Juli 2016

Jakarta 28/7/2016 ̶ Belum adanya solusi kongkrit dari pemerintah terhadap konflik agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar diskusi “Ketimpangan Agraria Di Era Jokowi Dodo-Jusuf Kalla Dan Peluncuran Agraria Reform Media Awal 2016” bertempat di Gedung Dewan Pers (Lantai VII), Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Menteng Jakarta Pusat (26/7/2016).

Sebagai narasumber hadir Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden. Iwan Nurdin, Sekretariat Sekjend KPA. Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers 2016-2019.

Usep Setiawan, menyampaikan berdasarkan pengaduan dari masyarakat, pemerintah mencatat kasus sengketa tanah dan konflik agraria yang banyak menjadi korban adalah masyarakat adat, petani, buruh, nelayan dari berbagai daerah. Kondisi ini memunculkan gagasan terbentuknya lembaga khusus sebagai upaya mengatasi konflik agraria dimana saat ini sedang dalam proses pemantapan Kepala Staf Kepresidenan, dengan harapan menjadi kebijakan khusus dan akan dibawahi langsung oleh presiden mengingat reforma agraria resmi menjadi perhatian prioritas nasional,” paparnya.

Lembaga ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif, percepatan pelaksanaan program-program prioritas nasional terkait dengan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria. “Dengan melakukan Identifikasi, pendataan, analisis sehingga dapat menyusun rekomendasi penyelesaian konflik sebelum melakukan eksekusi bertujuan untuk menindaklanjuti penataan produksi pertanian dan perbaikan layanan alam,” lanjut Usep.

Konflik agraria merupakan masalah utama yang dihadapi masyarakat Indonesia, faktor penyebab utamanya keputusan-keputusan pejabat pemerintah pusat dan daerah, pemusatan kekuasaan, pemanfaatan sumber daya alam oleh badan-badan usaha untuk ekstansi, produksi, konservasi, dan pembangunan infrastruktur.

“Konflik agraria berakibat pada pelanggaran HAM karena perampasan hak atas tanah rakyat, penurunan kualitas SDA untuk produksi pangan, kemiskinan,wilayah hidup menyempit, pengurangan akses rakyat atas tanah, krisis sosial ekologis,penghilangan kesempatan kerja menegakkan perekonomian desa, memicu kerawanan sosial dan stabilitas politik,” kata Usep.

Iwan Nurdin selaku Sekjen KPA menyampaikan KPA mencatat konflik agraria sebanyak 1.520 kasus dalam semua sektor dan mengakibatkan 85 orang menjadi korban jiwa. Dalam 10 tahun terakhir, masih banyak petani hak atas tanahnya dirampas. Ini merupakan bukti reforma agraria belum menjadi perhatian prioritas oleh pemerintah. Sekarang kondisinya hak kepemilikan tanah petani semakin menurun. Seharusnya jika semakin menurun jumlah mereka maka lebih banyak hak atas tanahnya, bukan malah berbanding terbalik. “Melihat hal ini seharusnya petani tidak layak dibebani untuk mengganti produsen pangan itu adalah tanggung jawab perusahaan pertanian,” ungkap Iwan.

Dalam janji Nawacita Jokowi akan memprioritaskan peningkatkan kwaliatas hidup manusia Indonesia, dengan cara menyejahterakan maupun mendorong kepemilikan lahan seluas 9 juta hektar tanah. Setelah dilantik, Jokowi mengadakan rapat dengan 5 Kementerian(27/2/2015) membahas alokasi perkebunan sawit, tebu dan kedelai. Pada april 2015 Menteri Agraria, Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertanianmengelar MOU, hasilnya sebanyak 9 juta hektar tanah akan dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Kemudian RUU Pertanahan menyatakan hutan akan menjadi perhatian prioritas. “Tetapi pada tahun 2016 peraturan-peraturan tersebut tidak direalisasikan bahkan Perpres pun tak ada,” papar Iwan.

