Selasa, 28 Juni 2016. Masuknya perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) di Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur telah menyebabkan terjadinya intimidasi dan ancaman pembunuhan bagi masyarakat adat Muara Tae yang memilih untuk tidak melepaskan lahannya.
Kejadian terbaru ini dipicu oleh surat panggilan dari Kepala Kepolisian Sektor Jempang pada 22 Juni 2016 kepada Petrus Asuy (tokoh masyarakat adat Muara Tae) untuk menghadiri pertemuan mediasi atas permintaan PT. BSMJ terkait klaim lahan masyarakat adat di Kampung Muara Tae. Petrus Asuy diminta menandatangani dokumen verifikasi lahan yang dilakukan oleh pengurus kampung dan PT. BSMJ.
Melalui surat balasan atas pemanggilan Kapolsek (23/6), Petrus Asuy menegaskan bahwa dirinya tidak akan menghadiri pertemuan mediasi ini karena Kapolsek tidak seharusnya melakukan mediasi yang bukan merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak, dan ditengarai bahwa dokumen verifikasi kepemilikan lahan tersebut tidak valid. Petrus Asuy juga menambahkan bahwa permasalahan ini sudah diproses di tingkat nasional melalui Komnas HAM dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Masrani, tokoh masyarakat Muara Tae lainnya menyatakan, “Disebabkan oleh penolakan ini, kami mendapat intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kelompok pendukung perusahaan. Kami membutuhkan perlindungan hukum.”
Konflik agraria di Kampung Muara Tae telah terjadi sejak 1971, bahkan hingga saat ini bertambah banyak dan tidak satu pun diselesaikan. Sejak 1971, Kampung Muara Tae dengan luasan 12.000 hektar telah disekat-sekat oleh enam perusahaan. Kehadiran sejumlah perusahaan ini memicu konflik agraria berkepanjangan akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan yang tambang silih berganti menguasai lahan dari Suku Dayak Benuaq ini.
Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak, Zainuri Hasyim, mengecam tindakan intimidasi dan ancaman pembunuhan ini. “Permasalahan yang terjadi di Muara Tae merupakan dampak dari gagalnya Pemerintah melakukan pembenahan dalam bidang agraria yang kuat keterkaitannya dengan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan di tingkat tapak, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan atas lahan masyarakat,” ujarnya.
Abdon Nababan selaku Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan, “Inkuiri Nasional Komnas HAM RI telah menemukan beragam pelanggaran HAM kolektif maupun individual yang dialami masyarakat adat Kampung Muara Tae. Komnas HAM pun sudah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi puluhan tahun ini.”
Pihak perusahaan PT. BSMJ menggunakan aparat keamanan menjadi mediator sengketa klaim di antara sesama warga masyarakat adat tanpa persiapan awal yang layak untuk proses mediasi yang adil dan berimbang, yang kemudian menimbulkan permusuhan yang berujung pada ancaman pembunuhan.
“Pemerintah harus menghentikan pelanggaran HAM ini, termasuk upaya-upaya mengalihkan perampasan tanah adat Kampung Muara Tae oleh PT. BSMJ menjadi sengketa lahan antara warga masyarakat adat. AMAN mendesak KAPOLRI mengusut ancaman pembunuhan kepada Petrus Asuy dan keluarganya, serta memastikan persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Adat Muara Tae bisa terselesaikan dengan damai tanpa kekerasan”, demikian sambung Abdon Nababan.
Masyarakat adat Muara Tae terus berjuang dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan wilayah adatnya, termasuk berkali-kali menghadang buldozer perusahaan yang dikawal oleh aparat negara. Dalam perjuangan panjang perlawanan tersebut, masyarakat Muara Tae mengalami berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Berbagai upaya advokasi juga dilakukan melalui laporan kepada Pemerintah daerah, Komnas HAM, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan surat langsung kepada Menteri Desa.
“Sudah saatnya Presiden Joko Widodo turun tangan untuk menuntaskan permasalahan yang telah berlangsung sejak 45 tahun lalu,” tegas Zainuri Hasyim. “Penyelesaian masalah di Muara Tae akan menuntaskan penderitaan masyarakat, sekaligus akan menjadi preseden bagi penyelesaian konflik yang menimpa masyarakat adat di tempat lainnya,” ujarnya.
Kontak untuk informasi lanjutan:
Masrani – tokoh Masyarakat Adat Muara Tae; 0822.5527.4194; petinggimuaratae@gmail.com
Abdon Nababan – Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); 0811.11.1365 abdon.nababan@aman.or.id
Zainuri Hasyim – Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak; 0811.75.4409; zainurihasyim@gmail.com
Catatan bagi editor:
Upaya penolakan masyarakat Muara Tae yang gigih dan berkepanjangan mendapatkan perhatian dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam bentuk penghargaan Equator Prize pada September 2015 lalu. Selengkapnya lihat http://www.equatorinitiative.org/index.php?option=com_content&view=article&id=924&Itemid=1173&lang=en#komunitas-adat-muara-tae-indonesia
Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.
Inkuiri Nasional adalah upaya Komnas HAM memberikan kontribusi pada upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Inkuiri nasional menerapkan fungsi pemantauan untuk menyelidiki (investigasi) kasus, fungsi penelitian dan pengkajian untuk menganalisis akar masalah dan merumuskan rekomendasi pemulihan pelanggaran HAM.
Tema hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) atas wilayah adat dipilih karena persoalan ini memiliki dimensi HAM yang kuat. Lebih lengkap bisa ditelusuri di http://www.komnasham.go.id/kabar-latuharhary/komnas-ham-luncurkan-4-empat-buku-inkuiri-nasional dan https://drive.google.com/file/d/0B9oSBEtjy7UPN2w3cXRMR2t4RDQ/view?usp=drivesdk halaman 198-215
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara.
Perkumpulan Kaoem Telapak, organisasi transformasi dari Perkumpulan Telapak, sebagai wadah untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kemartabatan konstituennya, yaitu kaum petani, nelayan, dan masyarakat adat di Indonesia. Perkumpulan ini bercita-cita untuk mewujudkan keadilan antar unsur alam dan antar generasi dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di Indonesia.
∞