Jakarta, 27 September 2019 – Serangkaian aksi yang dilakukan mahasiswa, pelajar dan rakyat yang lebih luas dalam beberapa hari terakhir merupakan manifestasi dari tuntutan rakyat terhadap kinerja Pemerintah dan DPR yang berujung pada “dagelan politik”. Produk kebijakan yang dihasilkan secara nyata melupakan pentingnya partisipasi publik. Besarnya gelombang aksi harus dimaknai sebagai peringatan serius. Kami, beberapa organisasi masyarakat sipil dari berbagai latar belakang secara khusus menyoroti situasi terakhir yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota lainnya.
Pertama, ada beberapa regulasi dan rancangan regulasi yang memang harus ditolak karena jauh dari cita-cita reformasi, terutama dari aspek perlindungan lingkungan dan HAM.
RUU Pertanahan. RUU ini tidak menghormati kewenangan masyarakat adat berdasarkan hukum adat untuk mengatur hak atas tanah di dalam wilayah adatnya, juga tidak membuka ruang penyelesaian konflik atas masifnya perizinan di bidang sumber daya alam, bahkan cenderung untuk “memaafkan” sekaligus “melupakan” konflik yang telah terjadi, sebagai contohnya penggunaan tanah di luar HGU oleh korporasi justru akan diputihkan. Adapun hukum adat tidak diakui sebagai instrumen penyelesaian konflik. RUU Pertanahan tidak menawarkan prosedur pengakuan hak ulayat yang lebih sederhana dari yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan selama ini. RUU ini mencerminkan sikap pemerintah dan DPR yang terus menerus “menolak” keberadaan masyarakat adat berikut hak masyarakat adat atas wilayah adatnya.
RUU KUHP. RUU ini menghalangi upaya hukum untuk menjerat korporasi perusak lingkungan dan korporasi pembakar lahan karena batasan mengenai siapa yang bertanggung jawab antara pengurus dan korporasi tidak jelas. Apa yang dimaksud dengan kebijakan korporasi sebagai syarat untuk menjerat korporasi juga tidak jelas. RUU ini juga menambahkan unsur “melawan hukum” yang pastinya membuat pembuktian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan lebih sulit. Dalam konteks masyarakat adat, ketentuan living law di dalam RUU KUHP tidak dapat diterima, dan akan menjadi PENAKLUKAN atau PENUNDUKAN hukum adat. Ini disebabkan karena RUU KUHP mengatur bahwa hukum adat itu dikompilasi melalui Peraturan Daerah. RUU KUHP juga mengatur bahwa hukum adat dijalankan oleh otoritas penegak hukum, bukan oleh institusi adat. Hal ini tentu sangat jauh dari maksud pengakuan terhadap masyarakat adat termasuk hak untuk menjalankan hukum adatnya.
RUU Pertanahan dan RUU KUHP juga akan menghambat penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi, khususnya dalam kebakaran hutan yang semakin tahun makin parah, dalam kondisi ini pemerintah bukan hanya bercuci tangan , tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat umum.
RUU Minerba. Rancangan peraturan ini kembali mengakomodasi kepentingan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang ada untuk diperpanjang 2 kali 10 tahun dan mengusahakan kembail wilayahnya dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain itu, rencana peraturan ini berpotensi mengabaikan pemulihan dan kriminalisasi masyarakat yang menolak tambang.
UU KPK. UU KPK jelas mengamputasi kewenangan KPK untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Ditengah belum efektifnya kinerja institusi penegakan hukum lainnya, KPK punya peran penting dalam menghentikan laju kerusakan lingkungan, terutama dalam hal obral izin.
UU Sumber Daya Air. UU yang disahkan dengan tergesa ini, jelas tersirat memberikan kedok bagi proses privatisasi yang telah berlangsung, tetap melanggengkan eksploitasi yang sudah ada, tidak ada upaya korektif dan evaluasi perizinan. Pada sisi lain UU ini justru memberikan ancaman kriminalisasi pada rakyat dengan kewajiban izin meski untuk pertanian rakyat. Secara umum UU ini tidak memberikan perlindungan utuh pada ekosistem air.
UU Sistem Budidaya Pertanian. UU yang bertentangan dengan perlindungan hak petani terutama petani skala kecil. Pembatasan dan larangan pengedaran benih hasil pemuliaan antar petani tidak didasari indikator yang jelas sehingga terlalu besar berpotensi over-kriminalisasi terhadap petani kecil dan membatasi pemuliaan benih. Selain itu, UU ini menghilangkan kekhususan hak petani (farmer’s right) yang sejatinya harus dilindungi dari ekses negatif rezim paten.