Pemerintah menafsirkan reforma agraria adalah reditribusi tanah dimana Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan hak tanah disertai aset reformasi. Artinya ada akses terhadap perbankan atau pasar. Menteri dan Dirjen terkait menafsirkan reforma agraria sebanyak 9 juta hektar tanah adalah sertifikasi tanah, artinya siapa pun yang mendapat sertifikat akan mendapat legalisasi aset 0,4 juta hektar Hak Guna Usaha habis dan tanah terlantar, disamping itu 4,1 juta hektar pelepasan kawasan hutan.

Pembelokan Pengertian Reforma Agraria

“Sedangkan BPN menafsirkan reforma agraria adalah seluas 400.000 hektar dengan alasan pelepasan kawasan hutan bukan wewenang BPN tetapi wewenang kementerian lain. Hal menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia melenceng dari mandat dan amanat kepercayaan rakyatnya. Sedangkan konsekuensi rakyat memilih presiden karena setuju dengan janjinya,” jelas Iwan.

Pemerintah membagi tanah menjadi dua kategori yaitu tanah negara artinya tanah yang belum dialokasikan atas haknya, sedangkan tanah hak berarti telah dialokasikan, dimana tempatnya akan dilaksanakan reforma agraria.Tanah seluas 12,1 juta hektarberupa perkampungan, sawah, kebun yang berada dikawasan hutan dari Aceh-Papua, 4,5 juta hektar tanah redristribusi. 70 % tanah Indonesia merupakan kawasan hutan berdasarkan UU 41 kehutanan. Dalam hutan tersebut terdapat kampung Suku Dayak di Kalimantan bahkan di Jawa Timur serta daerah-daerah lainnya.

“Hutan di wilayah-wilayah harus jadi prioritas reforma agraria dan dilepaskan oleh negara,” ujar Iwan.

Tanah seluas 4,1juta hektar merupakan peraturan pemerintah dalam reforma agraria daerah-daerah tersebut antara lain Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Riau, Maluku, Papua. Reforma agraria yang diterapkan oleh pemerintah dengan cara memindahkan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya. Contohnya pemerintah memindahkan penduduk Jawa ke Papua, hal di atas jelas sangat keras, ini pembelokan pengertian reforma agraria. KPA mengkritik dan menuntut hal ini harus diluruskan oleh KSP karena lemabaga ini merupakan pengambil kebijakan.“Jangan ada lagi nama baru tetapi yang dijalankan adalah program lama,” tegas Iwan.

Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers 2016-2019 menjelaskan media harus lebih menyoroti reforma agraria. Publik dihimbau berpartisipasi mengontrol isu agraria karena mereka memiliki hak sesuai mandatUU 40 tahun 1999 tentang pers. Mengingat konflik agraria sudah terkait dengan keselamatan nyawa seseorang. Konflik agraria dalam sorotan media adalah bentrok warga dan pihak tertentu. Sedangkan masalah mendasar dari substansi agraria itu sendiri tidak diexpose oleh media,” ujar Iman **** Paulus Ade Sukma Yadi.

Weda- Curah hujan dalam beberapa hari ini yang semakin tinggi, mengakibatkan terjadi banjir di Desa Woekob, Kulo Jaya, Woejerana dan Dusun Lukulamo Kobe Trans dan dusun Lukulamo, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah. Banjir tersebut terjadi sejak Kamis (21/07/2016.

Berikut kronologis awal dari kejadin.

Kamis, pukul 04.35 (dini hari) – pukul 10.00 WIT (pagi hari), hujan deras mengguyur wilayah Trans Kobe, Kec. Weda Tengah dan sekitarnya. Curah hujan setiap saat semakin besar.

Pukul 12.45 WIT, tanggul Sungai Saloi (anak sungai Kobe) jebol, sehingga air sungai meluap ke pemukiman warga. Hujan masih terus turun.

Pukul 13.30 WIT, warga Desa Woejarana yang tinggal di dusun 1 dan 2 mulai terkena banjir yang secara tiba-tiba datang dari arah timur karena jebolnya tanggul.

