Jaga Desa dan Wilayah Adat: Cara Masyarakat Adat Banua Lemo Melawan COVID-19

Jaga Desa dan Wilayah Adat: Cara Masyarakat Adat Banua Lemo Melawan COVID-19

Baso Gandangsura
(Anggota Komunitas Masyarakat Adat Banualemo
Kepala Desa Bone Lemo, Kec. Bajo Barat, Kab. Luwu – Sulawesi Selatan)

Hampir satu bulan lebih lamanya kita menghadapi wabah virus Covid-19. Perkembangan yang memprihatinkan atas masifnya penyebaran pandemi COVID-19 yang semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia dan Indonesia khususnya. Wabah virus telah menelan ratusan korban jiwa dan menginfeksi ribuan warga lainnya.

Pemerintah masih berada di persimpangan pilihan antara mengarantina wilayah atau tidak, korban terus berjatuhan. Dalam waktu satu hari, setidaknya ada ratusan warga yang positif terinfeksi pandemi ini. Kecepatan penyebaran virus bahkan lebih cepat dari pada kemampuan pemerintah mendeteksi mereka yang terpapar.

Di tengah tiadanya langkah progresif, kini kita harus bersiap menghadapi kondisi terburuk yang disebabkan oleh wabah virus. Sebagai Kepala Desa Bonelemo, saya bertanggungjawab terhadap 1.268 jiwa warga Bonelemo yang terus diupayakan untuk tetap sehat. Tak hanya itu, kami juga harus memastikan ketahanan pangan warga dan komunitas adat yang ada di Bonelemo. Kami harus mengambil langkah. Kami tidak bisa menunggu intsruksi yang terkesan lambat.

Tak mungkin dapat tidur nyenyak jika ada tangis di samping rumah. Tak mungkin bisa hangat jika api di dapur tetangga tidak menyala”. Demikian pesan leluhur yang mengajarkan kami untuk saling tolong-menolong dengan sesama. Kesadaran itu yang menggugah saya untuk merumuskan upaya tanggap darurat di Desa Bonelemo, satu dari empat desa di wilayah adat Banua Lemo guna melindungi warga Desa dan komunitas adat dalam menghadapi wabah virus.

Membuat disinfektan alami dari jeruk nipis dan daun sirih yang diambil dari wilayah adat (Foto: Baso’)

Lockdown” Hingga Mendirikan Bilik Sterilisasi

Memberlakukan tindakan lockdown atau menutup sementara akses keluar masuk desa/kampung sampai situasi pandemi berakhir” demikian instruksi Sekretaris Jenderal, AMAN Rukka Sombolinggi. Saya kemudian menindaklanjutinya dengan menutup sementara akses masuk kampung dan membentuk Kampung Siaga Covid-19 yang beranggotakan pemuda/i dan Ibu-Ibu PKK Desa Bonelemo.

Di setiap portal pembatas ada petugas dari Kampung Siaga COVID-19 yang ditugaskan untuk mengecek mobilitas masuk warga, juga mengecek warga desa yang baru pulang merantau dari luar daerah. Tujuannya untuk mencegah wabah virus masuk ke desa.

Selain itu, sembari pemuda-pemuda membuat bilik sterilisasi, para ibu-ibu PKK kemudian membuat cairan disinfektan alami berbahan daun sirih dan jeruk nipis. Cara ini adalah ilmu yang diajarkan oleh leluhur secara turun-temurun lalu kami modifikasi. Bahan-bahannya bersumber langsung dari wilayah adat.

Dalam tradisi Masyarakat Adat Banualemo, jika di kampung ada warga yang sakit biasanya langsung di obati oleh tabib dengan diasapi dan atau dengan penguapan cairan berbahan dasar daun sirih dan jeruk nipis. Penguapan dengan daun sirih selain untuk penyakit tertentu, juga digunakan bagi perempuan yang akan menikah dengan tujuan penyucian diri. Metode pengasapan biasa dilakukan pada orang yang tiba-tiba mengalami gatal-gatal. Orang tersebut akan didudukkan di atas kursi lalu di bawah kursi tersebut dibakar potongan rotan. Setelah cukup, api tersebut dimatikan lalu badan ditutup menggunakan sarung selama beberapa menit. Sejak dulu, leluhur kami telah mengenal pengobatan alami dengan penguapan cairan dan pengasapan, yang saat ini bisa digunakan sebagai bahan untuk membasmi kuman dan penyakit (disinfektan alami). Tradisi ini turun-temurun diajarkan dan berguna bagi kami untuk melindungi diri dari ancaman wabah virus.

