Pernyataan Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat

Pernyataan Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat

Disampaikan pada Dialog Bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia

Dinamika sekitar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga saat ini terus mengemuka dan belum berkesudahan – terutama terkait penegakan hukum korporasi, solusi dan penyelesaiannya. Berdasarkan pemberitaan media sedikitnya ada 86 kasus karhutla yang terdiri dari 29 koprorasi dan selebihnya yakni 57 kasus adalah perorangan. Setelah melakukan penyegelan dan merilis sejumlah perusahaan yang terlibat dalam kasus karhutla di Kalimantan Barat, belum ada upaya lain yang terkonfirmasi selain telah memberikan peringatan melalui surat (lampiran Undangan Rapat Evaluasi Karhutla di Kalbar). Sementara, tindakan hukum tegas atas keterlibatan pihak korporasi di Kalimantan Barat masih belum terlihat nyata. Pada saat bersamaan, nasib Peladang yang bertani padi dengan pola gilir balik mengusahakan pangannya secara turun temurun melalui praktik berkearifan lokal selama ini menghadapi dilema yang tidak berkesudahan. Tuduhan miring sebagai penyebab kebakaran hutan, lahan dan petaka asap yang mulai ditabuh sejak tahun 1997/1998 hingga kini masih terngiang melalui narasi sumbang sejumlah pihak, termasuk di kalangan aparatur. 

Peristiwa Karhutla tahun 2015 yang diiringi dengan penegasan komitmen Presiden menghentikan petaka asap yang ditandai dengan terbitnya Intruksi Presiden Nomor 11 tahun 2015 tertanggal 24 Oktober 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan telah menjadi alibi aparatur melakukan tindakan antisipasi karhutla yang justeru terkesan represif di lapangan. Atasnama melaksanakan ‘perintah Presiden’ – maka ‘paham’ yang dianut aparat di lapangan mengerucut pada ‘pokoknya’; pokoknya jangan membakar! Pesan yang turut disampaikan turut disertai dengan ancaman penjara dan denda milyaran rupiah. Sementara, adanya perlindungan praktik berkearifan lokal dalam membersihkan ladang dengan cara bakar secara terkendali sebagaimana disampaikan Undang-undang tidak pernah disampaikan. 

Di Kalimantan Barat, 7 Juli 2015 Maklumat Kepolisian Kalimantan Barat tentang Larangan Membakar Hutan, Lahan dan Kebun lebih dulu diterbitkan dari Inpres 11/2015. Bahkan salinan Maklumat dalam bentuk baliho dipasang hingga ke sejumlah perusahaan perkebunan yang pernah membersihkan lahan kebunnya dengan cara bakar sekalipun. Sementara, water bombing serampangan dan patroli lapangan bersenjata aparat mewarnai situasi yang dihadapi Masyarakat Adat, khususnya Peladang di Kalimantan Barat sejak pasca terbitnya Intruksi Presiden. Hal sama juga mewarnai situasi yang dialami Peladang di wilayah lainnya. Dampaknya rasa cemas, kesal juga marah dialami Peladang yang menjadi korban kebijakan antisipasi karhutla. Praktik berkearifan lokal dalam hal berladang dalam situasi ini justeru diabaikan. 

Terbitnya Permen LHK 10 tahun 2010 Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan di pasal 4 menjadi salah satu aturan yang menjadi justifikasi ‘larangan berladang’ bagi masyarakat di komunitas.

Pernyataan Bapak Wiranto, selaku Menkopolhukam Republik Indonesia pada 13 September 2019 sebagaimana diberitakan https://www.vivanews.com dengan judul “Kebakaran Hutan, Wiranto; Gara-Gara Peladang” kala itu, menambah deretan anggapan miring terhadap Peladang (baca; petani) yang menjadi bagian dari penopang keberlanjutan kehidupan. Bahkan setelah pernyataan miring tersebut, kasus hukum kepada Peladang pun mulai dialami masyarakat di sejumlah tempat baik di Kalimantan Barat maupun provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Sementara, pembinaan, pendampingan dan pemberdayaan Peladang dengan terminologi pertanian lahan kering, sejak petaka asap hebat akibat kebakaran tahun 1997/1998 hingga saat ini guna memberikan kepastian solusi permasalahan yang dihadapi tidak kunjung ada. Negara melalui aparaturnya justeru hadir dengan ketidakberpihakannya pada Peladang di lapangan.

Hak konstitusional Masyarakat Adat Pasal 18 B (2) dan 28 I ayat (3); Negara mengakui dan melindungi Masyarakat Adat dan hak konstitusionalnya. Penegasan ini berarti, negara berkewajiban mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak konstitusional Peladang yang merupakan warga negara yang juga Masyarakat Adat termasuk hak untuk berladang secara tradisional. UU 32 tentang PPLH telah menyatakan bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar merupakan hak Masyarakat Adat dengan memperhatikan kearifan tradisional (Pasal 69 ayat 2 dan penjelasannya). Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 111 tentang Perlindungan Pekerjaan Tradisional. Pemerintah harus konsisten dan sungguh-sungguh untuk hadir memastikan pelindungan hukum bagi hak-hak Peladang tradisional yang juga merupakan warga Negara Indonesia. 

Berangkat dari uraian di atas, dilema yang dihadapi petani, khususnya Peladang berkearifan lokal penting mendapat perhatian serius segenap komponen, termasuk pemerintah pusat untuk memastikan usaha legal dalam pemenuhan hak atas pangan ini tetap mendapat tempat di republik ini. Karenanya, ruang dialog Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat bersama pihak Kementrian Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia untuk meluruskan, membangun kesepahaman dan memulihkan situasi gamang yang dihadapi Peladang menjadi hal yang penting. Pada situasi ini, negara diharapkan sungguh hadir dengan wajah keberpihakannya bagi Peladang yang hemat kami menjadi salah satu bagian penting penopang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. 

Atas gambaran situasi yang terjadi dan dialami Peladang, maka melalui dialog bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia yang dilakukan saat ini, Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat mengharapkan ada niat baik bersama untuk memastikan agar kemerdekaan dan rasa aman bagi Peladang dalam menjalani usahanya dalam memenuhi hak kemanusiaan dan keberlanjutan kehidupannya. Melalui dialog bersama Menkopolhukam RI dan menyampaikan secara langsung berbagai hal terkait dengan dinamika dan persoalan hingga harapan sekitar situasi nasib dan keberlanjutan kehidupan Peladang, diharapkan adanya komitmen dan kepastian sebagai berikut;

  1. Meminta pemerintah menjamin dan memberikan perhatian serius dengan berpihak, menghentikan kriminalisasi dan penangkapan Peladang tradisional.
  2. Meminta seluruh Peladang yang saat ini ditangkap dan dihadapkan pada proses hukum segera dibebaskan serta dipulihkan nama baiknya.
  3. Menghentikan tuduhan negatif dan menyesatkan yang menuduh Peladang sebagai penyebab kebakaran lahan dan hutan. 
  4. Mendesak pemerintah untuk melakukan edukasi pada aparatus negara terkait Peladang tradisional dalam penanganan kasus-kasus kebakaran lahan dan hutan. 
  5. Melakukan pemulihan atas dinamika, situasi gamang dan persoalan yang dihadapi Peladang tradisional. 
  6. Mendesak pemerintah menjamin pengakuan dan perlindungan hak-hak Peladang tradisional dengan mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat. 

Jakarta, 30 Januari 2020

Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat

YOHANES MIJAR USMAN

(Ketua)

Tinggalkan Balasan