Pukul 14.00 WIT, Warga dusun 1 desa Woejerana mulai mengungsi ke Mesjid di desa tersebut sebagai alternatif. Keadaan makin panik pada saat dusun 2, Desa Woekop, Kulo Jaya dan Dusun Lokulamo juga ikut banjir. Warga pun sebagian mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, sebagian memilih bertahan dirumah menjaga barang-barang mereka. Banjir di lokasi-lokasi ini dikarenakan hujan deras menyebabkan volume air di sungai Akejira (Induk Sungai Kobe) terus meningkat dan meluap. Ketinggian banjir tersebut diperkirakan mencapai 2 meter, sehingga semua perumahan warga ikut terendam.

Pukul 23.00 WIT, banjir mulai surut. Warga yang mengungsi sudah mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Warga tetap waspada dengan banjir susulan jika hujan masih terus turun.

Menurut keterangan warga di lokasi, banjir ini hampir sama dengan kasus banjir di tahun 2009 dan 2012. Namun ketinggian airnya tidak sampai 2 meter.

Dari bencana banjir tersebut sampai saat ini belum ada indikasi korban jiwa. Warga mengalami kerugian dalam jumlah yang sangat besar karena harta benda termasuk kebun dan sawah ikut kena banjir. Satu hari setelah banjir terjadi, belum ada respon Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Uluran tangan masyarakat dan pemerintah Halmahera Tengah sangat dibutuhkan seperti bantuan bahan makanan/sembako, obat-obatan, dll.

Laporan ditulis : Iksan Sahabudin (+62 812-4207-8286)
Editor : Supriyadi Sudirman
sumber berita:http://malut.aman.or.id/2016/07/23/hujan-deras-beberapa-jam-sejumlah-desa-di-halteng-terkena-banjir/

Pada tanggal 20-21Juli 2016, telah dilakukan suatu rangkaian proses Musyawarah Wilayah (Muswil) KeduaAliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)Riau, yang dimulai dengan Dialog Kebijakan “Menjemput Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau Dengan Mendedah Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2015 tentang Tanah ulayat dan Pemanfaatannya Sebagai Pemajuan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Propinsi Riau” bersama Kepala Badan Restorasi Gambut, Gubernur Riau yang diwakili Staf Ahli Bidang Pembangunan, Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau, Deputi Direktur WALHI Riau, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Akademisi Bidang Hukum Univ. Islam Riau.

Musyawarah ini dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili oleh Dirjen. Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dan dihadiri olehutusan-utusan komunitas adat anggota AMAN dari seluruh Riau, Sekjen AMAN, Deputi I Sekjen AMAN, Direktur OKK Pengurus Besar (PB) AMAN, Badan Pelaksana Harian Wilayah (BPHW) AMAN Riau, seluruh Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL)AMAN Riaudan Pengurus Daerah (PD) AMAN di Propinsi Riau serta peninjau dari berbagai mitra AMAN di Riau.

Kami, Masyarakat Adat di Riau, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, terutama terkait tanah dan sumber daya alam di wilayah adat kami, serta kehidupan beragama dan berkeyakinan yang masih kami anut dari leluhur kami.

Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat kamimasih terus menghadapi tantangan sangat berat, karena wilayah-wilayah adat kamiditunjuk dan/atau ditetapkan secara sepihak dan sewenang-wenang oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Hutan, yang kemudian diserahkan kepada pihak-pihak lain melalui sistem perijinan yang oleh pemerintah daerah diberikan dalam bentuk izin lokasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, serta, oleh pemerintah pusat,dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH).

Kami dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan panganserta kerusakan hutan di wilayah adat kami.Kami juga menemukan bahwa sebagian dari perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki ijin atau memiliki ijin tetapi ijin tersebut diperoleh dengan cara memanipulasi dan menipu warga masyarakat adat pemilik lahan. Bahkan di banyak tempat, kehadiran Taman Nasional dan Suaka Margasatwa di wilayah adat kami telah menjadikan kami kehilangan hak dan akses terhadap tanah leluhur kami. Setelah ditetapkannya”kawasan hutan” di wilayah adat kami, kami justru menjadi ”orang asing di tanah sendiri”.

