Muswil II PW AMAN Maluku serukan “Resolusi Haruku”

Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Maluku (PW AMAN Maluku) menyelenggarakan musyawarah wilayah (Muswil) kedua di Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah pada 21-22 Oktober 2016.

Acara dimulai dengan Workshop Kebijakan “Penguatan Hak-Hak Masyarakat Adat” bersama Doktor Jemmy Pieterzs, SH, M.Hum dari Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon. Musyawarah ini turut dihadiri oleh Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nasional (Ketua Dewan AMAN Nasional), utusan-utusan komunitas adat anggota AMAN dari seluruh Maluku, Anggota Dewan AMAN Nasional Region Maluku, Direktur OKK Pengurus Besar (PB) AMAN, Staff Direktur Perluasan Partisipasi Politik Pengurus Besar AMAN, Manager Project Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI), Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) AMAN Maluku, seluruh Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL) AMAN Maluku dan Pengurus Daerah (PD) AMAN di Propinsi Maluku serta peninjau dari berbagai mitra AMAN di Maluku.

Muswil ini juga menghasilkan Resolusi Haruku, yang berisi:

Kami, Masyarakat Adat di Maluku, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, terutama terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adat kami, serta kehidupan beragama dan berkeyakinan yang masih kami anut dari leluhur kami.

Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat kami masih terus menghadapi tantangan sangat berat, karena wilayah-wilayah adat kami ditunjuk dan/atau ditetapkan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh pemerintah, yang kemudian diserahkan kepada pihak-pihak lain melalui sistem perijinan yang oleh pemerintah daerah diberikan dalam bentuk izin lokasi perkebunan tebu dan pertambangan, serta, oleh pemerintah pusat, dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH).

Kami dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, kesulitan mengakses sumberdaya-sumberdaya alam milik kami; yang menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan pangan serta kerusakan hutan di wilayah adat kami. Bahkan di banyak tempat, kehadiran dari setiap perijinan yang masuk di wilayah adat kami telah menjadikan kami kehilangan hak dan akses terhadap tanah leluhur kami, serta menjadikan kami justru sebagai ”orang asing di negeri sendiri”.

Kami, khususnya Masyarakat adat Suku Nuaulu di Kabupaten Maluku Tengah, yang teguh mempertahankan dan menganut sistem kepercayaan (agama) dari leluhur kami masih mengalami diskriminasi dan penyingkiran sistematis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sampai hari ini kami belum mendapatkan kejelasan identitas kami sebagai bagian dari penganut kepercayaan yang diakui oleh Negara, sehingga berdampak pada dikosongkannya kolom agama pada administrasi kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana layaknya Warga Negara Indonesia.

Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam upaya memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Maluku. Oleh sebab itu, kami, seluruh peserta Musyawarah Wilayah (MUSWIL) Ke-II AMAN Maluku, merekomendasikan sebagai berikut:

  1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
  2. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut atau melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar sesuai dengan Putusan MK 45 dan Putusan MK 35.
  3. Mendesak kepada Pemerintah dan DPRD Provinsi Maluku, seluruh Pemerintah dan DPRD Kabupaten di Propinsi Maluku untuk segera membuat PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU No. 6/2014 tentang Desa.
  4. Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku agar segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
  5. Mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan prosedur dan mekanisme bagi masyarakat adat untuk pendaftaran wilayah dan tanah adat sebagai dasar bagi penyelesaian tumpang-tindih hak dan konflik kepemilikan yang terjadi selama ini.
  6. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar mendukung bantuan teknis dan memfasilitasi pendanaan pemetaan partisipatif wilayah adat.
  7. Mendesak Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut 19 ijin prinsip yang dikeluarkan kepada PT Menara Group untuk beroperasi di Kepulauan Aru.
  8. Menolak rencana pemekaran Administrasi Kabupaten Kepulauan Aru Perbatasan; yang menurut kami terjadi intervensi secara langsung dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab serta ingin menjual wilayah-wilayah adat di Kepulauan Aru.
  9. Mendesak Pemerintah RI dan Pemerintah Propinsi serta Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat untuk mengakomodir hak-hak Masyarakat Adat terkait pembebasan lahan yang bersifat kontrak kepada perusahaan Migas Blok Masela khusus untuk penampungan dan pengelolaan minyak dan gas.
  10. Mendesak Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri untuk mencabut Perda No. 3/2012 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru yang sangat merugikan Masyarakat Adat serta berdampak pada merugikan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.
  11. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus pengeluaran izin lokasi, izin usaha dan HGU perkebunan dan pertambangan serta HPH yang masuk ke wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat dan dalam prosesnya terindikasi ada praktek korupsi dan manipulasi.
  12. Memastikan pelayanan administrasi DUKCAPIL bagi Masyarakat Adat Suku Naulu Kabupaten Maluku Tengah serta komunitas adat lain di Propinsi Maluku yang masih menganut agama/kepercayaan leluhur.
  13. Mendesak Manajemen perusahan PTPN XIV umtuk mengembalikan lahan perkebunan dalam wilayah adat Tanahnahu karena sudah selesai masa kontrak selama 30 tahun pada tahun 2012 serta mendesak Kementerian BUMN untuk segera mengeluarkan wilayah adat Negeri Tananahu dari daftar areal perkebunan perusahaan PTPN XIV dimaksud.

Selanjutnya, kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap tanah, wilayah dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.

Sehubungan dengan itu, kami mendesak pemerintah, untuk menghentikan operasi dan mencabut ijin dari perusahaan-perusahaan yang selama ini beroperasi di wilayah-wilayah Masyarakat Adat yang ada di Propinsi Maluku.

Sebagai penutup dari Resolusi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat di seluruh pelosok Maluku.

Kami, Masyarakat Adat peserta MUSWIL II AMAN Maluku bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.*

Tinggalkan Balasan