Kampong Tanjung Gusta, 15 Maret 2017 – Masyarakat adat dari seluruh penjuru Nusantara mengelar Kongres ke lima di Kampung Tanjung Gusta, Kabupaen Deli Serdang, Sumatera Utara pada 15 – 19 Maret 2017. Kongres AMAN kali ini sangat penting karena akan menentukan bentuk perjuangan dan hubungan Masyarakat Adat Nusantara dengan pemerintah berupa dialog atau konfrontatif.
Kongres masyarakat adat dihadiri 5.429 orang yang terdiri dari Peserta, Panitia, dan Peninjau. Peserta terdiri dari dua orang utusan dari masing-masing komunitas adat anggota AMAN (2.304 komunitas adat) dan Pengurus AMAN (Pengurus Besar yaitu Sekjen AMAN dan 14 anggota Dewan Nasional AMAN; 21 Pengurus Wilayah yaitu Ketua dan Dewan AMAN Wilayah; 115 Pengurus Daerah yaitu Ketua dan Dewan AMAN Daerah).
Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke lima (KMAN ke V) terdiri dari tiga acara pokok yaitu Sarasehan pada 15 -16 Maret 2017, Pawai Adat dan Pembukaan pada 17 Maret, dan Kongres Masyarakat Adat 18 – 19 Maret. Acara Sarasehan untuk membahas isu-isu teraktual yang dihadapi masyarakat-masyarakat dengan mengangkat 17 sarasehan tematik. Selain itu, ada pentas gema budaya, pameran, upacara tanah adat, karnaval, dan berbagai kegiatan lainnya.
Hari pertama Kongres (15/3) dibuka dengan Simposium Nasional bertema “Tata Negara dan Reorganisasi Kelembagaan Negara; Melihat Ulang Kebijakan Negara atas Hak Masyarakat Adat dan Agenda Masa Depan”.
Hadir sebagai pembicara dalam simposium tersebut adalah Sekjen AMAN Abdon Nababan, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri bidang pemerintahan Suhajar Diantoro, Staf Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan Bahrunsyah, Anggota Baleg DPR RI Lutfhi Andi Mutty, penyusun draft UU Masyarakat Adat Rikardo Simarmata, dan Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki. Simposium dibuka oleh Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani.
Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus pada kehidupan pada masyarakat adat di Indonesia. Salah satu yang diupayakan adalah perlindungan dan pengakuan masyarakat adat melalui UU yang kini RUU tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional (Proglenas) 2017.
Abdon mengatakan konstitusi negara kita adalah yang terbaik, karena sejak republik ini berdiri sudah mengakui hak-hak masyarakat adat. Namun hal tersebut tidak dipenuhi. Sehingga pada dasarnya perjuangan masyarakat adat Indonesia adalah perjuangan kembali ke konstitusi. Pada awal berdiri AMAN mengambil bentuk perjuangan dan hubungan dengan pemerintah berupa konfrontatif. Namun dalam 10 tahun terakhir (2007 – 2017) AMAN mengambil bentuk perjuangan konfrontatif dengan pemerintah. Pada Kongres kali ini akan ditentukan apakah tetap dialog atau kembali konfrontatif atau bentuk perjuangan lainnya.
Suhajar mengatakan negara ini berdiri oleh komponen-komponen bangsa yang sudah ada sejak sebelum republik ini. Satu diantaranya persekutuan hukum rakyat yang sekarang masyarakat hukum adat. Masyarakat adat adalah pemilik sah bumi nusantara sebelum Republik merdeka.
Sekarang relasi antara negara dan masyarakat adat kuncinya ialah kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Sehingga benar kalau AMAN melakukan upaya-upaya yang menjunjung sistem demokrasi yang kita pegang. Masyarakat adat diakui dalam kerangka hukum kita. Undang-Undang no. 6 tahun 2014 merupakan bagian terpenting untuk menjadikan masyarakat hukum adat bisa menjadi desa adat.
“Nantinya ditetapkan desa adat dan aturan adat berlaku dengan memperhatikan keberagaman. Di Bali tentu berbeda dengan di Karo. Desa adat juga akan berfungsi memberdayakan desa adat akan punya keistimewaan dibanding desa lain,” ujarnya. Ada komitmen Kemendagri mendorong pemerintah provinsi, kabupaten dan kota agar menetapkan masyarakat adat menjadi desa adat. Presiden telah berjanji mendorong agar prosesnya segera.
Achmad Sodiki mengatakan bahwa masyarakat adat juga adalah warga negara karenanya punya hak-hak yang dilindungi. “Hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Kalau ada yang mempidanakan masyarakat adat itu salah. Di jaman kolonial saja tidak ada praktek seperti itu.”
Ia menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi no. 35 (putusan MK no. 35) yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara merupakan landmark decision Mahkamah Konstitusi. Pengakuan masyarakat hukum adat adalah bagian dari upaya Mahkaman Konstitusi untuk memberdayakan masyarakat hukum adat. “Kami semua terketuk hati kita. Marilah kita semua bersatu dan putusan MK no. 35 disosialisasikan dengan benar,” ujarnya.
Tradisi adalah sesuatu yang dilakukan sejak dulu. Maka ketika ada hak-hak yang melekat pada kesukuan sejak jaman dahulu, maka hak-hak tersebut adalah hak-hak tradisional. Termasuk hak-hak mengelola hutan. Ini mengandung asas keadilan. Pengakuan masyarakat adat yang memiliki hak-hak tradisonal bukan berarti mereka dikonservasi namun juga masyarakat yang bersangkutan diberdayakan. Misalnya sekolah kedokteran maka pulang membawa ilmu-ilmu kedokteran. Semua masyarakat pada dasar
KMAN V merupakan ajang konsolidasi masyarakat adat dari berbagai pelosok nusantara untuk merancang dan menyatukan langkah bagaimana bekerja sama dengan pemerintah dengan tetap kritis dalam pemenuhan hak-hak masyarakat. Kongres yang dihadiri oleh sekitar 5.000 peserta mewakili komunitas-komunitas masyarakat adat anggota AMAN, organisasi-organisasi nasional dan internasional, kedutaan besar, dan pemerintah Indonesia.