaskan dari pelanggaran HAM di masa lalu. Pelanggaran HAM masa lalu itu berupa tindakan diskriminasi, kekerasan, perampasan sumber daya alam, penggusuran, yang dilakukan oleh Negara dan atau pihak lain. Oleh karena itu Masyarakat Adat berhak mendapat hak atas rehabilitasi dan restitusi. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak atas rehabilitasi dan restitusi akan dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau setidak-tidaknya UU Masyarakat Adat memandatkan adanya pengaturan mengenai tata cara pemberian hak atas rehabilitasi dan restitusi melalui Peraturan Pemerintah. - KEHARUSAN MEMBENTUK satu Lembaga di Tingkat Nasional Yang Mengurusi Masyarakat Adat
Kelembagaan menjadi salah satu isu sentral dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Hal ini disebabkan karena pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat itu menjadi dasar dari tercapainya keinginan untuk mengantarkan bangsa Indonesia keluar dari pengaturan hukum yang sektoral dan tumpang tindih sebagaimana terjadi selama ini.
Komisi Masyarakat Adat, memiliki tugas dan Kewenangan yaitu: 1). Melaksanakan pendataan dan pengkajian, 2). Melaksanakan verifikasi atas keberadaan masyarakat adat dan hak-hak nya, 3). Melaksanakan sosialisasi dan konsultasi kebijakan, 4). Mengembangkan standar pengakuan dan perlindungan secara nasional, 5). Menyelenggarakan pendidikan dan penyuluhan, 6). Melaksanakan pemantauan, dan 7). Memfasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik. - KESETARAAN GENDER
RUU Masyarakat Adat harus memastikan negara melakukan langkah- langkah konstruktif dalam rangka pengarusutamaan kesetaraan gender dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di dalam masyarakat adat. Hal ini penting karena hingga hari ini tidak tersedia perlindungan pada hak kolektif perempuan adat seperti pengetahuan atas motif anyaman, pewarnaan alami, obat-obatan, pemuliaan benih dan lainnya telah menjadi salah sumber kekerasan terhadap perempuan adat. Untuk itu, RUU ini perlu secara eksplisit menempatkan prinsip kesetaraan gender dan memiliki pasal yang mendukung pelaksanaan dan perlindungannya. - HARMONISASI dilakukan dengan PENDEKATAN INTEGRATIF.
Menekankan pada menyatukan atau menarik semua persolan mengenai masyarakat adat dan hak tradisionalnya ke dalam satu UU khusus tentang masyarakat adat. Sektoralisme dianggap tidak akan teratasi jika peraturan mengenai masyarakat adat masih tersebar di berbagai peraturan sektoral. Peraturan sektoral yang tumpang tindih harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam UU Masyarakat Adat.
#SahkanRUUMasyarakatAdat
#TolakOmnibusCILAKA
#MasyarakatAdatLawanCOVID19
Jakarta, 16 April 2020
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jurnal Perempuan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), debtWATCH, FORMAT-P, Kalyanamitra, Kemitraan Patnership, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LAKPESDAM NU, PEREMPUAN AMAN, PPMAN, BPAN, RMI, SAWIT WATCH, YAYASAN SATU NAMA, HuMa, KIARA, BRWA, WALHI, merDesa Institute, LOKATARU, JKPP, Protection Indonesia, ICEL, MADANI.