Kami,khususnya Masyarakat adat Suku Talang Mamak dan Suku Akit, yang teguh mempertahankan dan menganut sistem kepercayaan (agama) dari leluhur kami masih mengalami diskriminasi dan penyingkiran sistematis dari kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sampai hari ini kami belum mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana layaknya Warga Negara Indonesia. Tidak adanya pelayanan administrasi kependudukan dan akses catatan sipil ini telah menjadi pemicu berbagai pelanggaran HAM kami dalam mengakses layanan dasar pendidikan dan kesehatan.

Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam upaya memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Riau.Oleh sebab itu, kami, seluruh peserta Musyawarah Wilayah (MUSWIL) Ke-IIAMANRiau, merekomendasikan sebagai berikut:

1. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA).
2. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut atau melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar sesuai dengan Putusan MK 45 dan Putusan MK 35.
3. Mendesak kepada Pemerintah dan DPRD Provinsi Riau, seluruh Pemerintah dan DPRD Kabupaten untuk segera membuat PERDA Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan UU No. 6/2014 tentang Desa.
4. Mendesak kepada seluruh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau agar segera melaksanakan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
5. Mendesak Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan prosedur dan mekanisme bagi masyarakat adat untuk pendaftaran wilayah dan tanah adat sebagai dasar bagi penyelesaian tumpang-tindih hak dan konflik kepemilikan yang terjadi selama ini.
6. Mendesak kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar mendukung bantuan teknis dan memfasilitasi pendanaan pemetaan partisipatif wilayah adat.
7. Mendesak Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan skema dan praktek pengembangan inti-plasma dalam usaha perkebunan kelapa sawit yang pada kenyataannya justru menjadi cara efektif dari pihak perusahaan untuk mengambil alih tanah-tanah adat dengan harga yang murah dan bahkan gratis karena hanya dibayar dengan beban kredit bagi petani yang justru pengembaliannya juga dibebankan kepada masyarakat adat pemilik tanah.
8. Mendesak agar pemerintah segera membuat dan menyediakan mekanisme resolusi konflik. Dalam proses resolusi konflik tersebut, kami mendesak pemerintah pusat hingga pemerintah desa untuk menghentikan upaya-upaya pemindahan hak atas wilayah adat melalui jual beli tanah adat.
9. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus pengeluaran izin lokasi, izin usaha dan HGU perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang masuk ke wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat adat dan dalam prosesnya terindikasi ada praktek korupsi dan manipulasi.
10. Mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan terkait dengan keberadaan perusahan-perusahaan, baik perkebunan sawit, pertambangan maupun Hutan Tanaman Industri di wilayah adat. Audit ini mendesak untuk dilakukan mengingat parahnya kerusakan lingkungan dan terjadinya kekeringan sumber-sumber mata air yang menjadi hajat hidup Masyarakat Adat di Propinsi Riau.
11. Meninjau ulang dan melakukan revisi terhadap Perda No. 10 Tahun 2015 agar sesuai dengan Putusan MK 35 dan UU Desa. Kami selanjutnya mendesak agar Gubernur segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang implementasi dari Perda yang telah direvisi tersebut.
12. Memastikan pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, khususnya bagi warga suku talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu dan warga Suku Akit Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti yang masih menganut kepercayaan leluhur.
13. Mendesak pemerintah untuk mengidentifikasi Masyarakat Adat yang berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi, yang keberadaannya masih terisolasi, khususnya yang berada di Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
14. Mendesak pemerintah untuk segera melakukan restorasi hutan mangrove/bakau di wilayah adat Suku Akit di Kabupaten Bengkalis.
Selanjutnya, kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.