PP OSS. Peraturan ini merupakan “andalan” Pemerintahan Jokowi dalam mempercepat investasi, tetapi peraturan ini secara nyata telah meminggirkan amdal dan izin sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan. Intinya melalui PP OSS, investasi bisa jalan tanpa perlu kelengkapan izin dan Amdal.
PP RTRWN. PP ini membolehkan dibangunnya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sebelumnya tidak ada dalam RTRW provinsi/kabupaten/kota hanya dengan rekomendasi menteri. Padahal seharusnya ruang untuk pelaksanaan kegiatan/proyek harus ditetapkan terlebih dahulu dalam RTRW provinsi/kabupaten/kota. Penetapan RTRW provinsi/kabupaten/kota pun perlu ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang memastikan terintegrasinya pembangunan berkelanjutan serta pertimbangan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang partisipatif dalam suatu kebijakan/rencana/program.
Kedua, beberapa undang-undang yang seharusnya dibentuk malah diabaikan oleh pemerintah dan DPR. Setidaknya ada 2 (dua) undang-undang yang kami catat, yang harus segera dibahas dan disahkan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini dimaksudkan untuk mencegah angka kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat di Indonesia, sekaligus menyediakan mekanisme penyelesaian kasus yang berperspektif korban dan berorientasi pada hak-hak perempuan. Apalagi, kekerasan seksual juga seringkali menjadi alat negara dalam membungkam gerakan
RUU Masyarakat Adat. RUU ini harus disahkan untuk menterjemahkan secara benar pengakuan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat sebagaimana dimaksud UUD 1945. Selain itu, kehadiran Undang-undang Masyarakat Adat penting sebagai instrumen yang mengakui sekaligus melindungi masyarakat adat sebagai subjek hukum berikut hak asal-usul yang melekat dalam masyarakat adat. Undang-Undang Masyarakat Adat juga penting untuk mengatur mekanisme penyelesaian konflik masa lalu sekaligus merancang suatu mekanisme penyelesaian konflik masa kini dan di masa depan.
Ketiga, serangkaian aksi rakyat dalam beberapa hari terakhir, termasuk para pendukungnya mendapatkan represi dari aparat. Kami mengecam keras dan marah atas meninggalnya kawan kami Randy dan M. Yusuf Kardawi yang diduga keras tertembus peluru aparat serta Bagus Putra Mahendra dalam rangkaian aksinya memperjuangkan hak rakyat. Doa kami bagi kawan-kawan kami, dan rasa dukacita mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Kami juga mengecam keras penggunakan upaya paksa dan penagkapan yang tidak sesuai prosedur hukum untuk “menekan” kawan kami Dandhy Laksono dan Ananda Badudu yang selama ini menggunakan cara-cara demokratis dalam menyampaikan sikapnya.
Keempat, kami meyakini bahwa kebenaran harus diperjuangkan melalui cara-cara demokratis, termasuk aksi protes rakyat. Karenanya, kami mendukung, bergabung dan bersama dengan seluruh rakyat dalam memperjuangkan tuntutan-tuntutan sesuai cita-cita reformasi.
Atas situasi ini kami, Koalisi Masyarakat Sipil dari berbagai organisasi mendesak pemerintah (eksekutif dan legislatif) untuk :
- DPR RI Menghentikan semua proses legislasi RUU yang membahayakan hak hak rakyat.
- Mencabut dan/atau membatalkan semua regulasi yang mengancam hak masyarakat dan lingkungan hidup.
- Mendesak presiden untuk mengeluarkan Perppu membatalkan revisi UU KPK
- Menghentikan semua upaya-upaya intimidasi, represif dan kriminalisasi kepada rakyat, mahasiswa dan pelajar, serta semua komponen masyarakat yang memperjuangkan hak asasi manusia.
- Mendesak pemerintah menegakan hukum terhadap korporasi yang membakar lahan, dengan pencabutan izin serta pertanggungjawaban mutlak terhadap kerugian dan pemulihan lingkungan yang terjadi, serta membuka daftar korporasi ke publik. Serta memenuhi dan memulihkan hak-hak korban bencana ekologis asap.
Koalisi Masyarakat Sipil
Narahubung :
- Ahmad, SH 0813-5431-1740
- Dinda Yura 0818-1872-2510
- Reynaldo Sembiring 0813-7667-0167
- Anwar Sastro M 0812-1059-0010
- Eustobio Renggi 0823-4229-5139