Jakarta, 1 Oktober 2019
Setiap masa transisi politik merupakan masa paling krusial dalam menentukan terlindungi atau terancamnya hak-hak rakyat. Pengalaman sebelumnya, pada masa injury time (detik-detik akhir), telah melahirkan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang kemudian diubah menjadi UU No. 39 Tahun 2014. UU ini berdampak terhadap ruang hidup rakyat dan lingkungan hidup.
Sejak reformasi 1998, sudah menjadi pola yang dilakukan Pemerintah dan DPR RI untuk berlaku licik pada masa transisi. Sederet Undang-Undang ini kemudian telah terbukti menjadi pintu dari serangkaian perampasan tanah rakyat, penghancuran lingkungan hidup, hingga ketimpangan ekonomi yang melahirkan oligarki politik dan ekonomi. Terbukti berbagai UU dimasa transisi tersebut telah memberi hadiah 13,9 juta hektar lahan kepada korporasi dan elit oligarki. Jumlah hadiah itu nyaris setengah dari total jumlah izin yang diterbitkan sejak 1998 (30 juta hektar).
Masa transisi yang kita hadapi hari ini terkait dengan berakhirnya DPR dan Pemerintahan periode 2014-2019, lebih brutal. Tanpa malu, DPR dan Pemerintah Jokowi-JK memunculkan sederet Rancangan Undang-Undang sektoral yang merugikan rakyat. Akibatnya, tahun 2019 merupakan tahun paling parah dalam melaksanakan proses legislasi, di mana 6 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berpeluang merugikan rakyat dan negara diproses sekaligus, antara lain RUU KPK, RUU SDA, RUU SBPB, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RUU KUHP.
Selain itu, UU Sumber Daya Air dan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, secara substansi merupakan reinkarnasi dari UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Ironisnya, UU tersebut yang telah diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi oleh akibat gugatan Petani dan organisasi masyarakat sipil melalui Judicial Review, terbukti bertentangan dengan UUD 1945 dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan disahkannya kembali substansi Undang-Undang ini, tentu kembali mengakomodir kepentingan korporasi untuk memaksa petani dan rakyat Indonesia menjadi konsumen tetap perusahaan penyedia kebutuhan pertanian dan perusahaan air minum.
Kali ini rencana jahat DPR RI dan Pemerintah mendapatkan gelombang protes besar-besaran dari kalangan mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, buruh, Masyarakat Adat dan berbagai elemen masyarakat sipil. Metode aksi-aksi ekstra parlementer telah mendapatkan kemenangan kecil, dengan ditundanya pengesahan, setidaknya berbagai RUU yang tidak pro rakyat hingga 30 September 2019. Sayangnya, oleh DPR RI berbagai RUU tersebut diover/dilanjutkan (carry over) ke DPR RI periode berikutnya. Lebih menyedihkan lagi, UU KPK, UU Sumber Daya Air dan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang menyulitkan petani telah disahkan.
Di sisi lain, DPR RI dan Pemerintah periode 2014-2019 hingga akhir masa jabatannya, justru gagal mewujudkan hak rakyat bagi perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Serta perlindungan dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat. Mangkraknya RUU Masyarakat Adat dan RUU PKS merupakan sikap dari tidak seriusnya DPR RI dan Pemerintah dalam menjalankan mandat Konstitusi. Selain itu, penegakan hukum dan pencabutan izin korporasi penyebab malapetaka asap selama ini tidak ditangani secara serius, tetapi justru mengorbankan petani di desa-desa.
Wajar bila rakyat menyakatan bahwa akibat tindakan jahat dimasa transisi adalah bukti Reformasi Dikorupsi! Berbagai RUU yang dipaksakan DPR RI dan ditolak gerakan rakyat serta ditargetkan untuk disahkan pada periode ini, selain melemahkan KPK secara substansial juga mengarah kepada 3 hal mendasar:
1. Melegalisasi kejahatan korporasi di sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup selama 21 Tahun terakhir.
