Arif (38), masyarakat adat dayak meratus yang ditahan oleh Kepolisian Resort (Polres) Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), melalui Penasehat Hukumnya dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru dengan Register Nomor: 1/Pid.Praperadilan/2017/PN Ktb (Senin, 20/02/2017).
Arif ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/K-22/I/2017/KAL-SEL/RES KTB/SPK, tanggal 09 Januari 2017, karena diduga telah melakukan tindak pidana orang perseorangan yang dengan sengaja menyuruh, mengorganisasi, menggerakkan, melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a dan b Jo. Pasal 19 huruf a dan c dan/atau orang perseorangan yang dengan sengaja turut serta melakukan atau membantu penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) Jo. Pasal 19 huruf b UU RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang berada di wilayah IUPHHK – HA PT. Kodeco Timber yang terletak di Kabupaten Kotabaru, Kalsel.
Menurut Penasehat Hukumnya, Dariatman, S.H., penahanan dan penetapan status Arif sebagai tersangka adalah upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat dayak meratus yang selama ini berjuang mempertahankan hutan adatnya dari perampasan korporasi. “Pak Arif ini adalah satu dari sekian ribu masyarakat adat dayak meratus yang telah hidup secara turun-temurun di wilayah hutan yang sekarang diklaim oleh perusahaan. Jauh sebelum Republik Indonesia ini diproklamirkan sebagai sebuah negara, mereka sudah ada dan mendiami wilayah tersebut. Sekarang perusahaan datang dikawal moncong senjata melakukan penggusuran tanpa dasar dan alasan yang jelas, ketika Pak Arif bersama masyarakat adat lainnya melawan, maka itu dianggap sebagai pelanggaran hukum positif negara ini”, kesalnya.
Dariatman juga mengatakan, bahwa permohonan praperadilan yang diajukan sebagai upaya untuk menegakkan hak Arif sebagai Warga Negara Indonesia dan untuk mendorong Kepolisian bertindak profesional, tidak sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan serta mengarusutamakan hak asasi manusia dalam setiap tindakan yang dilakukan. “Praperadilan ini untuk mengontrol jalannya peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan dan kini penetapan seseorang sebagai tersangka. Dan kami menilai, sangkaan yang dituduhkan kepada Pak Arif mengada-ada sebab hutan adat pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, diakui keberadaanya oleh negara”, jelas Dariatman.
Ia juga menantang, agar aparat penegak hukum berani menegakkan hukum terhadap korporasi yang melakukan kejahatan dan tidak selalu menyasar masyarakat adat yang sedang memperjuangkan hak-haknya. “Sekarang sudah mulai jelas ada aturan teknis bagaimana meminta pertanggungjawaban korporasi. Berani gak aparat penegak hukum menyasar kejahatan korporasi di Kalsel ini?”, tantang Dariatman.
Arif mengajukan permohonan praperadilan dan menuntut agar dirinya segera dibebaskan serta menuntut ganti rugi materil sebesar Rp. 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan kerugian immateril, berupa permintaan maaf oleh Polres Kotabaru secara terbuka melalui media lokal di Kalimantan Selatan dan media nasional selama 1 (satu) minggu berturut-turu atau setiap hari selama 1 (satu) minggu.
Sebelumnya, Manasse Boekit (70), Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (BPH AMAN) juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Tanah Bumbu dalam kasus dan sangkaan yang sama dengan Arif. Demikian halnya dengan Trisno Susilo, Pengurus BPH AMAN Tanah Bumbu, yang pernah ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2011 karena diduga mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, kini (Februari 2017), baru didakwa di Pengadilan Negeri Batulicin, Kalsel.
Ketiganya disangka dan didakwa berkaitan dengan aktifitas di wilayah IUPHHK – HA PT. Kodeco Timber, yang menurut masyarakat adat dayak meratus sebagai hutan adat.