Jakarta (13/5/2019), www.aman.or.id - Masyarakat Adat Kasepuhan Karang merupakan salah satu contoh kasus di mana dampak pengklaiman hutan adat turut menekan statistik anak bersekolah negara. Jadi, selain mengkriminalisasi warga adat, kebijakan Kehutanan turut berdampak pada minimnya anak-anak adat yang mengakses pendidikan negara.
Ketua BPH AMAN Daerah Banten Kidul, Jaro Wahid mengatakan kalau saat ini jumlah ana bersekolah meningkat drastis.
“Di angka pendidikan 150% naik. Kenapa 150% naik? Yang dulu sebelum ditşetapkan hutan adat, mereka itu gak berani sekolah SMP atau SMA. Sekarang, yang dulu gak masuk sekolah langsung masuk sekolah,” katanya.
Mengecap pendidikan setidaknya hingga tingkat SLTA sudah menjadi kewajiban warga negara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mencanangkan kebijakan tersebut. Anehnya akibat kebijakan dari kementerian tetangga (KLHK), wajib belajar 9 tahun tersebut turut terhambat. Dengan kata lain, kebijakan “Wajar 9 Tahun” tidak berlaku di semua daerah.
Tumbuhnya semangat warga adat Kasepuhan Karang untuk mengirim anak-anaknya ke pendidikan formal ibarat jarum tumbuh di musim hujan. Ia sekaligus menjadi satu harapan. Kabar bak itu rupanya tak berhenti hanya di situ. Jaro Wahid mengaku terkejut ketika para orangtua di Kasepuhan Karang sudah berani menyuruh anaknya yang tamat SLTA untuk meneruskan pendidikannya hingga Perguruan Tinggi.
"Saya tanya, kenapa anak bapak suruh kuliah? Sekarang pak Jaro durian saya adalah hak saya, gak dibagi lagi (ke pihak ketiga), sehingga saya merasa mampu membayar biaya perkuliahan anak saya. Nah sampai ke situnya,” kata Wahid.
Pengakuan hutan adat Kasepuhan Karang membawa banyak perubahan penting bagi Masyarakat Adat di Kasepuhan Karang. Hal ini tak lepas dari upaya panjang Masyarakat Adat Kasepuhan Karang yang dipimpin Wahid dalam mengurus penetapan Perda No.8/2015 tentano Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Lebak hingga keluarnya SK Hutan Adat mereka 30 Desember 2016.
Jakob Siringoringo