2. Memberi kesempatan perluasan penguasaan oligarki atas sumber daya alam di Indonesia, yang mengakibatkan perampasan sumber kehidupan dan ruang hidup rakyat di darat, pesisir dan laut.
3. Memarginalisasi dan mengisolasi serta melucuti hak veto petani, nelayan, buruh, Masyarakat Adat, perempuan, mahasiswa, pelajar, pejuang HAM dan demokrasi, dan seluruh rakyat agar tidak melawan dominasi oligarki yang menggunakan pendekatan militeristik dan melakukan kriminalisasi.
Atas situasi politik saat ini, akibat dari dikorupsinya reformasi, yang semakin bergejolak seperti uraian di atas, maka kami yang berhimpun dalam Aliansi Rakyat yang terdiri dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS), Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), serta berbagai gerakan Mahasiswa dan Pelajar menyatakan sikap:
1. Pemerintah dan DPR RI telah terbukti gagal mengawal mandat Reformasi
Sebaliknya, reformasi dikorupsi oleh Pemerintah dan DPR dengan membawa politik, regulasi dan kebijakan negara di bawah kendali korporasi. Partai Politik dan DPR RI telah gagal menyerap dan mengawal kehendak serta kebutuhan rakyat. Kami menyatakan “MOSI TIDAK PERCAYA” kepada pemerintah dan DPR RI.
2. Pemerintah dan DPR terbukti melakukan serangan sistematis dan meluas kepada rakyat dari berbagai latar belakang yang melakukan aksi-aksi “Reformasi Dikorupsi”.
Hingga malam hari 30 September 2019, kami masih menerima berbagai laporan korban fisik dari peserta aksi massa. Selain itu juga masih banyak kepanikan karena tidak sedikit peserta aksi yang tidak bisa pulang, karena terus diserang aparat keamanan. Kami Mengutuk dan meminta Negara segera menghentikan cara-cara penanganan dan respon aspirasi rakyat yang refresif, dengan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi, serta pelibatan buzzer yang mendistorsi informasi. Cara-cara ini semakin menjauhkan politik Indonesia dari mandat reformasi, membahayakan rakyat serta berpotensi melahirkan konflik horizontal.
3. Memberi waktu SEGERA kepada Pemerintah Jokowi sebelum pelantikan pemenang pemilu 2019 untuk menanggapi dan menjawab “Mosi Tidak Percaya” dari kami Blok Politik Kerakyatan ini serta menjelaskan secara langsung dan terbuka kepada rakyat dalam bentuk musyawarah rakyat. Kami mengingatkan, bahwa cara-cara mengundang segelintir orang atau tokoh yang disangka bisa mengalihkan keresahan rakyat yang dialami selama ini, tidak akan mampu menjawab problem struktural ini.
Berdasarkan sikap politik di atas, kami menyerukan:
Kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memeriksa, mengawal dan menuntut Tuntaskan Mandat/Amanat Reformasi 1998, dengan cara terus bergerak (mobilisasi) dan mengkonsolidasikan seluruh elemen rakyat dalam “Blok Politik Kerakyatan”.
Kita sudah sampai pada kebutuhan membangun partai politik alternatif sebagai jawaban terhadap kebobrokan partai-partai politik di DPR dan Pemerintah selama ini. Untuk itu revisi UU Pemilu menjadi tugas mendesak gerakan rakyat untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi selama 21 tahun ini.
Demikianlah pernyataan sikap ini disampaikan melalui kawan-kawan media, dengan harapan disebarluaskan dan didiskusikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
========================================================================
KOALISI MASYARAKAT SIPIL (KMS)
ALIANSI MASYARAKAT UNTUK KEADILAN (AMUK)
GERAKAN BURUH BERSAMA RAKYAT (GEBRAK)
BEM SELURUH INDONESIA (BEM SI)
Narahubung:
Zenzi Suhadi: 081289850005
Anwar Sastro M.: 081210590010
Dinda Yura: 081818722510
Eustobio: 082342295139
Reynaldo Sembiring: 081376670167