RESOLUSI DAN REKOMENDASI DESAKAN KONGRES IX BPRPI SUMUT

RESOLUSI DAN REKOMENDASI  DESAKAN KONGRES IX BPRPI SUMUT

 

Pada 21-23 Juli 2018 telah dilaksanakan Kongres Kesembilan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia Sumatera Utara (KONGRES IX BPRPI SUMUT) di Wilayah Adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Bandar Setia, Sumatera Utara yang dihadiri oleh  ribuan undangan warga masyarakat adat Rakyat Penunggu Indonesia dan lebih dari 200 orang utusan dari perwakilan kampong-kampong atau komunitas adat masyarakat adat Rakyat Penunggu Indonesia yang terdiri dari Petua Adat, Pengurus Organisasi (Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Kampong), organisasi sayap Perempuan Adat, organsiasi sayap Pemuda Adat, Organisasi Sayap Pelaut Rakyat Penunggu Indonesia dan juga dihadiri oleh  perwakilan pemerintah, organisasi non-pemerintah dan organisasi gerakan masyarakat adat nusantara yaitu AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). 

Sejak 1953, dan lima tahun yang lalu, BPRPI  telah melaksanakan Kongres Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang ke delapan di wilayah adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Menteng, Sumatera Utara. Pada saat itu kami menyadari secara sungguh-sungguh bahwa cita-cita masyarakat adat rakyat penunggu untuk mengembalikan wilayah adat yang berada dalam satu bentangan alam Sumatera Timur di bawah pemerintahan Provinsi Sumatera Utara agar terwujudnya masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia yang berdaulat, mandiri dan bermartabat. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Indonesia masih hidup dan berkembang menapak di wilayah adat yang bertuah di wilayah Provinsi Sumatera Utara di antaranya masyarakat adat adat rakyat penunggu Indonesia yang tersebar di antara Sungai Ular sampai Sungai Wampu yang secara administrasi pemerintah yaitu Provinsi Sumatera Utara. Bahkan dalam kurun waktu perjuangan yang panjang masyarakat adat rakyat penunggu untuk menggapai cita-cita itu semakin menemukan tantangan dan ketidakpastian yang cukup pelik dan berat. Pengingkaran dan kekerasan demi kekerasan terhadap masyarakat adat rakyat penunggu masih terlalu sering dipertunjukkan dan terus terjadi. Kasus terakhir di era Presiden Joko Widodo adalah penghancuran wilayah adat masyarakat adat rakyat penunggu Kampong Bangun Rejo yang dilakukan oleh PTPN II perusahaan BUMN bersama dengan ratusan personil TNI dan Polri. Padahal hasil pengukuran dan surat BPN (Badan Pertanahan Nasional) Sumatera Utara  menyatakan bahwa wilayah adat yang dikelola dan dikuasai oleh masyarakat adat rakyat penunggu Kampong Bangun Rejo berada di luar dari HGU PTPN II, namun dengan pengawalan lebih dari 500 personil polisi dan ratusan personil tentara dan puluhan preman, pihak PTPN II mengokupasi tanah adat masyarakat adat rakyat penunggu Kampong Bangun Rejo yang merupakan sumber kehidupan dan pendapatan secara turun-temurun. 

Di sisi lain, dari 76 kampong anggota BPRPI SUMUT terdapat 27 Kampong masyarakat adat rakyat penunggu telah berhasil menguasai dan mengelola tanah adat dan mendatangkan kesejahteraan dengan indikator meningkatnya sumber pendapatan ekonomi warga masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia. Namun, capaian-capaian yang terwujudkan terutama dalam penguasaan sejengkal demi sejengkal wilayah adat oleh masyarakat adat rakyat penunggu ini  justru menimbulkan kecurigaan dan menutupi itikad baik untuk menyelesaikan konflik wilayah adat yang terus saja menelan korban dan berdarah yang sudah sangat panjang hingga dapat menjadi bom waktu di Sumatera Utara. Di saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (KMAN V) yang dilaksanakan di wilayah adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Tanjung Gusta, dalam Sambutan Gubernur Sumatera Utara T. Erry Nuradi menyampaikan bahwa pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan segera membentuk tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) sebagai bentuk komitmen pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk menyelesaikan tanah adat dengan melaksanakan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 2016 tentang Hak Komunal. Namun janji ini pun tak kunjung tiba dan tidak membuat masyarakat adat rakyat penunggu yang berada di bawah panji-panji BPRPI surut langkah. Meskipun tidak banyak, di tingkat nasional  telah terjadi perubahan secara perlahan atas kebijakan yang mulai memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan mulai berjalan. 

