Jakarta 28/7/2016 ̶ Belum adanya solusi kongkrit dari pemerintah terhadap konflik agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar diskusi “Ketimpangan Agraria Di Era Jokowi Dodo-Jusuf Kalla Dan Peluncuran Agraria Reform Media Awal 2016” bertempat di Gedung Dewan Pers (Lantai VII), Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Menteng Jakarta Pusat (26/7/2016).
Sebagai narasumber hadir Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden. Iwan Nurdin, Sekretariat Sekjend KPA. Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers 2016-2019.
Usep Setiawan, menyampaikan berdasarkan pengaduan dari masyarakat, pemerintah mencatat kasus sengketa tanah dan konflik agraria yang banyak menjadi korban adalah masyarakat adat, petani, buruh, nelayan dari berbagai daerah. Kondisi ini memunculkan gagasan terbentuknya lembaga khusus sebagai upaya mengatasi konflik agraria dimana saat ini sedang dalam proses pemantapan Kepala Staf Kepresidenan, dengan harapan menjadi kebijakan khusus dan akan dibawahi langsung oleh presiden mengingat reforma agraria resmi menjadi perhatian prioritas nasional,” paparnya.
Lembaga ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif, percepatan pelaksanaan program-program prioritas nasional terkait dengan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria. “Dengan melakukan Identifikasi, pendataan, analisis sehingga dapat menyusun rekomendasi penyelesaian konflik sebelum melakukan eksekusi bertujuan untuk menindaklanjuti penataan produksi pertanian dan perbaikan layanan alam,” lanjut Usep.
Konflik agraria merupakan masalah utama yang dihadapi masyarakat Indonesia, faktor penyebab utamanya keputusan-keputusan pejabat pemerintah pusat dan daerah, pemusatan kekuasaan, pemanfaatan sumber daya alam oleh badan-badan usaha untuk ekstansi, produksi, konservasi, dan pembangunan infrastruktur.
“Konflik agraria berakibat pada pelanggaran HAM karena perampasan hak atas tanah rakyat, penurunan kualitas SDA untuk produksi pangan, kemiskinan,wilayah hidup menyempit, pengurangan akses rakyat atas tanah, krisis sosial ekologis,penghilangan kesempatan kerja menegakkan perekonomian desa, memicu kerawanan sosial dan stabilitas politik,” kata Usep.
Iwan Nurdin selaku Sekjen KPA menyampaikan KPA mencatat konflik agraria sebanyak 1.520 kasus dalam semua sektor dan mengakibatkan 85 orang menjadi korban jiwa. Dalam 10 tahun terakhir, masih banyak petani hak atas tanahnya dirampas. Ini merupakan bukti reforma agraria belum menjadi perhatian prioritas oleh pemerintah. Sekarang kondisinya hak kepemilikan tanah petani semakin menurun. Seharusnya jika semakin menurun jumlah mereka maka lebih banyak hak atas tanahnya, bukan malah berbanding terbalik. “Melihat hal ini seharusnya petani tidak layak dibebani untuk mengganti produsen pangan itu adalah tanggung jawab perusahaan pertanian,” ungkap Iwan.
Dalam janji Nawacita Jokowi akan memprioritaskan peningkatkan kwaliatas hidup manusia Indonesia, dengan cara menyejahterakan maupun mendorong kepemilikan lahan seluas 9 juta hektar tanah. Setelah dilantik, Jokowi mengadakan rapat dengan 5 Kementerian(27/2/2015) membahas alokasi perkebunan sawit, tebu dan kedelai. Pada april 2015 Menteri Agraria, Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertanianmengelar MOU, hasilnya sebanyak 9 juta hektar tanah akan dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Kemudian RUU Pertanahan menyatakan hutan akan menjadi perhatian prioritas. “Tetapi pada tahun 2016 peraturan-peraturan tersebut tidak direalisasikan bahkan Perpres pun tak ada,” papar Iwan.
Pemerintah menafsirkan reforma agraria adalah reditribusi tanah dimana Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan hak tanah disertai aset reformasi. Artinya ada akses terhadap perbankan atau pasar. Menteri dan Dirjen terkait menafsirkan reforma agraria sebanyak 9 juta hektar tanah adalah sertifikasi tanah, artinya siapa pun yang mendapat sertifikat akan mendapat legalisasi aset 0,4 juta hektar Hak Guna Usaha habis dan tanah terlantar, disamping itu 4,1 juta hektar pelepasan kawasan hutan.
Pembelokan Pengertian Reforma Agraria
“Sedangkan BPN menafsirkan reforma agraria adalah seluas 400.000 hektar dengan alasan pelepasan kawasan hutan bukan wewenang BPN tetapi wewenang kementerian lain. Hal menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia melenceng dari mandat dan amanat kepercayaan rakyatnya. Sedangkan konsekuensi rakyat memilih presiden karena setuju dengan janjinya,” jelas Iwan.
Pemerintah membagi tanah menjadi dua kategori yaitu tanah negara artinya tanah yang belum dialokasikan atas haknya, sedangkan tanah hak berarti telah dialokasikan, dimana tempatnya akan dilaksanakan reforma agraria.Tanah seluas 12,1 juta hektarberupa perkampungan, sawah, kebun yang berada dikawasan hutan dari Aceh-Papua, 4,5 juta hektar tanah redristribusi. 70 % tanah Indonesia merupakan kawasan hutan berdasarkan UU 41 kehutanan. Dalam hutan tersebut terdapat kampung Suku Dayak di Kalimantan bahkan di Jawa Timur serta daerah-daerah lainnya.
“Hutan di wilayah-wilayah harus jadi prioritas reforma agraria dan dilepaskan oleh negara,” ujar Iwan.
Tanah seluas 4,1juta hektar merupakan peraturan pemerintah dalam reforma agraria daerah-daerah tersebut antara lain Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Riau, Maluku, Papua. Reforma agraria yang diterapkan oleh pemerintah dengan cara memindahkan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya. Contohnya pemerintah memindahkan penduduk Jawa ke Papua, hal di atas jelas sangat keras, ini pembelokan pengertian reforma agraria. KPA mengkritik dan menuntut hal ini harus diluruskan oleh KSP karena lemabaga ini merupakan pengambil kebijakan.“Jangan ada lagi nama baru tetapi yang dijalankan adalah program lama,” tegas Iwan.
Imam Wahyudi, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers 2016-2019 menjelaskan media harus lebih menyoroti reforma agraria. Publik dihimbau berpartisipasi mengontrol isu agraria karena mereka memiliki hak sesuai mandatUU 40 tahun 1999 tentang pers. Mengingat konflik agraria sudah terkait dengan keselamatan nyawa seseorang. Konflik agraria dalam sorotan media adalah bentrok warga dan pihak tertentu. Sedangkan masalah mendasar dari substansi agraria itu sendiri tidak diexpose oleh media,” ujar Iman **** Paulus Ade Sukma Yadi. ∞