Sehubungan dengan itu, kami mendesak pemerintah, untuk menghentikan operasi dan mencabut ijin dari perusahaan-perusahaan berikut ini :
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Talang Mamak di Kabupaten Indra Giri Hulu: 1) PT. Runggu Prima Jaya, 2) PT. Selantai Agro Lestari, 3) PT. INECDA Plantation, 4) PT. Perkebunan Nusantara V, 5) PT. Seko Indah, 6) PT. Sinar Mas, 7) PT. MEGA, 8) PT. ARVENA Sepakat, 9) PT. Sinar Widita Pamarta, 10) PT. Bukit Betabuh Sungai Indah, 11). PT. Pertamina, 12) PT. Kharisma, 13) PT. Rigunas,
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Kuntu dan Padang Sawah di Kabupaten Kampar, yakni : 1) PT. Kebun Pantai Raja; 2) PT. RAPP, 3) PT. Perawang Sukses Perkasa Industri.
 Perusahaan-perusahaan di wilayah adat Komunitas Lenggadai Hilir di Kabupaten Rokan hilir, yakni : 1) PT. Sindora Seraya Group, 2) PT. Diamond Raya Timber
 Perusahaan di wilayah adat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, yakni PT. Arara Abadidan;
 Perusahaan di wilayah adat Suku Akit di Kecamatan Bantan, yakni PT. Rokan Riang Lestari.

Kami juga menolak Peraturan Presiden tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Hutan Lindung Bukit Betabuh, Hutan Lindung Mahato, jika tidak mengakomodir wilayah adat.

Sebagai penutup dari Resolusi dan Rekomendasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat di seluruh pelosok Riau.

Kami, Masyarakat Adat peserta MUSWIL II AMAN Riau bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Pekanbaru, 21 juli 2016

UNRIP_new_ChairCongratulations to the election of Albert Barume as the Chair of UN Expert Mechanisms on the Rights of Indigenous Peoples. As Chief Willy Littlechild described: he has the capacity and experience on works related to indigenous peoples.
Yep. member of the Working Group on IPs under the African Commission on Human Rights, Former Head of ILO pro169 where he led the establishment of the UN Partnership on Indigenous Peoples/UNIP, an author and many more… Congrats again

Selamat atas terpilihnya Dr. Albert Barume sebagai Ketua EMRIP. Beliau memiliki keahlian dan pengalaman luas terkait Masyarakat Adat. Albert adalah salah satu anggota kelompok kerja Komisi HAM Afrika untuk Masyarakat Adat, Mantan Direktur ILO pro169 dimana beliau memimpin pembentukan Kemitraan PBB utk Masyarakat Adat/UNIP, penulis dan banyak lagi. Selamat

http://www.ohchr.org/EN/Issues/IPeoples/EMRIP/Pages/EMRIPIndex.aspx

Pekanbaru 19/7/2016 – Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Riau bekerjasama dengan PPMAN pada tanggal 17 -19 Juli 2016 mengadakan Pelatihan Paralegal bertempat di Hotel Zaira Pekanbaru, Riau. Acara ini dibuka oleh Efrianto selaku ketua BPH AMAN RIAU. Pelatihan ini diikuti oleh 15 orang peserta berasal dari perwakilan pengurus Daerah Aman Riau dan Komunitas Adat Indragiri Hulu (Talang Mamak), Perwakilan dari Bangkinang /Kampar, perwakilan dari Suku Sakai dan perwakilan Komunitas Adat Kabupaten Bengkalis.

Tommy Indriyadi Agustian utusan PB AMAN dan Pengurus PPMAN sebagai salah satu fasilitator kegiatan ini mengatakan, “istilah paralegal ini dapat diartikan sebagai orang yang bukan memiliki latar belakang pendidikan hukum maupun hukum adat, tetapi mereka diberikan pengetahuan secara teknis dan praktis bagaimana menghadapi kasus-kasus hukum yang sering terjadi maupun yang dialami oleh masyarakat adat”

Lebih jauh Tommy mengatakan bahwa hukum dan keadilan masih menjauhi rakyat terutama kelompok rentan dalam hal ini masyarakat adat, begitupun dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah terasa begitu elitis sehingga menutup acces to justice (akses keadilan) bagi masyarakat adat.