Semangat warga masyarakat adat rakyat penunggu pun masih tetap menyala ketika utusan-utusan dari dari beberapa kampong masyarakat adat rakyat penunggu bertemu langsung dengan Presiden RI Joko Widodo dan mendengarkan pernyataan langsung Presiden di Istana Negara Jakarta pada 21 Maret 2017.  Pernyataan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk berkomitmen dan memastikan bahwa RUU Masyarakat Adat akan dikawal oleh pemerintah, yang sejak lama diperjuangkan hingga saat ini masih bergulir di DPR RI dan harus segera Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.

Terhadap berbagai situasi tersebut, KONGRES IX BPRPI SUMUT menyampaikan Resolusi dan Rekomendasi desakan sebagai berikut:

1. Kami masih meyakini hingga kini dan karena itu kami akan selalu mengingatkan bahwa salah satu tugas utama Pemerintah pada setiap tingkatannya sebagai pelaksana negara adalah memastikan kesejahteraan dan keselamatan warganya, memastikan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi warganya termasuk mendapatkan sumber kehidupan secara adil, setara dan tanpa dikriminasi atas dasar agama/keyakinan, etnik, gender (jenis kelamin), kelas sosial, usia dan kondisi fisik. Untuk itu kami akan selalu memperjuangkan hak-hak masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia dan akan selalu mengingatkan para pelaksana negara untuk taat dan tunduk pada cita-cita kemerdekaan, dan akan selalu mengingatkan para pelaksana negara untuk menepati janji-janjinya dengan segera mengesahkan Undang Undang Masyarakat Adat dan khusus pemerintah Sumatera Utara untuk segera menepati janjinya membentuk tim IP4T sebagai implementasi Permen ATR/BPN Nomor 10 tahun 2016 Tentang Hak Komunal dan juga acuan untuk menyelesaikan kasus tanah adat masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia dan melahirkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Sumatera Utara yang saat ini menjadi daftar prolegda prioritas inisiatif DPRD Sumatera Utara.

2. Kami menyadari pula bahwa masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia yang berada di kabupten/kota yang meliputi Langkat, Binjai, Medan, Tanah Karo, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun dan Asahan di Provinsi Sumatera Utara memiliki ikatan sejarah dan budaya terhadap wilayah adat (Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya). Keberadaan masyarakat adat rakyat penunggu secara turun-temurun masih belum menikmati hak-hak yang sepatutnya diakui dan dilindungi oleh negara terutama dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah adatnya sebagai sumber kehidupan dan pendapatan. Untuk itu kami menyerukan bahwa tidak sepantasnya masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia diperlakukan secara tidak adil, diabaikan, digusur, dikiriminalisasi, dicerabut budaya dan kehidupannya dari tanah dan laut adatnya.

3. Kami juga menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada DPRD Sumatera Utara yang telah berinisiatif untuk melahirkan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah (PERDA) pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan wilayah adat. Oleh karena itu kami meminta DPRD Sumatera Utara untuk melibatkan BPRPI dalam proses merancang dan membahas perda yang akan dilahirkan agar menghasilkan perda yang dapat mencapai keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat adat di Sumatera Utara terutama masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam secara berkelanjutan di Wilayah Adatnya.

