Jakarta, 23 Agustus 2016.
Tahun 2014 yang lalu, AMAN menyambut baik lahirnya sebuah Pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla karena secara khusus berkomitmen melindungi dan memajukan masyarakat adat melalui Nawacita[1].
Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan bahwa “AMAN telah mengambil langkah-langkah proaktif dengan mengusulkan agenda-agenda yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla”. Hal tersebut sudah dilakukan bahkan sejak dari Rumah Transisi hingga ke berbagai kementrian melalui RPJM, lanjut Abdon.
AMAN memandang bahwa Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus memulai rekonsiliasi untuk memastikan kehadiran negara di tengah-tengah masyarakat adat dan menjadikan masyarakat adat bagian utuh dari Bangsa Indonesia. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membebaskan pemimpin dan anggota masyarakat adat korban kriminalisasi oleh negara karena mempertahankan wilayah titipan leluhur mereka.
Demikian juga AMAN mengusulkan kepada Presiden segara membentuk Satuan Tugas Masyarakat Adat (Satgas) untuk merumuskan pelaksanaan Nawacita dan menyelesaikan berbagai masalah mendesak yang saat ini menimpa masyarakat adat. Presiden menyetujui rencana tersebut dalam pertemuan AMAN pada tanggal 26 Juni 2015 di Istana Negara. AMAN kemudian terlibat dalam penyusunan Rancangan Kepres Pembentukan Satgas yang dipimpin Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun demikian hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai Satgas tersebut.
Tidak hanya Satgas, Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang dijanjikan oleh Nawacita juga belum disahkan hingga hari. Bahkan RUU tersebut tidak menjadi prioritas DPR maupun Pemerintah dalam pembahasan tahun 2015 – 2016.
Pemerintah belum sungguh-sungguh berniat mengakui hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain, kriminalisasi masyarakat adat terus berlanjut dan proses pengakuan wilayah adat oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai mandat Putusan MK35 berjalan sangat lambat bahkan cenderung stagnan.
Abdon Nababan menyesalkan berbagai hal yang terjadi akhir-akhir ini “ Berbagai langkah yang dilakukan oleh pemerintah justru semakin menjauh dari janji Nawacita.” Pengurusan masyarakat adat oleh Negara masih melanjutkan praktek dan tradisi sektoralisme dengan menyerahkan ke berbagai Kementrian. Sementara itu kebijakan ekonomi justru menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang semakin terdesak di tengah-tengah ketidakpastian perlindungan hak secara hukum.
“Pemerintah harus segera mewujudkan komitmen Nawacita untuk menghadirkan negara ditengah-tengah masyarakat adat. Jika tidak masyarakat adat akan semakin terpuruk dan bangsa Indonesia yang akan menanggung akibat buruknya” tegas Abdon.
Untuk itu AMAN mendesak Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk segera mewujudkan janji Nawacita:
1. Menghentikan kriminalisasi dan Membebaskan semua anggota masyarakat adat dari penjara dan menghentikan proses pengadilan dan penyidikan atas masyarakat adat yang dikriminalisasi; semuanya tanpa syarat.
2. Segera membentuk Satgas Masyarakat Adat.
3. DPR bersama dengan Pemerintah segera mengesahkan UU Masyarakat Adat.
4. Melaksanakan Putusan MK 35 dengan pengakuan wilayah adat yang dapat dimulai dengan 7,4 Juta hektar yang telah diterima secara resmi oleh Pemerintah.
5. Pemerintah Daerah untuk menggalakkan pembentukan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, dan juga melalui pelaksanakan Peraturan Mentri Dalam Negri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Kontak:
Rukka Sombolinggi
Deputi II Sekjen AMAN untuk urusan Advokasi Kebijakan, Hukum dan Politik
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
telp: 08121060794 email: rsombolinggi@aman.or.id
[1] Enam prioritas utama Nawa Cita dalam rangka perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat:
1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012
2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan berbagai komponen masyarakat sipil lainnya
3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012
4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini
5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan
6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa adat.