Jakarta, 13 Oktober 2016 – Pemerintah Indonesia akan kembali ditinjau oleh Dewan HAM PBB terkait dengan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam upaya pemajuan HAM di tingkat global melalui salah satu mekanisme HAM PBB, yaitu Tinjauan Universal Berkala atau Universal Periodic Review (UPR) pada tahun 2017. Tahun depan adalah kali ketiga Indonesia direview oleh Dewan HAM PBB, yang bertepatan juga dengan sidang sesi ke-27 Kelompok Kerja UPR terkait dengan pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi dalam sidang UPR ke-2 tahun 2012 lalu, mengenai laporan kebebasan keberagaman/ keyakinan, hak-hak kelompok disabilitas, SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Gender Expression), Masyarakat Adat serta kelompok rentan, seperti Gafatar dan Falun Dafa.
7 Oktober 2017 adalah hari terakhir penutupan submisi laporan masyarakat sipil (stakeholder) kepada Dewan HAM PBB terkait UPR ini. Dan untuk menegaskan berbagai isu yang dimuat dalam laporan tersebut, jaringan masyarakat sipil dan kelompok rentan menggelar Media Briefing di Bakoel Koffie, Cikini – Jakarta Pusat hari ini (13/10/16).
Dalam kegiatan itu, Bagian Advokasi Deputi II AMAN Monica Kristiani Ndoen memaparkan kondisi masyarakat adat yang ada di Indonesia selama ini. “Masyarakat adat di Indonesia jumlahnya ada sekitar 50-70 Juta, tapi posisinya tidak jelas. Kementerian Dalam Negeri mencatat masyarakat adat sebagai masyarakat terpencil, tapi datanya tidak semua ada,” ujarnya.
Monica juga memaparkan laporan yang disusun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dengan Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) dalam rangka siklus ketiga UPR terkait situasi hak asasi manusia di Indonesia. laporan ini adalah masukan khusus terkait situasi hak asasi masyarakat adat di Indonesia sebagai tanggapan atas laporan pemerintah pada tahun 2012 dan rekomendasi dari siklus sebelumnya.
Beberapa hal yang dilaporkan secara khusus, diantaranya :
1. Masyarakat adat di Indonesia dan hak-haknya dalam UUD 1945 dan berbagai Undang-undang serta berbagai perkembangan terkait masyarakat adat di Indonesia
2. Pentingnya Undang-undang masyarakat adat dan ratifikasi Konvensi ILO 169
3. Komnas HAM dan kerjasama dengan masyarakat adat
4. Kriminalisasi masyarakat adat karena membela hak-haknya
5. Hak penganut agama leluhur
6. Pendidikan HAM untuk Penegak Hukum
7. Hak Masyarakat Adat secara khusus atas tanah, wilayah dan sumberdaya
“Sejak Jokowi terpilih, tidak ada perubahan yang berarti. Meski pada tahun 2014, Jokowi berjanji dalam Nawacita. Ada 6 point tentang masyarakat adat, yang salah satunya tentang pengakuan masyarakat adat dalam undang-undang. Nyatanya, sampai Juli 2016 ada enam tokoh masyarakat adat yang dikriminalisasi, dan jumlahnya makin bertambah,” kata Monica.
AMAN juga menjalin kerjasama dengan Komnas HAM dan menggelar Inkuiri Nasional. Ada 40 kasus yang menimpa masyarakat dalam kawasan hutan dan rekomendasi tersebut dibawa oleh AMAN untuk ditindaklanjuti oleh Negara. “AMAN mendesak pemerintah untuk mengesahkan undang-undang pengakuan masyarakat adat dan pembentukan Satgas masyarakat adat,” tegasnya. –Titi Pangestu-
Pos Sebelumnya: Masyarakat Adat Paser selenggarakan Dialog Publik Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Paser.
Pos Selanjutnya: Revisi kedua UU kehutanan didorong untuk Prolegnas Prioritas 2017