Jakarta, (21/04/18) – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (BAWASLU RI) untuk meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap komunitas adat di wilayah konservasi, konflik dan terisolir yang terancam tak dapat menggunakan hak pilih karena tidak memiliki kepastian hukum atas wilayahnya sehingga tidak bisa didaftarkan di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan jauh dari jangkauan penyelenggara pemilu.
Masyarakat Adat terancam tidak terakomodir di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Hal itu disebabkan oleh rendahnya tingkat kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) sebagai syarat utama untuk terdaftar sebagai pemilih dan menggunakan hak pilih pada Pemilu 2019. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sebanyak 121 Komunitas Masyarakat Adat dengan populasi 1,6 juta jiwa saat ini belum memiliki KTP-el dikarenakan berada di dalam kawasan konservasi dan wilayah konflik. Patut kita ketahui bahwa Masyarakat Adat yang berada di wilayah konservasi dan konflik tidak dapat mengurus kepemilikan identitas diri baik Kartu Keluarga (KK) maupun KTP-el serta tidak didirikan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selanjutnya yang menjadi sorotan AMAN adalah terdapat 553 komunitas adat di kawasan pulau-pulau kecil dan wilayah terisolir yang sampai hari ini belum mendapatkan informasi tentang kepemiluan.
Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Abdi Akbar merinci masih ada 200 kepala keluarga (KK) suku Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak mendapatkan KTP-el karena Masyarakat Adat tersebut menolak membuka penutup kepala yang menjadi simbol adat saat proses perekaman. Selain aturan adat, Abdi juga menyampaikan salah satu kesulitan dalam membuat KTP-el adalah faktor agama kepercayaan yang belum diakui oleh negara.
Lebih dari itu, Abdi menjelaskan hasil Pilkada Serentak 2018 yang dilanjutkan oleh Pilpres 2019 akan sangat memengaruhi kehidupan Masyarakat Adat dari berbagai aspek. Menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu dalam hal ini BAWASLU RI untuk mengidentifikasi Masyarakat Adat secara sosio-kultural yang berkembang untuk menjadi dasar dalam melakukan pengawasan pemilu khususnya dalam menjamin dan melindungi hak pilih komunitas adat yang rentan tak dapat memilih tersebut.
“Akibat tidak ada kepastian hukum dalam bentuk Undang-Undang Masyarakat Adat yang mengakui dan menghormati keragaman nilai/budaya yang berkembang menjadi hambatan mereka untuk mendapatkan fasilitas dari Negara utamanya KTP elektronik sebagai basis utama dalam memilih pada Pemilu 2019” tutur Abdi.
Menanggapi hal tersebut, Ketua BAWASLU RI, Abhan menegaskan “menjadi tugas Bawaslu menjaga hak pilih rakyat, sejalan dengan itu proses penyelenggaraan pemilu khususnya pengawasan perlu melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kami berharap AMAN dapat bersama-sama BAWASLU melakukan pengawasan di daerah-daerah tersebut dan membantu kami dalam mengidentifikasi kompleksitas sosio-kultural yang berkembang di masyarakat sebagai salah satu dasar kami merumuskan kebijakan pengawasan” ungkapnya.
Komisioner Bawaslu, M Afifudin, menuturkan, pekan lalu pihaknya sudah memfasilitasi pertemuan antara KPU dan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri untuk mencari solusi masyarakat yang belum memiliki KTP elektronik dan yang tidak terdaftar di daftar pemilih Pilkada 2018. Persoalan daftar pemilih bisa menjadi persoalan besar di Pilkada 2018 jika tidak segera dicari solusinya. “Kami mendorong KPU membentuk semacam gugus tugas yang melibatkan banyak instansi. Kalau tidak di antisipasi akan menjadi persoalan serius karena masalah kependudukan dan daftar pemilih ini menjadi prasyarat menggunakan hak pilih” kata Afif.
Afif juga mengakui bahwa persoalan besar yang dihadapi oleh Masyarakat Adat sebetulnya adalah tidak ada kepastian hukum yang mengakui wilayah administrasinya sehingga menghambat Masyarakat Adat mendapatkan identitas kependudukan sebagai basis dalam memilih. Misalnya Masyarakat Adat yang berada di wilayah konflik dengan Perusahaan. “Perlu instrumen regulasi yang mengatur dan mengakomodir persoalan ini” ungkap Afif.
“Jaringan AMAN di setiap daerah perlu menjadi mitra strategis Bawaslu dalam mengawasi dan mengidentifikasi persoalan ini. Kami mengakui bahwa tidak semua penyelenggara kami memahami kompleksitas masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Adat dalam menggunakan hak pilihnya. Utamanya menyangkut nilai-nilai yang berkembang yang sebetulnya hal tersebut harus dipahami dan diakomodir sebagai dasar merumuskan kebijakan” demikian tutur Afif.
Penulis :
Yayan Hidayat
Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat AMAN