Lima tahun telah berlalu. Tepatnya, tanggal 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan sebuah Putusan MK yang menjadi momentum penting bagi gerakan masyarakat adat. Yaitu, permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU Kehutanan yang diajukan oleh AMAN bersama dua komunitas masyarakat adat: Kenegerian/Kekhalifahan Kuntu, Prov. Riau dan Kasepuhan Cisitu, Prov. Banten. Putusan itu keluar dengan nama Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kita pun mengenalnya dengan Putusan MK 35.
Mengingat (Lagi) Makna Putusan MK 35
Meskipun 4 tahun bukan waktu yang singkat, tapi kita tak boleh lupa bahwa jargon “hutan adat bukan lagi (menjadi bagian dari) hutan negara” tidak-lah bermakna sederhana bagi kita sebagai masyarakat adat! Putusan itu membatasi wewenang negara. Hutan adat atau dengan nama lain (hutan marga, hutan pertuanan, dan lainnya) berada pada cakupan tanah ulayat di dalam kesatuan wilayah masyarakat (hukum) adat. Hutan negara berada di dalam tanah negara, begitu pun hutan perseorangan/badan hukum di dalam tanah hak!
Pada pengantarnya dalam buku tipis yang dikeluarkan AMAN dalam rangka refleksi 2 tahun Putusan MK 35, Abdon Nababan sebagai Sekjen AMAN kala itu menjelaskan alasan mengapa permohonan itu kemudian diajukan dan sangat penting diperjuangkan.
“Konsep ‘Domein Verklaring’ merupakan konsep pelaksanaan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda. Dalam Agrarische Wet (Staatsblad 1870 No. 55) pernyataan dari ‘Domein Verklaring’ berbunyi bahwa ‘Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu eigendom-nya adalah domein atau milik negara.’ Konsep ‘Domein Verklaring’ kemudian dilanjutkan oleh UU PA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) dengan istilah hak menguasai negara (HMN). UU Kehutanan adalah salah satu UU yang mereduksi hak menguasai negara dan menjadi alat ampuh bagi pemerintah untuk merampas wilayah adat, khususnya hutan adat,” dengan tegas Abdon menuliskannya pada bagian pertama pengantarnya.
Putusan MK 35 memang singkat, tetapi itu punya makna yang teramat dalam terkait keberadaan hutan adat dan pengakuan (bersyarat keberadaan) masyarakat adat. Putusan MK 35 menegaskan masyarakat adat sebagai penyandang hak dan subjek hukum atas wilayah adatnya, termasuk hutan adat, dan mendelegasikan pengakuan hukum atas keberadaan masyarakat adat kepada pemerintah daerah, baik itu Perda maupun Surat Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota. Secara rinci, kita bisa memaknai Putusan MK 35 dalam konteks politik pragmatis dan pembaruan hukum.
“Dalam konteks politik pragmatis, Putusan MK 35 adalah titik awal rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat melalui upaya pemulihan kewarganegaraan masyarakat adat…. Dalam konteks pembaruan hukum, Putusan MK 35 harus menjadi rujukan bagi perubahan mendasar dalam tata kuasa tanah, wilayah, dan sumber daya, serta sumber-sumber agraria lainnya di Indonesia,” ungkap Abdon.
Tetapi wujud dari pemaknaan itu tidaklah pernah sederhana. Sebab, wujud itu belum juga hadir secara penuh di tengah-tengah masyarakat adat. Kita berharap ada sebuah pernyataan berupa permintaan maaf dari Presiden RI sebagai kepala negara atas kelalaian dan pengabaian kepada hak masyarakat adat. Begitu pun dengan respon pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya ternyata masih ada yang belum mempertimbangkan Putusan MK 35 tersebut. Sementara di sisi yang berbeda, masyarakat adat telah aktif dengan berbagai dukungan melakukan plang-isasi, merehabilitasi hutan adat, dan menandai wilayah adat melalui pemetaan partisipatif. Tantangan yang dihadapi ternyata masih cukup besar. Pemulihan terhadap hak-hak masyarakat adat masih menghadapi tekanan-tekanan!
Tantangan-tantangan yang (Masih) Menghadang
Pasca-Putusan MK 35, kita patut berbangga dengan upaya-upaya yang telah dilakukan serentak oleh masyarakat adat, baik itu pada tataran melindungi dan merevitalisasi hutan adat hingga kampanye dan advokasi. Namun, tidak selalu begitu adanya pada tataran regulasi dan kebijakan.
