Sumbawa, www.aman.or.id-Berdasarkan SK Menteri Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi no 71 tahun 2018 tentang penetapan Kecamatan Sekongkang sebagai kawasan transmigrasi, kini tanah Batu Nampar ditetapkan sebagai lokasi transmigrasi dengan luas sekitar 527 hektar.
Lokasi Batu Nampar berada di Desa Talonang, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang saat ini sedang ditanami jagung oleh warga karena termasuk di dalam wilayah kelola adat.
Melansir pernyataan Kepala Disnakertrans Kabupaten Sumbawa Barat, Muslimin HMY yang dimuat media online lokal realitaspos.com tanggal 26 Februari 2019, ia mengatakan bahwa, “Penyiapan lahan 527 hektar tersebut, dilakukan menyusul adanya rencana pemerintah untuk membuka kawasan transmigrasi baru tahun 2020.”
Ketua Adat Komunitas Tanalong, Jamaluddin M. Amin angkat bicara atas pernyataan tersebut, kawasan Batu Nampar telah lama didiami oleh Masyarkat Adat Tanalong sebagai pemilik ulayat adat.
“Tanah ulayat ini sudah lama kami miliki, kami kelola sebagai sumber kehidupan kami. Ketika kami disuruh membuat SKPT (Surat Keterangan Pemilik Tanah) kami buat dan itu ada. Ketika kita disuruh urus pajak, kita bayar pajak,” ungkap Jamaluddin.
Menangapi pernyataan tersebut, Ketua BPH AMAN Sumbawa, Jasardi Gunawan mengingatkan pemerintah untuk meninjau ulang keputusan tersebut.
“Pemerintah harus meninjau ulang keputusannya, terkait penetapan Kecamatan Sekongkang sebagai kawasan transmigrasi, karena di lokasi tersebut ada hak ulayat yang secara turun temurun dimiliki oleh Masyarakat Adat, baik Masyarakat Adat Talonang di Batu nampar, Masyarakat Tatar, di Tongo, ini harus perhatikan, jangan sampai hak ulayat diambil.”
Tindakan Pemda ini jelas mengabaikan keberadaan Masyarakat Adat yang tinggal di kawasan tersebut, padahal menurut Dekan Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial dan Budaya Samawa Rea (ISSBUD SAREA), Dianto sudah dibuktikan melalui riset keberadaan Masyarakat Adat Talong, berdasarkan riset-riset dengan pendekatan etnografi maupun pendekatan hukum.
“Sudah atau belum lakukan itu, Pemda yang punya kapasitas untuk menjawabnya, yang jelas, Masyarakat Adat lebih dulu hadir dari pada negara. Ada kekhilafan ketika negara melakukan penetapan kawasan hutan yang mana saat itu dengan penunjukan. Saat ini negara membuka ruang pengembalian hak ulayat melalui regulasi-regulasi yang ada, hanya menunggu kemauan pemda untuk mengakui atau tidak Masyarakat Adatnya. Di daerah lain, sudah banyak hak ulayat dikembalikan, sudah banyak Perda, SK pengakuan Masyarakat Adat.”
Melansir pernyataan Febriyan Anindita, Kepala Biro Advokasi dan Informasi dan Komunikasi AMAN Sumbawa si media online Mongabay tanggal 10 Mei 2016, konflik wilayah adat di Talonang telah terjadi sejak tahun 1992, saat itu pemerintah secara sepihak menetapkan wilayah Talonang ini sebagai daerah transmigrasi melalui SK Gubernur NTB No.404/1992 tentang Pencadangan Tanah Transmigrasi seluas 4.050 ha.
Pada tahun 2012, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mendorong masuknya investasi di kawasan transmigrasi di daerah tersebut. Salah satunya bekerja sama dengan perusahaan PT. Dongfang Sisal Group Co ltd, Guangdong, Cina, yang mengembangkan budidaya sisal sebagai produk unggulan.
Tanaman sisal (Agave sisalana Ferrine). Tanaman berdaun hijau, runcing dan berduri, berjarak renggang dan tahan kering ini, menjadi bahan baku pembuatan tali dan lapisan pembungkus kabel. Dengan beragam manfaatnya, tanaman ini justru menjadi sumber masalah bagi Masyarakat Adat Talonang.
“PT. Dongfang Sisal ini lalu membentuk perusahaan baru, yaitu PT. Guangken Dongfang Sisal Indonesia dengan kepemilikan saham atau shareholding PT. Pulau Sumbawa Agro sebesar 75 persen dan PT. Dongfang Sisal Group sebesar 25 persen. Proyek pengembangan sisal ini pada tahap awal meliputi area seluas 3.000 hektar,” jelas Febriyan.
Menurut Febriyan, berbagai cara dilakukan Pemda Sumbawa Barat untuk merongrong keberadaan Masyarakat Adat Talonang di lahan miliknya sendiri. Mulai dari pengklaiman sepihak Pemda yang menyatakan lahan di Blok Batu Nampar adalah milik negara dan masuk dalam kawasan hutan lindung.
“Pemda Sumbawa Barat bahkan mengeluarkan SK eksekusi lahan yang ingin mengusir masyarakat adat dari lahan miliknya sendiri, bahkan telah melaporkan secara hukum setiap orang yang menguasai lahan tersebut.
Tak hanya itu, Masyarakat Adat diiming-imingi uang kerohiman atau jasa pembersihan lahan bagi mereka yang bersedia mengembalikan tanah, nilainya sebesar Rp2,5 juta per hektar.”
Untuk itu Febrian kembali menegaskan tanah Batu Nampar adalah tanah ulayat, diakui atau tidaknya oleh pemerintah merupakan keputusan politik yang harus diputuskan oleh lembaga politikik. Apapun yang terjadi kami akan tetap perjuangkan hak-hak Masyarakat adat,” tegas Febriyan.
Memet Satriawan-PD AMAN SUMBAWA