Jakarta (13/5/2019), www.aman.or.id - Masyarakat Adat Kasepuhan Karang bangkit dari keterpurukan. Pasca-penetapan hutan adat, mereka langsung bermusyawarah guna memanfaatkan hak-hak mereka untuk bertani atau memanfaatkan sumber potensi ekonomi yang mereka punya.
Kebebasan mereka bertani berimbas kepada peningkatan ekonomi. Imbas ini diakibatkan pengelolaan potensi ekonomi di semua wilayah adatnya. Jika sebelum 2016 mereka bertani sembunyi-sembunyi, kini mereka mengoptimalkan lahan-lahan kosong untuk diolah.
“Nah pada 2018 kemarin, kami mencoba menghitung, menghitung dari hasil ini, hasil itu. Ternyata pasca penetapan hutan adat atau pasca implementasi Perda Kabupaten Lebak kalau dari sisi ekonomi hampir 90% naik,” kata Jaro Wahid, pemegang mandat memimpin perjuangan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang.
Jaro Wahid melanjutkan bahwa mereka juga sudah mencoba menghitung nilai ekonomi yang mereka punya. “Dari hitungan kasar aja kemarin dari buah-buahan seperti durian, duku dan manggis itu sekitar Rp 9 Milyar untuk 2018,” katanya.
Secara akademis, AMAN menggandeng beberapa ahli dari IPB, ITB, dan Unpad untuk melakukan studi terkait nailai ekonomi komunitas adat Kasepuhan Karang. Hasil dari yang disebut dengan Valuasi EKonomi itu ternyata sangat mengejutkan.
Wilayah hutan adat yang dihuni Masyarakat Adat Kasepuhan Karang menyimpan nilai ekonomi Rp 36,21 Milyar/tahun. Sebagai perbandingan dengan perekomian daerah: Rp 16,32 juta/kapita/tahun dari SDA, sedangkan PDRB Lebak hanya Rp 13,77 juta/kapita/tahun.
Peningkatan ekonomi tidak hanya tercermin dalam angka. Jumlah pengangguran yang semula tinggi, berkat penetapan hutan adat kini jumlahnya menurun. Sebab para pemuda yang biasanya merantau ke luar kampung, misalnya ke Jakarta kini mereka punya akses untuk usaha di kampung.
Jakob Siringoringo