4. Penghargaan yang tinggi kami sampaikan juga kepada DPR RI yang telah menetapkan RUU Masyarakat Adat sebagai RUU inisiatif DPR RI pada tahun 2018. Kami meyakini bahwa Undang-Undang Masyarakat Adat adalah salah satu jawaban dari persoalan yang selama ini membelenggu masyarakat adat rakyat penunggu dalam mengembalikan wilayah adat (Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya).  Namun, kami menegaskan dan menuntut agar RUU Masyarakat Adat tersebut segera disahkan dan memastikan isi dari Undang Undang dimaksud sesuai dengan semangat penghormatan, pengakuan,  pengembalian, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat terutama berdampak baik bagi kehidupan seratusan ribu warga masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia yang memiliki total luas wilayah adat 350.000 hektar tersebar dalam bentangan alam Sumatera Timur di  Provinsi Sumatera Utara.

5. Kami menyadari bahwa pilihan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Indonesia sebagai pendukung utama Presiden Joko Widodo di Sumatera Utara, dirasakan belum sepenuhnya dapat  bekerjasama dengan pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan terbukti bahwa Janji Nawacita Presiden Joko Widodo masih belum dirasakan sepenuhnya bahkan disentuh oleh pemerintah propinsi Sumatera Utara khususnya untuk Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Indonesia. Oleh karena itu:

a) Kami menyerukan agar Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla segera memperluas dan mempercepat pemenuhan hak-hak masyarakat adat sesuai dengan janji Nawacita khususnya di Provinsi Sumatera Utara untuk mengakui, mengembalikan, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia terutama hak atas pengelolaan penguasaan wilayah adat (Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya).

b) Kami menyerukan agar Presiden Joko Widodo segera mengintruksikan kepada pemerintah Provinsi Sumatera Utara agar merumuskan kebijakan teknis yang berpihak dan memudahkan proses pengakuan, pengembaliaan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Indonesia terutama hak atas wilayah adat yang di dalamnya Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya di Sumatera Utara.

6. Kami mendesak Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional  untuk mengungkap keberadaan HGU PTPN II dan  mencabut semua izin HGU  perusahaan ini karena terus menimbulkan kerugian Masyarakat Adat Rakyat Penunggu  Indonesia juga  negara dan melanggar HAM masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia. Pemerintah harus segera membentuk sistem pendaftaran, pengadministrasian dan pengeluaran sertifikat komunal sebagai alas hak pengakuan hukum terhadap wilayah adat (Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya) Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang bernaung di bawah panji-panji BPRPI.

7. Kami mendesak Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan renegosiasi terhadap penguasaan dan pemanfataan atas wilayah adat milik masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia dan segera melakukan audit terhadap PTPN II atas penyalahgunaan wewenang dalam penelantaran dan pengalihan wilayah adat masyarakat adat rakyat penunggu ke oknum-oknum yang merugikan masyarakat adat rakyat penunggu Indoensia dan negara. 

8. Kami memohon kepada POLRI dan TNI untuk bersikap netral dalam menghadapi konflik di wilayah-wilayah adat Masyarakat adat rakyat penunggu, dan secara serius segera mengubah pendekatan represif terhadap masyarakat adat rakyat penunggu dengan pendekatan dialogis yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan penghormatan pada sistem hukum yang hidup di dalam masyarakat adat. 

9. Kami mendesak pemerintah daerah untuk mempercepat pembentukan produk hukum daerah terkait masyarakat adat dan wilayah adat (Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya), serta adanya pengakuan laut adat sejauh 12 Mil dari bibir pantai, sebagai konsekuensi dari arah kebijakan dan politik pemerintah yang tertuang dalam hukum nasional yaitu Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengakui keberadaan masyarakat adat. 

10. Kami menyadari bahwa seringkali masyarakat adat rakyat penunggu hanya diperhatikan pada saat kampanye menjelang pesta demokrasi. Untuk itu kami menghimbau kepada seluruh Partai Politik maupun kontestan pemilu yang ada untuk secara serius menggali persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat adat rakyat penunggu. Di sisi lain kami meminta kepada Komisi Pemilihan Umum untuk merancang suatu mekanisme pemilihan yang mampu menjangkau keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sebagian Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Indonesia, antara lain identitas kependudukan di wilayah konflik/bersengketa, hak untuk memilih dan menyediakan fasilitas khusus pencoblosan (TPS) atau penyaluran hak pilih sebagai warga negara di lokasi wilayah adat yang berkonflik. 