Upaya penyederhanaan terhadap realitas masyarakat adat bisa kita lihat contohnya pada kehadiran UU Desa yang mengasumsikan perubahan (pembentukkan sebagai) desa adat sekadar status (menjadi “Desa Adat”). Padahal kita tahu bahwa selama ini masyarakat adat telah mengalami banyak perlakuan tidak adil yang diikuti dengan konflik dan penghancuran terhadap masyarakat adat akibat kebijakan yang ada, sehingga hal itu telah mengubah tatanan fisik, ekonomi, dan sosial-politik masyarakat adat secara signifikan. Maka, berbicara tentang perubahan status menjadi tidak relevan karena yang dibutuhkan adalah pemulihan hak-hak masyarakat adat secara menyeluruh, bukan hanya persoalan administrasi.
Hal lain terjadi pula pada Kementerian Kehutanan – sebagai pihak yang paling dekat dengan persoalan hutan adat – yang terkesan “lempar tanggung jawab” dalam merespon Putusan MK 35. Keluarnya Surat Menhut tertanggal 16 Juli 2013, yaitu SE.1/Menhut-II/2013 tentang Putusan MK No. 35/2012 yang ditujukan kepada gubernur, bupati/walikota, dan kepala-kepala dinas yang membidangi kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, menunjukkan adanya keengganan terhadap pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat. Bayangkan, seberapa besar upaya, waktu, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk terlebih dulu mendorong adanya Perda untuk hal itu? Bandingkan dengan berapa banyak jumlah provinsi bersama dengan kabupaten/kota yang dimiliki Indonesia dengan kondisi kita yang kepulauan dan keterbatasan akses-akses ini! Kita perlu mengingatkan mereka bahwa Putusan MK 35 bukan hendak mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan, melainkan mengeluarkannya dari hutan negara untuk dikembalikan pada masyarakat adat sebagai penyandang hak atau subjek hukum.
Tentu saja ada banyak hal dari regulasi dan kebijakan lainnya yang telah dikeluarkan maupun sedang dalam proses pengesahan untuk bisa kita bedah satu per satu agar jangan lagi Putusan MK 35 dianggap sebagai angin lalu.
Namun, kita patut memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Komnas HAM yang telah menjadikan Putusan MK 35 sebagai suatu inspirasi terhadap Inkuiri Nasional Pelanggaran Hak Masyarakat Adat di dalam Kawasan Hutan. Inkuiri Nasional itu adalah yang pertama yang diadakan Komnas HAM di Indonesia sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang menggabungkan fungsi-fungsi Komnas HAM dalam satu kegiatan, yaitu fungsi pemantauan untuk menyelediki kasus, fungsi penelitian dan pengkajian untuk menganalisis akar masalah, dan fungsi perumusan rekomendasi pemulihan pelanggaran HAM. Komnas HAM memilih metode Inkuiri Nasional itu karena dianggap bisa memberikan rekomendasi penyelesaian yang lebih sistemik dan menghadirkan sisi edukasi untuk masyarakat.
“Bagi pemerintah, (hasil rekomendasi Inkuiri Nasional) diharapkan menjadi pijakan bagi perumusan kebijakan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya secara komprehensif,” tutur Nur Kholis, Ketua Komnas HAM, pada pengantar dari dokumen Inkuiri Nasional yang telah dihasilkan.
Tantangan yang dihadapi memang kian dinamis pasca-Putusan MK 35. Kita perlu terus berusaha mengingatkan tanpa lelah terhadap bentuk komitmen Presiden Joko Widodo sebagai presiden yang telah didorong oleh masyarakat adat bahwa komitmen perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat ada itu telah ada dalam enam prioritas utama Nawacita dan telah dielaborasi ke dalam Buku I hingga Buku III terkait RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019. Jika isu masyarakat adat telah menjadi prioritas pemerintah pusat, kita perlu lagi bertanya mengapa hal itu belum juga terwujud dalam regulasi dan kebijakan yang ada? Mengapa isu masyarakat adat belum menjadi prioritas agenda pembangunan daerah? Mengapa kriminalisasi masyarakat adat masih marak terjadi? Mengapa RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan?
Maka, secara tegas kita bisa ucapkan dengan lantang bahwa Presiden Joko Widodo perlu segera memulihkan hak masyarakat adat dengan memimpin langsung pelaksanaan Putusan MK 35 dan mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai agenda prioritas! Sementara di sisi yang berbeda, masyarakat adat akan menguatkan konsolidasi dengan terus melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat dan membuka ruang-ruang diskusi terkait proses pengambilan kebijakan agar pemulihan hak-hak masyarakat adat tak sekadar jadi pemahaman kita bersama, tetapi diwujudkan dalam sesuatu yang konkrit.
Nurdiyansah Dalidjo