Dalam memperjuangkan hak-haknya tersebut sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, negara menilai sebagai tindakan anarkis, subversif, mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban umum, atau malah melanggar hukum dimana pada akhirnya berujung pada tuduhan perbuatan yang tidak menyenangkan, perbuatan melawan hukum, pencemaran nama baik, krimilisasi dan lain sebagainya.

Ada banyak kasus yang ditengah dihadapi masyarakat yang adat yang ada di Provinsi Riau , oleh karenanya kegiatan ini bertujuan membekali peserta dengan pengetahuan dasar hukum dan hak asasi manusia yang dapat melindungi haknya dalam melakukan perjuangan, sehingga mampu membuat solusi dan/atau strategi dalam penyelesaian kasus-kasus yang berhadapan dengan hukum. Memberikan keterampilan dalam melakukan advokasi yang berkaitan dengan penerapan norma-norma hokum. Membentuk networking (jaringan) antar paralegal lintas sektor dan membentuk posko-posko Bantuan Hukum, sehingga dapat menjadi ”unit reaksi cepat” atau menjadi pertolongan pertama pada kasus dan/atau kejadian yang mereka hadapi.

Harapannya masyarakat adat mampu memperjuangkan apa yang memang menjadi haknya, sehingga pemerintah serius menyejahterakan rakyat.

Sedangkan Target dari pelatihan ini adalah “Terbentuknya Paralegal di Pengurus Daerah Aman di wilayah Provinsi Riau dan Komunitas Adat yang siap memperjuangkan hak – hak masyarakat adat dan melakukan Advokasi bagi Komunitasnya” Fasilitator dalam kegiatan ini difasilitasi dari Tim PPMAN.

Pada kegiatan ini peserta banyak sekali dibekali pengetahuan terkait bantuan hukum, advokasi dan paralegal, pengantar hukum acara dan pidana, hukum acara perdata, materi mediasi bahkan mempraktekkan bagaimana cara sharing dengan pihak perusahaan dan pada sesi hari terakhir ada materi terkait dokumentasi terhadap kasus dan materi tekhnis perorganisasian.

Adapun materi dan fasilitator dalam pelatihan ini antara lain : Suryadi, SH Direktur LBH Pers Pekanbaru, PPMAN Wilayah Sumatera yang menjabarkan tentang “Bantuan Hukum, Advokasi dan paralegal. Tommy, SH dari PB AMAN menyampaikan materi tentang “Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata” Romesh Irawan Putra Mediator IMN akan berbicara tentang Teknik Negosiasi dan Mediasi Konflik. Monica Kristiani membahas dokumen kasus, Jhony Setiawan Mundung mantan Eksekutif Daerah Walhi Riau periode tahun 2005-2009 (Tokoh Majalah Tempo Tahun 2007) akan berbicara tentang “Teknik Pengorganisasian Masyarakat” *** Umi Khoiriya

Jakarta 28/6/2016 – Akibat pengakuan setengah hati pemerintah Masyarakat Adat di seluruh wilayah Indonesia masih selalu jadi korban. Sebagai buktinya terjadi peristiwa intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap tokoh adat Muara Tae (Dayak Benuaq) Petrus Asuy dan keluarganya pada (27/6/2016). Padahal komunitas yang berada di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur ini sedang berjuang meraih hak-hak adat mereka untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah.

Perjuangan mereka sendiri sebenarnya sudah diakomodir Inkuiri Nasional Komnas HAM (1-3/10/2014). Inkuiri Nasional melakukan penyelidikan pelanggaran HAM tentang masyarakat adat di kawasan hutan, melakukan analisa penyebab utama terjadinya pola pelanggaran HAM di wilayah. Inkuiri juga menyampaikan informasi kepada pemerintah, melakukan penyadaran kepada publik.