Berkat cara pengobatan tradisonal ini, ratusan warga desa Bonelemo, tiga desa lain di wilayah adat Banua Lemo dan warga desa lain hingga jajaran Pemerintah Kabupaten Luwu kini dapat menggunakan bilik sterilisasi dan cairan disinfektan alami sebagai cara melindungi diri mereka masing-masing tanpa harus bergantung dengan bantuan kesehatan dan alat pelindung diri (APD) dari pemerintah yang serba terbatas. Selain itu, dari tradisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa Masyarakat Adat adalah benteng pertahanan terakhir dari serangan wabah virus yang masif. Pengetahuan tersebut juga menjadi bukti tangguh bahwa tradisi dan pengobatan leluhur yang berkembang sejak dahulu sebetulnya adalah alat perang yang dapat kita gunakan untuk melawan pandemi.

Bilik disinfektan dan tim jaga kampung yang berjaga di pintu masuk (Foto: Baso’)

Wilayah Adat Sebagai Sumber Pangan

Tiga lembaga dunia di bawah PBB, yaitu Badan Kesehatan Dunia (WHO), Badan Pertanian Dunia (FAO) dan Badan Perdagangan Dunia (WTO) telah memperingatkan bahwa wabah virus Covid-19 bisa memicu potensi kekurangan pangan di seluruh dunia. Banyak pemerintah di seluruh dunia telah melakukan lockdown atau mengunci populasi mereka untuk memperlambat penyebaran virus. Tapi mereka memandang hal itu bisa mengakibatkan pelambatan perdagangan internasional dan rantai pasokan pangan.

Di tengah situasi krisis ini, peran Masyarakat Adat sangat dibutuhkan untuk memastikan pasokan pangan terpenuhi. Wilayah adat adalah sumber pangan. Beragam jenis varietas tumbuhan pangan dan pengetahuan tradisional mengenai beragam jenis pangan hanya dapat dipertahankan jika wilayah adat kita tetap ada, tidak dirampas dan tidak diubah. Bangsa ini kini bergantung dengan Masyarakat Adat yang tetap menjaga wilayah adatnya sebagai sumber bahan pangan ditengah serangan pandemi.

Di Desa Bonelemo, bagian dari wilayah adat Banua Lemo, kami sedang berupaya menjaga dan memastikan kebutuhan pangan warga terpenuhi. Kami membuat kebun jagung desa minimal 10 hektar dan akan ditambah lebih luas untuk menjaga ketersediaan pangan. Kini anak-anak muda dan ibu-ibu PKK sedang rajin menjemur sagu untuk menghadapi krisis pangan yang mungkin akan terjadi. Anggota komunitas adat Banua Lemo sadar betul bahwa pasokan pangan kami bersumber dari wilayah adat. Memahami dengan benar bahwa kekayaan wilayah adat peninggalan leluhur membuat kami kuat melawan pandemi.

Selain itu, di tengah situasi serba terbatas, kami diajarkan leluhur untuk saling tolong menolong. Dengan ketersediaan pangan yang dimiliki, kami memutuskan untuk memberi bantuan ke keluarga yang dibatasi aktivitasnya karena penyebaran pandemi COVID-19 yang begitu massif.

Menjemur sagu sebagai persiapan cadangan pangan di masa krisis (Foto: Baso’)

Menghitung Kesiapan Menghadapi Krisis

Dalam menghadapi situasi tidak normal, Masyarakat Adat Banua Lemo menggelar pertemuan dengan para pemuka adat untuk menentukan langkah yang akan dilakukan selama masa pandemi berlangsung. Demikian juga halnya dengan pembagian peran masing-masing. Misalnya yang bertanggung jawab membuat daun sirih, jeruk nipis, pemenuhan kayu bakar hingga pembagian tugas jaga kampung. Semua terbagi sesuai tugasnya masing-masing dan dilaksanakan dengan baik.

Saat banyak pihak baru mau menyusun langkah penanganan krisis, justru kami sudah melakukannya jauh-jauh hari. Salah satu hal yang sangat menggugah jiwa saya sebagai Kepala Desa adalah saat sedang di Masjid menyampaikan ke khalayak warga bahwa kita butuh membuka kebun jagung minimal 10 hektar untuk pemenuhan pangan warga selama masa krisis. Saya menunjuk beberapa tanah warga Masyarakat Adat yang cocok untuk dijadikan kebun jagung tersebut. Tidak ada yang menolak bahkan warga sendiri yang mengusulkan agar tanah mereka saya yang digunakan. Tentu ini bentuk kesadaran dan tanggung jawab bersama yang lahir dari tutur dan ajaran leluhur.

Masyarakat Adat harus dapat menunjukkan bahwa kita adalah tempat berlindung paling aman di tengah masifnya penyebaran pandemi COVID-19. Kita juga dapat membuktikan bahwa Masyarakat Adat mampu bertahan menghadapi krisis yang disebabkan oleh wabah virus. Pangan dan obat-obatan tradisional yang bersumber dari wilayah adat kita masing-masing dapat menghidupi saudara kita di kota yang hari ini sedang diterpa keadaan serba terbatas.

Baso’, Kepala Desa Bonelemo, satu dari empat desa di wilayah adat Banua Lemo (Foto: Baso’)

Tinggalkan Balasan