Jakarta, 6 Oktober 2016 – Penganut agama leluhur di Indonesia saat ini berjumlah mencapai sepuluh juta orang, yang hampir sebagian besar merupakan masyarakat adat. Akan tetapi, hanya enam agama yang dilindungi dan diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya, para penganut agama leluhur mengalami tindakan kekerasan berupa tekanan psikologis, stigmatisasi, diskriminasi serta intimidasi. Bahkan, mereka juga kesulitan untuk memperoleh akses pelayanan publik pemerintah.
Menurut harian The Jakarta Post (6/10), sekitar enampuluh persen penganut agama leluhur terpaksa memilih satu dari antara enam agama yang diakui untuk dituliskan di kartu identitas mereka. Penyebabnya, ketidakjelasan status agama cenderung menimbulkan tekanan sosial dari sesama anggota masyarakat.
Hadi Irawan, anggota masyarakat adat Dayak Meratus, hingga kini masih memeluk agama leluhur Kaharingan. Dalam kolom agama di kartu tanda penduduk, Hadi tidak tercantum satupun agama yang diakui oleh negara. “Kosong saja. Kepercayaan Kaharingan yang sampai saat ini menjadi persoalan karena belum diakui oleh Negara, dampaknya terhadap identitas saya berupa KTP, Akte Kelahiran dan Kartu Keluarga,” kata Hadi.
Di pegunungan Meratus, sebanyak sembilan kabupaten dan 171 komunitas balai adat masih menganut agama Kaharingan. Bila ingin mendapatkan akte kelahiran dan identitas lainnya, mereka harus memiliht salah satu agama yang diakui oleh negara. Bila tidak memilih, maka tidak dilayani. “Ada solusi lainnya agar bisa diproses, jika saya tidak diakui sebagai bapak oleh anak saya, itu dalam hal pendidikan. Sungguh luar biasa negara ini,” keluh Hadi.
Hari ini (6/10), kabar baik datang dari Kementerian Agama RI yang tengah menyusun rancangan undang-undang perlindungan terhadap agama dan kepercayaan leluhur. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak bisa lagi untuk menyangkal keberadaan pengikut ratusan agama leluhur, karena mereka merupakan bagian bangsa Indonesia.
Sebagai pembela hak-hak masyarakat adat di Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyambut baik rencana Kementerian Agama RI tersebut. AMAN menilai hal ini sebagai terobosan baru yang dibuat oleh Kementerian Agama yang selama ini kerap menutup diri atas keberadaan agama leluhur.
Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan bahwa saat ini AMAN sedang mendorong Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA). “Salah satu dari hak-hak masyarakat adat ini yang ingin kita perjuangkan adalah hak atas agama, keyakinan, nilai-nilai yang mengakar pada alam nusantara. Jadi menurut saya, inisiatif ini sangat mendukung dan semestinya kita mendorong juga supaya menteri agama memberikan dukungan terhadap proses yang kita ajukan kembali agar RUU Masyarakat Adat ini dapat masuk lagi dalam program legislasi tahun 2017 nanti. Hal ini menjadi satu situasi yang mengembirakan untuk masyarakat adat nusantara,” kata Abdon.
RUU tersebut rencananya akan diajukan ke DPR RI pada akhir tahun 2016 ini. Diharapkan dengan adanya inisiatif undang-undang pengakuan terhadap agama leluhur ini, dapat melindungi hak masyarakat adat. –Titi Pangestu-