Inkuri berlangsung pada Mei s/d September 2014 melakukan Verifikasi data dalam stake holders meeting & pertemuan dengan tim lokal Pelaksanaan publik hearing di wilayah Sumut, Banten, Bali Nusa NTB, Sulteng, Kalbar, Maluku Papua dan tingkat nasional. Melibatkan saksi yang diadukan, saksi ahli dari akademisi, pemuka masyarakat dan pendamping korban.

Komunitas Adat Muara Tae juga menerima anugerah Equator Prize (21/9/2015) atas perjuangannya melindungi, mempertahankan dan memulihkan wilayah adat. Tanah adat yang semula mereka warisi seluas 11.000 hektar saat ini tinggal 4000 hektar.

Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.

Peta wilayah adat Muara Tae sudah melalui proses empat tahap yakni kepada BIG dan UKP4 tanggal14 November 2012, lalu kepada BP REDD, 22 Desember 2014, penyerahan peta yang ke tiga ke Kementerian Lingkungan Hidup atau LH (Waktu itu belum berubah jadi KLHK). Lalu yang ke empat kepada KLHK, Agustus lalu. Peta Muara Tae masuk dalam status tematik atau setara dengan peta manapun yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/ PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Dengan demikian setiap penggunaan dan pemanfaatan wilayah adat harus melalui persetujuan masyarakat adat pewaris dan pemilik sah tanah tersebut. Namun semua itu bagi aparat pemerintah ternyata belum cukup untuk memberi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Muara Tae.

Pada tanggal 24/6/2016 Petrus Asuy menerima surat dari Kapolsek Jempang, Ajun Komisaris Polisi Toni Joko Purnomo, meminta hadir dalam mediasi terkait klaim lahan perkebunan PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ) di Mako Polsek Jempang. Dalam surat tersebut, mediasi dilakukan atas permintaan dari PT. BSMJ.

Petrus Asuy menolak halus mediasi tersebut, karena proses mediasi yang tidak benar dan kasus ini sedang diproses oleh Nasional Komnas HAM.

Ketidakhadiran Petrus Asuy membuat marah mantan pemuka adat Muara Tae bernama Songkeng dan anaknya Andik. Keduanya mengancam akan menghabisi Petrus Asuy dan keluarganya sebab tanpa tanda tangan Petrus Asuy perusahaan tidak akan membayar luasan tanah klaim sebagai milik Songkeng dan kawan-kawannya.

Pengakuan terhadap masyarakat adat harus melalui Peraturan Daerah (Perda) yang mengidentifikasi dan mengatur tata kelola wilayah adat setempat. Padahal hampir semua pemerintah daerah mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan potensi di daerahnya masing-masing seperti apa yang dialami oleh masyarakat adat Muara Tae ini. Mulai dari tata batas wilayah Muara Tae-Muara Ponaq, pengangkatan Kepala Desa Muara Tae semuanya diintervensi oleh bupati.

Hal itu berdampak negatif bagi masyarakat sehingga mengalami konflik internal horizontal. Banyak pihak mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya hingga tega menjual tanah masyarakat adat. Sementara tanah adat jelas milik bersama tidak bisa diperjual-belikan oleh siapapun. Dalam masyarakat adat ada aturan(hukum adat) tidak diperbolehkan memperjual belikan tanah adat. Hanya bisa dipinjamkan untuk dikelola, hal itupun diputuskan melalui musyawarah adat.

Kejadian di atas membuktikan bahwa pemerintah belum punya solusi menegakkan hak-hak rakyatnya. Perlu adanya perbaikan sistem di NKRI untuk memulihkan moral masyarakat. Semakin banyak masyarakat tertindas di negeri ini, akan semakin memudarkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

“Dalam catatan Inkuiri Komnas HAM, berbagai cara yang dilakukan perusahaan antara lain menciptakan konflik, memelihara konflik dan terus menerus mendapat keuntungan dari konflik. Ini merupakan kesalahan fatal. Perlu perhatian khusus pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyatnya.” Ujar Rukka Sombolinggi, Deputi II Sekjend AMAN ***Paulus Ade Sukma Yadi