Menakar Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf: Investasi Tanpa Kepastian Hukum

Menakar Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf: Investasi Tanpa Kepastian Hukum

Malang (29/11/2019), www.aman.or.id - Transisi politik telah berlangsung. Untuk kedua kalinya setelah melewati proses politik yang panjang, Presiden Joko Widodo kembali mengemban amanat rakyat untuk mengomandoi tampuk pimpinan negara. Komitmen politik yang dibangun Presiden Jokowi pada periode pertama adalah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat). Namun, komitmen itu tersandera oleh dinamika politik yang terjadi dalam tubuh pemerintahannya sendiri.

Meski Presiden Jokowi melalui Surat Perintah Presiden (SUPRES) telah memerintahkan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ATR/BPN, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Desa, dan Menkumham sebagai wakil Pemerintah untuk membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR, hingga berakhir masa Pemerintahan Jokowi, DIM RUU Masyarakat Adat sebagai prasyarat utama untuk melanjutkan proses legislasi di DPR justru tak kunjung dikeluarkan oleh Pemerintah.

Dinamika politik seperti apa yang menghambat RUU Masyarakat Adat untuk disahkan? Kenapa pemerintah begitu khawatir untuk mengesahkan RUU ini? Pertanyaan itu yang melatarbelakangi Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Menakar Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf: Pentingkah RUU Masyarakat Adat?” Seminar ini dilaksanakan di Aula Nuswantara FISIP UB Jalan Veteran, Malang, Jawa Timur, Jumat (29/11/2019) yang dihadiri oleh pembicara di antaranya Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, Wakil Ketua KOMNAS HAM RI Sandra Moniaga, Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas dan Dosen Ilmu Pemerintahan Lukman Hakim.

“Kami ditangkap karena mempertahankan hidup kami sendiri. Ada 200 lebih peladang tradisional dari Masyarakat Adat di seluruh Pulau Kalimantan ditangkap dan dikriminalisasi. Penangkapan terhadap Masyarakat Adat yang membakar ladang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri adalah kebijakan keliru. Bahkan akibatnya bisa memunculkan bencana kemanusiaan. Ditengah ketiadaan Undang-Undang yang melindungi Masyarakat Adat, kriminalisasi bahkan kekerasan kerap menjadi benalu bagi Masyarakat Adat,” tegas Rukka.

Ada kekhawatiran yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi periode pertama untuk mengakui dan melindungi Masyarakat Adat. Kekhawatiran tersebut didasarkan terhadap asumsi ekonomi. Masyarakat Adat dianggap menjadi beban bagi APBN dan menghambat investasi.

“Padahal RUU Masyarakat Adat adalah jembatan antara negara dan Masyarakat Adat serta dapat menjadi instrumen untuk melancarkan pembangunan,” tambahnya.

Pemerintahan ke depan akan menghadapi tantangan berat yang muncul dari dinamisnya politik-ekonomi global. Tantangan tersebut antara lain; pertama, ketidakpastian ekonomi global. Risiko ketidakpastian masih akan mewarnai perkembangan perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia diperkirakan akan cenderung stagnan dengan tren melambat, masing-masing diproyeksikan sebesar 3,6 dan 3,8 persen per tahun, sepanjang 2020-2024. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Dalam empat tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan pada kisaran 5,0 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan.

Stagnannya pertumbuhan ekonomi disebabkan utamanya oleh tingkat produktivitas yang rendah seiring tidak berjalannya transformasi struktural. Adapun faktor yang menjadi penghambat adalah (1) regulasi yang tumpang tindih, (2) rendahnya kualitas SDM dan produktivitas dan (3) keterkaitan hulu-hilir yang lemah.

AMAN mengeluarkan hasil kajian studi valuasi ekonomi Masyarakat Adat di enam wilayah yakni Komunitas Adat Kasepuhan Karang – Lebak, Komunitas Adat Kajang – Bulukumba, Komunitas Adat Kaluppini – Enrekang, Komunitas Adat Seberuang – Sintang, Komunitas Adat Saureinu – Mentawai dan Komunitas Adat Moi Kelim – Sorong. Studi ini telah berhasil memotret dari dekat model ekonomi pengelolaan sumber daya alam Masyarakat Adat. Hasil umum dari valuasi ini telah memperlihatkan secara jelas bahwa pengelolaan ekonomi Masyarakat Adat mampu menghasilkan keuntungan fantastis yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam serta nilai jasa lingkungan melebihi pendapatan daerah di mana studi dilangsungkan.

Hasil studi kemudian memberikan basis argumentasi yang kuat bahwa aspek regulasi yang mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat ternyata dapat memicu geliat ekonomi dan berkontribusi positif terhadap pendapatan negara. Selain itu, efek positif lahirnya regulasi pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat juga dapat memperbaiki iklim dan kepastian investasi yang muncul dari ketidakpastian hukum atas hak-hak Masyarakat Adat dan tentunya memperkuat ketahanan ekonomi nasional sebagaimana yang ditargetkan oleh pemerintah pada 2020 – 2024.

Investasi tanpa kepastian hukum adalah nol besar. RUU Masyarakat Adat adalah instrumen paling sahih untuk memberikan kepastian hukum bagi hak Masyarakat Adat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Tak hanya itu, RUU ini juga mengatur larangan dan sanksi pidana terhadap perbuatan yang menghalang-halangi Masyarakat Adat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan maupun sumber daya alam.

“Dari sisi substansi, RUU ini sekalipun masih terdapat sejumlah kekurangan akan tetapi cukup memadai untuk dapat mengakui dan melindungi hak Masyarakat Adat, sekaligus menata ulang hubungan antara Masyarakat Adat dengan negara di masa depan dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi, dan pro lingkungan hidup,” ungkap Dosen Ilmu Pemerintahan Lukman Hakim.

Sejak tahun 2009, hingga saat ini RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan. Padahal, RUU ini adalah kebutuhan prioritas bagi Masyarakat Adat. Selalu ada proses politik yang menghambat pengesahan RUU Masyarakat Adat.

“Kami mengakui bahwa DPR RI periode 2014-2019 adalah DPR RI paling tidak produktif. Oleh sebab itu, saya sebagai anggota dan Ketua Badan Legislasi DPR RI berkomitmen untuk memastikan RUU Masyarakat Adat masuk di Prolegnas Jangka Menengah. Juni 2020 akan ada evaluasi dan kita akan masukkan RUU Masyarakat Adat dalam prioritas,” demikian komitmen Supratman Andi Agtas sekaligus menutup diskusi.

Yayan Hidayat

Tinggalkan Balasan