11. Kami meminta kepada warga masyarakat yang bukan tergolong sebagai warga masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia namun berdomisili dan hidup berkembang di wilayah adat kampong-kampong masyarakat adat rakyat penunggu Indoenesia agar mematuhui hukum dan peraturan yang berlaku di wilayah adat kampong masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia. 

12. Kami menghimbau kepada pihak Pemerintah Desa/Kelurahan, Pemerintah Kecamatan, Pihak Kesultanan agar tidak mengeluarkan Surat Keterangan kepemilikan hak individu (perseorangan) di atas tanah adat masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia, karena tindakan ini melanggar beberapa Undang-Undang yang terkait dengan hak penguasaan atas tanah yang sedang berkonflik atau sedang proses penyelesaian dan dapat memicu timbulnya gesekan konflik horizontal. 

13. Kami mendukung Pemerintah Desa untuk menerbitkan Surat Keterangan atau Peraturan Desa yang  Mengakui, Melindungi dan Memenuhi Keberadaan Hak Atas Wilayah Adat (Perkampongan, Hutan Adat, Tanah Adat/Tanah Ulayat/Tanah Jaluran, Pesisir, Hutan Adat Pesisir dan Laut Adatnya) masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia secara komunal berdasarkan Sejarah Hak Asal Usul sesuai dengan Peraturan Menteri Desa Nomor 01 tentang Hak Asal Usul. Dan kami akan siap bekerjasama dengan pemerintah Desa (Kepala Desa dan BPD) yang telah mengakui keberadaan  masyarakat adat rakyat penunggu Indoenesia, wilayah adat dan organisasi BPRPI untuk menjalankan program-program desa di wilayah adat masyarakat adat rakyat penunggu Indoenesia.

14. Kami mendesak kepada pemerintah desa untuk menetapkan atau menambahkan kampong-kampong masyarakat adat rakyat penunggu yang telah memenuhi persyaratan administrasi desa untuk menjadi Dusun Adat Rakyat Penunggu Indonesia seperti Kampong Terjun, Kampong Bandar Klippa, Kampong Tanjung Gusta A, Kampong Bandar Setia, Kampong Menteng, Kampong Tadukan Raga dan kampong lainnya masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia yang warga adatnya telah menetap dan mengelola tanah adatnya.

15. Kami meminta pihak pengusaha atau investor swasta  terutama pihak PTPN II, Kawasan Industri Medan (KIM) dan perusahaan lainnya untuk tidak melakukan tindakan pengabaian dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat rakyat penunggu Indonseia atas penguasaan wilayah adat yang telah berlangsung secara keliru berpuluh-puluh tahun. Oleh karena itu diperlukan satu tindakan dialog antara masyarakat adat  rakyat penunggu Indonesia dengan pengusaha/investor yang melakukan aktivitas usaha di atas wilayah adat masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia.

16. Kami mendesak Pemerintah Pusat, Daerah dan berbagai instansi yang terkait agar segera merealisasikan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1734.2001/2006 dan juga untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia terutama kejelasan atas redistribusi 10.000 hektar tanah adat untuk masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia yang bernaung di bawah panji-panji BPRPI yang telah berlangsung puluhan tahun yang berkonflik dengan Pihak PTPN II dan pihak lainya di atas wilayah adat.

Kongres Kesembilan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia  Sumatera Utara  (KONGRES IX BPRPI SUMUT) menyadari bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Perubahan hanya akan datang melalui proses yang terencana dan tindakan kerja nyata yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, massif dan bersifat menyeluruh. Karena itu seluruh pengurus organisasi, kader dan warga masyarakat adat rakyat penunggu Indonesia untuk terus menyusun kekuatan dan memperkuat barisan melakukan monitoring serta evaluasi terhadap poin-poin resolusi dan desakan yang ditujukan ke para pihak terkait, terutama kepada pihak pemerintah di semua tingkatan (Pemerintah Pusat, Daerah dan Desa).

 

Ditetapkan di 

Kongres IX BPRPI SUMUT,  23 Juli  2018

Wilayah Adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu  Kampong Bandar Setia

Wilayah Serdang Sumatera Timur

Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara

 

Tinggalkan Balasan