Menelisik Bab Hak Ulayat/ Wilayah Adat Di Dalam RUU Pertanahan

RUU Pertanahan masuk daftar Prolegnas 2016 dan diproyeksikan untuk  melengkapi UU Pokok Agraria. Bagi masyarakat adat Bab Hak Ulayat/ Wilayah Adat dalam RUU Pertanahan tersebut sangatlah krusial, sebab mengatur tentang hak ulayat di dalam RUU tersebut tidak mudah. Hak ulayat/ wilayah adat merupakan suatu kenyataan yang kompleks menyangkut istilah – menggambarkan secara keseluruhan suatu sistem pengaturan di dalam suatu masyarakat adat.

Pembahasan tentang hak ulayat untuk diatur di dalam RUU Pertanahan diperhadapkan pada keterbatasan ruang lingkup RUU Pertanahan itu sendiri yang mempunyai ruang lingkup pengaturan hanya pada aspek “tanah”. Ketika konsep hak ulayat dijabarkan di dalam RUU Pertanahan sebagai “Sistem Pengaturan Atas Tanah” dalam wilayah adat akan memiliki pengertian yang berbeda-beda, baik itu menyangkut subyek hukum, penamaan, maupun pengaturannya.

Menurut Abdon Nababan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hak ulayat sebagai konsep asli orang Minangkabau tak boleh dibawa ke tempat lain. Kalau konsep itu digunakan di Papua, orang Papua tak punya hak ulayat. Di Bali namanya juga berbeda, di Banten juga berbentuk wewengkon. Jika menggunakan konsep hak ulayat yang sifatnya teritorial, sementara di  Papua sendiri tak masuk kategori hak ulayat sebab di sana bersifat geneologis (hubungan darah).

Di Tanah Batak merupakan konfederasi marga (huta). Tapi yang memiliki kewenangan yang jelas atas tanah adalah huta atau kampung. Tapi dalam kampung ada marga (keluarga) yang juga memiliki aturan sendiri terhadap tanah. Meski isunya adalah tanah ulayat, tapi tampaknya hak ulayat adalah konsep yang abstrak kaitannya dengan kewenangan suatu masyarakat dan jangkauan berlakunya hukum adat. Sementara konsep lebensraum (ruang hidup) Masyarakat Adat sudah jelas. Wilayah adat adalah objek tanah, air, udara dari hak ulayat. Tapi dalam wilayah adat ada hak suku, marga dan lainnya yang perlu diatur.

Bagaimana RUU Pertanahan menyerap, mendefinisikan ulang atau memperbarui hak ulayat. Jika mungkin memperkenalkan wilayah adat sebagai pengganti hak ulayat agar bisa hidup di semua tempat dan relevan untuk seluruh wilayah. Persoalannya bagaimana menggali dan menemukan konsep-konsep yang serupa atau mirip dengan hak ulayat di berbagai tempat dengan konsep-konsep yang beragam tersebut bisa diekstraksi dan diformulasikan menjadi norma hukum.

Hal lain yang disoroti Abdon Nababan adalah peminjaman tanah di wilayah adat untuk kepentingan umum oleh pemerintah. Poin peminjaman harus ada di RUU Pertanahan  karena menimbulkan ketidakpastian terhadap fasilitas umum. Mereka hanya dapat hak pakai dari lembaga adat dan bukan pelepasan. Lembaga adat hanya memberi hak guna dan hak pakai.

Juga terkait perangkat hukum adat sebagai subjek dan objek dari tanah adat. Secara sosiologis soal bentuk pemindahan hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha. Banyak hal yang harus digali menyangkut persoalan sosial maupun analisis dampak sosial.

Bagaimana masyarakat di dalam wilayah adat mengelola harta kekayaan (internal), bagaimana hubungannya dengan kelompok masyarakat atau individu di luar dirinya, bagaimana kerjasamanya dengan perusahaan, dan bagimana sikap terhadap program pemerintah (bukan perusahaan), semua itu perlu diatur.

Direktur Advokasi PB AMAN Erasmus Cahyadi mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini belum bersinggungan dengan kewenangan mengatur obyek wilayah adat dan ruang berlakunya hukum kewenangan masyarakat adat. Padahal sangat berhubungan dengan ruang hidup, seberapa jauh jangkauan berlakunya hukum adat dan seberapa jauh kewenangan lembaga adat itu mengatur teritorialnya.****JLG

Tinggalkan Balasan