Pada Selasa (24/7) lalu, bencana kelaparan melanda Mausu Ane. Empat orang Suku Mausu Ane Negeri Maneo Rendah di pedalaman Gunung Murkele, Kabupaten Maluku Tengah meninggal dunia. Bahan pangan mereka menipis lantaran kebun mereka rusak oleh ulah babi dan tikus hingga terserang penyakit. Sementara penyebab lain adalah kebakaran hutan pada tahun 2015 yang menelan beragam tanaman mereka.
Respons pemerintah cukup mengejutkan, Pemerintah Maluku Tengah berencana untuk merelokasi 170 warga adat Suku Mausu Ane dari pegunungan Pulau Seram ke kawasan lebih aman dan mudah terjangkau sebagai upaya penanggulangan bencana kelaparan yang terjadi. Solusi ini menuai banyak kecaman dan kritik masyarakat.
AMAN Wilayah Maluku mengkritik keras pemerintah yang dinilai lamban dalam mengantisipasi bencana kelaparan hingga menelan korban jiwa. Selain itu ada yang janggal, setelah berita kelaparan, tiba-tiba muncul isu Pemerintah Maluku Tengah yang akan merelokasi Suku Mausu Ane. Rencana relokasi sebetulnya bukan hal yang baru, telah dicanangkan saat kebakaran hutan terjadi pada 2015 silam. Meski begitu, warga menolak dengan alasan hutan merupakan tempat hidup mereka yang paling layak.
Dalih Relokasi
Relokasi dinilai oleh Pemerintah Maluku Tengah sebagai salah satu model penanganan terbaik, namun nyatanya Suku Mausu Ane menolak pindah dengan alasan tak mau meninggalkan tanah mereka. Mereka juga khawatir jangan sampai ada perusahaan masuk mengeksploitasi wilayah mereka.
Beberapa pihak menilai sejak isu ini muncul ke permukaan, kemungkinan besar akan ada investor yang ingin masuk membuka perkebunan baru di wilayah adat Mausu Ane. Pulau Seram adalah salah satu target incaran investor yang mencari wilayah baru untuk membuka perkebunan. Kawasan hutan Maneo Rendah, sebagian juga telah menjadi konsesi perusahaan. Dari peta analisis Maneo Rendah, kesimpulan awal lebih dari 65% dari sekitar 20.351 hektar wilayah sudah terbebani izin HPH PT. Waroeng Batok Industries. Suku Mausu Ane beserta ratusan keluarga juga belum terdata dalam administrasi kependudukan di Maluku Tengah, Seram Bagian Timur maupun Maluku. Mereka jauh dari akses kesehatan dan pendidikan, pemerintah tak kunjung berusaha memberikan akses fasilitas untuk mereka, jauh sebelum bencana kelaparan ini terjadi.
Jika kita telaah, alasan relokasi sebagai cara untuk memudahkan pemerintah menjangkau dan memberikan akses kepada Suku Mausu Ane tak masuk di akal.
Pertama, bencana krisis pangan memiliki keterkaitan dengan peristiwa kebakaran hutan pada 2015 lalu. Seharusnya, Pemerintah Maluku Tengah sudah dapat mengantisipasi dari jauh hari dari dampak yang bakal terjadi dengan mencoba memberikan akses seperti memasok kebutuan pangan kepada Suku Mausu Ane. Namun, pemerintah justru cenderung melakukan pengabaian terhadap suku Mausu Ane dengan membiarkan mereka tidak terdata dalam administrasi kependudukan.
Kedua, program relokasi ke dataran rendah yang ditawarkan Pemerintah Maluku Tengah tersebut bertolak belakang dengan cara hidup mereka yang hidup nomaden.
Uraian diatas semakin memperkuat kesimpulan bahwa bencana kelaparan ditunggangi oleh Pemerintah Maluku Tengah untuk melegitimasi alasan relokasi demi kepentingan eksploitasi. Relokasi menjadi pintu masuk perusahaan untuk menguasai sumber daya alam Suku Mausu Ane.
Upaya Penyingkiran
Pemerintah terkesan sengaja membatasi Suku Mausu Ane dari akses terhadap fasilitas negara, dengan alasan Suku Mausu Ane sulit dijangkau dan menghabiskan banyak biaya jika mencoba menjangkau. Sebuah alasan yang tak dapat diterima oleh akal sehat. JIka diperhatikan secara saksama, relokasi Suku Mausu Ane atas nama “pemberdayaan” ternyata diikuti dengan upaya terselubung untuk menyingkirkan Suku Mausu Ane dari wilayahnya.
Kawasan hutan di Seram Barat sampai ke Seram Utara sudah dikuasai perkebunan raksasa seperti sawit dan sawah. Belum lagi izin pemanfaatan kayu oleh beberapa perusahaan. Eksploitasi ini sedang gencar-gencarnya membidik wilayah Suku Mausu Ane. Tak heran kemudian ragam upaya dilakukan untuk menyingkirkan Suku Mause Ane dari mulai mengabaikan sampai menggunakan isu bencana kelaparan sebagai dalih relokasi.
Yayan Hidayat - Direktorat Politik PB AMAN