Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI); Mutiara Pengetahuan Perjuangan Masyarakat Adat Melayu

Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI);  Mutiara Pengetahuan Perjuangan Masyarakat Adat Melayu

Jakarta, www.aman.or.id – Jika ada peneliti, akademisi, aktivis mahasiswa dan pelaku gerakan sosial yang belum pernah mendengar atau mengenal organisasi BPRPI di Sumatera Utara, dapat diumpamakan seperti membaca buku, namun melewatkan satu bab paling penting. BPRPI kepanjangan dari Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI).

Di Nusantara ini, ada makna khas untuk kata-kata penunggu, misalnya ketika seseorang memberimu peringatan, jangan sembarangan bertingkah laku di suatu tempat, ia akan menjelaskannya dengan mengatakan alasannya, “karena ada yang nunggu.” Dalam khazanah Melayu, kata penunggu menandakan ada makna terlihat dan tidak terlihat oleh mata.

Tapi bukan itu semata. Tanah mereka, tanah yang dahulu ditunggui dan diusahakan oleh moyang mereka tidak pernah kembali sejak diambil paksa oleh Belanda hingga Indonesia merdeka. Sistem tanah mereka dikenal sebagai Tanah Jaluran.

Sebelum perkebunan asing masuk ke wilayah Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) khususnya di Deli, Langkat dan Serdang, daerah ini adalah wilayah-wilayah otonom perdatuan dan wilayah pertanian tiga suku besar yakni Melayu, Karo dan Simalungun. Sebuah wilayah bertani yang sangat subur.

Keadaan berubah ketika perkebunan datang, setelah percobaan menanam tembakau menhasilkan untung yang besar. Tekanan terhadap tanah semakin besar karena komoditi tembakau, kemudian karet dan sawit yang dibingkai dalam kebijakan Agrarische Wet 1870.

Kaum Planters (Pengusaha Perkebunan) mendapatkan konsesi tanah di daerah ini melalui perjanjian dengan penguasa setempat khususnya Kerajaan Deli, Langkat dan Serdang masyarakat dengan sewa 3.50 Gulden perhektar setiap tahunnya selama 70 dan 75 tahun. Berbagai sogokan diberikan kepada penguasa untuk memuluskan kontrak tanaman tembakau.

Dalam konsesi perkebunan Belanda, masyarakat asli yang dahulunya bertani mendapatkan tanah penggantian seluas empat hektar, kemudian berubah menjadi 2.8 hektar. Selanjutnya berhak menggunakan Tanah Jaluran. Ini adalah tanah yang berhak dipakai oleh penduduk pemilik tanah lama selama setahun pada saat Planters mengistirahatkan tanah setelah panen tembakau.

Satu-satunya perjanjian yang dijalankan oleh perkebunan terkait tanah adalah sistem tanah jaluran ini.

Setelah Indonesia merdeka tanah tersebut tak pernah dikembalikan. Setelah merdeka, beberapa wilayah dari tanah perkebunan ini juga pernah dibagikan kepada rakyat. Pertama, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) pada masa rasionalisasi tentara-tentara rakyat pada masa revolusi. Kemudian, pembagian tanah melalui land reform pada tahun 1965-an sampai awal tahun 1970.

Namun, semua pemilik surat-surat tersebut yakni pemilik kontrak perkebunan yakni Masyarakat Adat, pemilik surat SKPT, hingga pemilik surat pembagian tanah melalui land reform tidak pernah dapat memiliki tanah tersebut menjadi haknya. Semua dianggap angin lalu karena perusahaan kebun hasil nasionalisasi mengabaikan hal ini.

Mereka-mereka yang menerima laporan kasus-kasus Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) dari daerah eks Sumatera Timur, akan menemukan tiga lapis klaim masalah ini dengan berbagai cabang-cabang turunannya.

BPRPI didirikan 1953 menuntut agar tanah adat mereka diakui dan dikembalikan. Haram bagi BPRPI meminta yang bukan hak kami, demikian kata-kata mereka yang begitu menusuk ke dalam sanubari anggotanya juga siapapun pihak yang mendengarnya.

Permintaan tanah kembali atau menggarap tanah jaluran ditolak pemerintah. Oleh karena kebun-kebun ini tidak lagi menanam tembakau, karena telah berganti dengan tanaman Sawit, Karet. Selain itu, klaim sebagai Masyarakat Adat justru semakin dipinggirkan oleh pemerintah.

Untuk yang memakai kacamata perubahan sosial tentu akan paham mengapa organisasi ini bernama Penunggu. Tanah Masyarakat Adat Melayu ini dipakai (Ditunggui) oleh warga yang beragam suku bangsa khususnya dalam sistem tanah jaluran. Namun, mengakui bahwa pemiliknya adalah Masyarakat Adat Melayu.

Dalam perlawanan mengembalikan tanah tersebut, terdapat juga beberapa kampung yang memakai dokumen-dokumen kontrak berbahasa Belanda dan menggugat kembali tanah tersebut melalui jalur pengadilan. Kasus mereka menang dan berkekuatan hukum tetap. Namun tragisnya, tanah adat tak juga dikembalikan, karena perkebunan sawit masih saja bercokol.

Beragam cara telah dipakai sejak Indonesia merdeka untuk menyelesaikan soal konflik wilayah adat ini. Namun sayang, dari beragam cara tersebut, BPRPI selalu dikhianati atau dilupakan. Tanah-tanah PTPN yang dikeluarkan alih-alih menjadi tanah BPRPI ataupun penerima SKPT dan Landreform, namun menjadi milik orang-orang kaya, pengusaha dan pejabat.

Perjuangan rakyat penunggu dalam panji-panji organisasi BPRPI telah dilakukan sejak 1953 kemudian menjadi salah satu inspirasi dan menyebar ke seluruh tanah air. Menjadi organisasi yang menyusun batu-bata pendirian organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Dalam organisasi ini sungguh terdapat mutiara pengetahuan tentang perjuangan dan jejak perkembangan Masyarakat Adat Melayu yang pernah mengalami pasang surut gejolak revolusi sosial.

Iwan Nurdin-Aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Tinggalkan Balasan