Walaupun keberadaan Masyarakat Adat telah diakui dalam konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun sampai sekarang situasi pengabaian, pengucilan, dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Indonesia masih terus terjadi.
Ada dua masalah utama yang melatarinya. Pertama, tidak adanya pengakuan secara utuh atas keunikan dan kekhasan Masyarakat Adat sebagai masyarakat. Semisal, tari-tariannya diakui, tapi kepercayaannya tidak. Kedua, pengaturan dan pengelolaan Masyarakat Adat di tingkat pemerintah pusat tidak terintegrasi, masih terserak setidaknya di 13 Kementerian/Lembaga (K/L) di mana nomenklaturnya ada pada level direktur/eselon tiga ke bawah. Akibatnya, tidak ada strategi kebijakan yang komprehensif, melainkan lebih bernuansa proyek, yang sering kali saling menegasikan. Belum lagi di tingkat pemerintah daerah yang masing-masing memiliki penafsiran yang beragam tentang Masyarakat Adat.
Padahal, praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Masyarakat Adat, selain berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan hidup, juga dapat memberikan kontribusi ekonomi. Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya.
Salah satu bentuk sumbangan nyata Masyarakat Adat di Bidang Ekonomi, adalah melalui Koperasi Simpan Pinjam yang disebut Credit Union (CU). Meski gerakan awalnya dirintis oleh Pastor Karl Albrectht Karim, SJ., namun CU justru berkembang setelah mengalami proses inkulturasi budaya dengan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat pada tahun 1980-an. CU kemudian tumbuh besar menjadi gerakan ekonomi rakyat, tak hanya untuk dan di wilayah Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat tetapi meluas hampir sebagian besar pulau Kalimantan, Papua, NTT, dan Pulau Jawa yang dimulai pada 2000-2006 hingga sekarang. Tahun 2018, CU di Kalbar memiliki aset sebesar Rp6,5 triliun, sementara di tahun yang sama, APBD Provinsi Kalimantan Barat hanya Rp5,9 triliun.
Hasil studi BRWA (2019) menunjukan tutupan lahan terbaik (hutan primer) terletak di wilayah adat, artinya Masyarakat Adat mengelola hutan dengan lestari juga terbukti memberikan sumbangan pada ketahanan pangan lokal. Hal ini masih dapat kita temukan pada masyarakat Baduy (Banten) dan Boti (Nusa tenggara Timur) di mana tak satu pun ada anak yang mengalami stunting dan gizi buruk. Padahal angka Kemiskinan di Provinsi Nusa tenggara Timur (NTT), khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mencapai 29,36 persen dan angka stunting 52,76 Persen. Hal ini terutama karena Masyarakat Adat Boti masih memiliki keberagaman pangan yang
tinggi.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan sub-etnis, yang masing-masing memiliki kebudayaan dan hukum adatnya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, budaya asli (local genius) Masyarakat Adat sebagai suatu sistem nilai yang menuntun sikap, perilaku, dan cara hidup, merupakan identitas dan menjadi kebanggaan dari Masyarakat Adat. Local genius adalah nilai-nilai adat yang tidak dapat dipengaruhi oleh budaya luar. Oleh karena itu, local genius biasanya menjadi titik pangkal kemampuan Masyarakat Adat untuk menangkal, menetralisir, bahkan menyelesaikan konflik yang terjadi, baik di Masyarakat Adat itu sendiri, maupun dengan kelompok masyarakat lain.
Local genius sebagai inti dari identitas budaya dan hukum adat, bisa dikembangkan dan ditanamkan di masyarakat sebagai upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan wilayah serta kerukunan hidup. Untuk itu pemerintah perlu memberikan penghormatan dan pengakuan yang wajar terhadap nilai-nilai luhur ini dan mendorong menjadikannya sebagai nilai bersama seluruh bangsa. Dalam konteks penyelesaian konflik misalnya, kita mengenal Pela Gandong sebagai jalan penyelesaian konflik masyarakat di Ambon. Di mana masyarakat yang berkonflik saling mengangkat saudara satu sama lain. Suatu ikatan persatuan persaudaraan. Ada juga local genius di Papua yang disebut Tradisi Bakar Batu, ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahmi. Tradisi ini sebagai pengikat kebersamaan masyarakat Papua.
Baca naskah lengkap dengan mengunduh di tautan berikut ==> Policy Brief_Optimize_Medium