Senin (9/12/2019) hari ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat bersama Forum Solidaritas Bela Peladang Kabupaten Kotawaringin Barat turun ke jalan, berdemonstrasi di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun. Mereka datang dengan menyuarakan tuntutan utama agar PN Pangkalan Bun, membebaskan Gusti Maulidin dan Sarwani, dari Komunitas Adat Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat dari dakwaan pelaku kebakaran hutan dan lahan.
Ratusan orang yang berasal dari Komunitas Adat Rungun, Kubu, mahasiswa, Ormas Himpunan Juriat Pangeran Ratu, perwakilan AMAN Lamandau, Gerdayak, dan AMAN Kotawaringin Barat, menggelar konvoi dari Sekretariat AMAN Kotawaringin Barat, menuju PN Pangkalan Bun, pukul 08.30 WIB.
Perwakilan keluarga korban, mahasiswa, perempuan aman, dan AMAN Kotawaringin Barat silih berganti berorasi. Mereka juga mengecam pandangan yang menganggap kearifan lokal dan masyarakat adat tidak ada dan belum ada penetapan, dan menjadikannya sebagai basis alasan untuk menghukum peladang.
Gusti Maulidin dan Sarwani dijerat dengan pasal berlapis. Pertama, dengan Pasal 108 Jo 69 Ayat 1 Huruf H UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, dengan Pasal 78 Ayat (3) Jo Pasal 50 Ayat (3) Huruf D, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiga, Pasal 187 ke-1 KUH Pidana. Keempat, Pasal 188 KUH Pidana.
Gusti Maulidin dan Sarwani adalah masyarakat adat, yang secara turun-temurun mewarisi budaya membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar. Bagi mereka, membakar hanya sebatas untuk kepentingan ketahanan pangan lokal, tidak untuk merusak lingkungan hidup.
Mereka tidak memenuhi unsur pidana pembakaran itu. Sebab, mereka sudah melakukan praktek buka lahan dengan menebas, membuat sekat, dengan luasan kurang dari satu hektar, yang itu artinya tidak melanggar undang-undang. Lagi pula, lahan yang mereka buka bukan lagi tutupan hutan. Kawasan itu sudah berulang kali dijadikan tempat berladang.
Dalam aksi ini, massa menyerukan enam pernyataan aksi:
- Menegaskan kepada setiap orang bahwa praktik berladang adalah upaya mempertahankan tradisi masyarakat adat.
- Menegaskan praktik perladangan tradisional oleh masyarakat adat merupakan bentuk kedaulatan mereka terhaap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah dan ruang hidup.
- Hakim harus memperhatikan secara sungguh-sungguh kearifan lokal di masyarakat, sebagaimana tertuang dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 69, Ayat 2, dan hakim harus melihat bahwa kearifan lokal tidak butuh penetapan masyarakat adat.
- Menolak pandangan hakim PN Pangkalan Bun yang menyebut kearifan lokal harus didahului adanya penetapan masyarakat adat oleh pemerintah. Padahal, kearifan lokal sebagai pengalaman dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya alam suatu tempat.
- Menegaskan bahwa pembukaan lahan oleh Gusti Maulidin dan Sarwani telah memenuhi kriteria kearifan lokal (maksimal 2 hektar, sekat bakar, varietas lokal), sebagaimana pengertian dalam UU PPLH Pasal 69 Ayat 2.
- Menuntut penghentian kriminalisasi terhadap seluruh peladang tradisional dalam kasus karhutla serta menuntut PN Pangkalan Bun membebaskan Gusti Maulidin dan Sarwani.
Namun, dalam sidang dengan agenda penyampaian tuntutan, jaksa tetap menuntut Gusti Maulidin dan Sarwani hukuman penjara selama 5 bulan, menggunakan Pasal 187 KUHP. Pernyataan kami, tetap bahwa Gusti Maulidin dan Sarwani harus dilepaskan dari segala dakwaan. Menghukum mereka adalah preseden buruk yang berdampak pada eksistensi peladang tradisional lainnya, dan mengancam ketahanan pangan masyarakat lokal dan pedalaman. Jadi, harus dibebaskan!