Sihaporas, www.aman.or.id - Ratusan orang berjalan mengantri dari pemukiman berarak ke arah sungai. Batara Guru, pemusik tradisional Batak, memukul gendang bertalu-talu mengiringi rombongan. Tetua adat Sihaporas memimpin rombongan lengkap dengan pakaian adatnya: Ulos.
Itulah hari puncak ritual Patarias Debata yang diselenggarakan Masyarakat Adat Sihaporas keturunan Ompung (selanjutnya: Ompu) Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Kec. Pematang Damanik, Kab. Simalungun, Sumut (24/10).
Ritual Patarias Debata merupakan ritual tertinggi di antara ritual yang dilakoni Masyarakat Adat Sihaporas.
Sedihnya, ritual tersebut kini berada di tengah ancaman mendera akibat perusahaan perusak lingkungan yang memamah biak sejak tiga dekade lalu. Perusahaan yang bermarkas di Sosor Ladang, Porsea lambat laun, terstruktur dan masif menghabisi hutan adat mereka. Hutan yang merupakan salah satu unsur yang memastikan ritual terus berlangsung dari generasi ke generasi.
Saya dan Agus Sunardi dari Kedeputian IV Sekjen AMAN berkesempatan mengikuti secara langsung ritual Patarias Debata. Di sela-sela rangkaian upacara dan ritual, saya menyempatkan diri markombur (ngobrol santai) dengan Sekretaris LAMTORAS. Anggarali Ambarita, dia menyebut nama.
LAMTORAS merupakan singkatan dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas. Lembaga adat ini menjadi organisasi internal yang mereka miliki—sebelum bergabung dengan AMAN Tano Batak guna bertemu dengan Masyarakat Adat yang senasib sepenanggungan—untuk menunjukkan perjuangan atas hutan/wilayah adat mereka.
Ritual ini bertujuan untuk memohon berkat kepada Debata Mulajadi Nabolon atau Tuhan Yang Maha Esa agar keturunan Ompu Mamontang Laut diberikan kesehatan, mudah rezeki dan jauh dari mara bahaya sekaligus mengungkapkan rasa puji dan syukur Masyarakat Adat Sihaporas kepada Mulajadi Nabolon atas semua berkat dan rahmat yang telah diberikan kepada mereka.
Leluhur Masyarakat Adat Sihaporas: Ompu Mamontang Laut Ambarita menitip pesan kepada keturunannya agar ritual ini diselenggarakan setiap tahun. “Dulunya ritual ini kami lalukan setiap tahun,” kata Ambarita kepada saya.
Seiring perkembangan zaman, keadaan lingkungan, hutan, alam tidak lagi seperti sedia kala. Kalau dulu Masyarakat Adat Sihaporas masih bebas dan tidak terbeban terlalu berat akibat sulitnya perekonomian; hutan mereka masih bagus, binatang hutan seperti monyet, babi hutan, dan lainnya masih memiliki makanan yang cukup di hutan. Kini segalanya berbeda.
Situasi itu membuat Masyarakat Adat untuk memohon kepada leluhur agar mereka tetap menggelar ritual, namun menambah rentang waktu untuk kembali melaksanaannya. Mereka memohon agar ritual tersebut diadakan sekali dalam empat tahun.
Sekarang setelah hutan mereka dihabisi PT. Toba Pulp Lestari Tbk, binatang-binatang hutan tersebut malah kerap mengganggu tanaman mereka.
Selain itu, konversi hutan adat menjadi hutan perkebunan monokultur eucalyptus juga mempengaruhi kesuburan tanah mereka. Tanaman yang dulunya organik, kini sangat tergantung dengan pupuk kimia agar bisa bertumbuh; itu pun kadang hasilnya tidak bagus.
Muaranya, perekonomian Masyarakat Adat Sihaporas melemah dan dampaknya mereka tidak sanggup lagi melakukan ritual adat “Patarias Debata” sekali setahun.
Selain alasan ekonomi, Masyarakat Adat Sihaporas juga mengalami kesulitan dalam hal pengadaan bahan-bahan ritual seperti air bersih, Ihan (Batak fish) dll., yang sebelumnya tersedia di hutan sepanjang tahun.
Menurut Ambarita, itulah alasannya mereka meminta izin kepada leluhurnya untuk menaikkan waktu pelaksanaan ritual Patarias Debata menjadi sekali dalam empat tahun.
Ompu Mamontang Laut pun tetap ingin melihat generasi penerusnya berbahagia. Ia menyetujui.
“Kami meminta restu Ompu Mamontang Laut agar kami melakukannya sekali empat tahun. Kami bersyukur Ompu Mamontang Laut mengizinkannya,” ungkap Ambarita.
Sekalipun sudah diperlonggar menjadi sekali dalam empat tahun, penyelenggaraan ritual ini juga tidak berjalan mulus. Ambarita mengatakan kepada saya bahwa air sungai yang bersih pun sulit mereka cari. Hal ini ditengarai akibat aktivitas perusahaan bubur kertas PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) yang mencemari aliran air di hulu dengan pupuk kimia dan pestisida.
“Unang (sampe) haliapan,” Ambarita meneruskan. Maksudnya air bersih untuk kebutuhan ritual harus dari sumber air di hulu yang benar-benar tidak diganggu, tidak digunakan sembarangan bahkan dilangkahi sekalipun. Air murni menjadi air yang disucikan dan hanya diambil saat ritual.
Sayangnya, Ambarita bilang, kini sumber air dimaksud sudah dicemari. Pelaku pencemaran benar-benar tidak paham cara memperlakukan sumber air tersebut. Saya melihat di sinilah salah satu kegagalan analisis mengenai dampak lingkungan perusahaan seperti TPL, benar-benar gagal menilai dan memahaminya.
Selain ikan, haminjon (kemenyan) menjadi wujud lain dari alam yang sarat makna dan wajib hadirnya dalam ritual. Haminjon juga sudah tinggal sedikit, yang tersisa hanya di pinggiran hutan yang dekat dengan kampung. Demikian juga dengan bambu untuk membuat lemang sudah semakin berkurang. Kolam ikan juga banyak yang sudah dikuasai TPL.
“Dulunya banyak ikan di situ, namanya pora-pora dan kami butuhkan dalam beberapa ritual seperti ritual mombang dan manganjap,” ujarnya.
Tak hanya sampai di situ, kayu untuk membuat losung (lesung) juga sudah semakin langka. Kayu untuk membuat losung paling tidak yang berumur 20 tahun. Sementara sumber pohon/kayu itu sendiri yakni hutan sudah habis ditebang TPL. Rata dengan tanah.
“Itulah yang kami kuatirkan dalam ritual ini, entah beberapa tahun ke depan anak kami/generasi selanjutnya bagaimana mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ritual jika hutan dan wilayah adat kami terus dirampas,” wajah Ambarita tertunduk melesu.
Marolop Manalu