Juni 2016

Selasa, 28 Juni 2016. Masuknya perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) di Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur telah menyebabkan terjadinya intimidasi dan ancaman pembunuhan bagi masyarakat adat Muara Tae yang memilih untuk tidak melepaskan lahannya.
Kejadian terbaru ini dipicu oleh surat panggilan dari Kepala Kepolisian Sektor Jempang pada 22 Juni 2016 kepada Petrus Asuy (tokoh masyarakat adat Muara Tae) untuk menghadiri pertemuan mediasi atas permintaan PT. BSMJ terkait klaim lahan masyarakat adat di Kampung Muara Tae. Petrus Asuy diminta menandatangani dokumen verifikasi lahan yang dilakukan oleh pengurus kampung dan PT. BSMJ.
Melalui surat balasan atas pemanggilan Kapolsek (23/6), Petrus Asuy menegaskan bahwa dirinya tidak akan menghadiri pertemuan mediasi ini karena Kapolsek tidak seharusnya melakukan mediasi yang bukan merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak, dan ditengarai bahwa dokumen verifikasi kepemilikan lahan tersebut tidak valid. Petrus Asuy juga menambahkan bahwa permasalahan ini sudah diproses di tingkat nasional melalui Komnas HAM dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Masrani, tokoh masyarakat Muara Tae lainnya menyatakan, “Disebabkan oleh penolakan ini, kami mendapat intimidasi dan ancaman pembunuhan dari kelompok pendukung perusahaan. Kami membutuhkan perlindungan hukum.”
Konflik agraria di Kampung Muara Tae telah terjadi sejak 1971, bahkan hingga saat ini bertambah banyak dan tidak satu pun diselesaikan. Sejak 1971, Kampung Muara Tae dengan luasan 12.000 hektar telah disekat-sekat oleh enam perusahaan. Kehadiran sejumlah perusahaan ini memicu konflik agraria berkepanjangan akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan yang tambang silih berganti menguasai lahan dari Suku Dayak Benuaq ini.
Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak, Zainuri Hasyim, mengecam tindakan intimidasi dan ancaman pembunuhan ini. “Permasalahan yang terjadi di Muara Tae merupakan dampak dari gagalnya Pemerintah melakukan pembenahan dalam bidang agraria yang kuat keterkaitannya dengan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan di tingkat tapak, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan atas lahan masyarakat,” ujarnya.
Abdon Nababan selaku Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan, “Inkuiri Nasional Komnas HAM RI telah menemukan beragam pelanggaran HAM kolektif maupun individual yang dialami masyarakat adat Kampung Muara Tae. Komnas HAM pun sudah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi puluhan tahun ini.”
Pihak perusahaan PT. BSMJ menggunakan aparat keamanan menjadi mediator sengketa klaim di antara sesama warga masyarakat adat tanpa persiapan awal yang layak untuk proses mediasi yang adil dan berimbang, yang kemudian menimbulkan permusuhan yang berujung pada ancaman pembunuhan.
“Pemerintah harus menghentikan  pelanggaran HAM ini, termasuk upaya-upaya mengalihkan perampasan tanah adat Kampung Muara Tae oleh PT. BSMJ menjadi sengketa lahan antara warga masyarakat adat. AMAN mendesak KAPOLRI mengusut ancaman pembunuhan kepada Petrus Asuy dan keluarganya, serta memastikan persoalan antara PT. BSMJ dengan masyarakat Adat Muara Tae bisa terselesaikan dengan damai tanpa kekerasan”, demikian sambung Abdon Nababan.

Masyarakat adat Muara Tae terus berjuang dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan wilayah adatnya, termasuk berkali-kali menghadang buldozer perusahaan yang dikawal oleh aparat negara. Dalam perjuangan panjang perlawanan tersebut, masyarakat Muara Tae mengalami berbagai bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Berbagai upaya advokasi juga dilakukan melalui laporan kepada Pemerintah daerah, Komnas HAM, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan surat langsung kepada Menteri Desa.
“Sudah saatnya Presiden Joko Widodo turun tangan untuk menuntaskan permasalahan yang telah berlangsung sejak 45 tahun lalu,” tegas Zainuri Hasyim. “Penyelesaian masalah di Muara Tae akan menuntaskan penderitaan masyarakat, sekaligus akan menjadi preseden bagi penyelesaian konflik yang menimpa masyarakat adat di tempat lainnya,” ujarnya.

Kontak untuk informasi lanjutan:
Masrani – tokoh Masyarakat Adat Muara Tae; 0822.5527.4194; petinggimuaratae@gmail.com
Abdon Nababan – Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); 0811.11.1365 abdon.nababan@aman.or.id
Zainuri Hasyim – Ketua Perkumpulan Kaoem Telapak; 0811.75.4409; zainurihasyim@gmail.com

download Press Rilis

Catatan bagi editor:
Upaya penolakan masyarakat Muara Tae yang gigih dan berkepanjangan mendapatkan perhatian dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam bentuk penghargaan Equator Prize pada September 2015 lalu. Selengkapnya lihat http://www.equatorinitiative.org/index.php?option=com_content&view=article&id=924&Itemid=1173&lang=en#komunitas-adat-muara-tae-indonesia
Perusahaan yang bercokol di Muara Tae adalah hak pengusahaan hutan (HPH) PT. Sumber Mas (sejak 1971), hutan tanaman industri (HTI) PT. Sumber Mas (1993), perkebunan kelapa sawit PT. London Sumatra Tbk dan pertambangan batu bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal (1995), perkebunan Kelapa Sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa (2011), perkebunan kelapa sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya (2012), serta pertambangan batu bara PT. Gemuruh Karsa (2012). Keberadaan PT. Gemuruh Karsa tumpang tindih dengan izin lokasi PT. Borneo Surya Mining Jaya dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa.
Inkuiri Nasional adalah upaya Komnas HAM memberikan kontribusi pada upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.  Inkuiri nasional menerapkan fungsi pemantauan untuk menyelidiki (investigasi) kasus, fungsi penelitian dan pengkajian untuk menganalisis akar masalah dan merumuskan rekomendasi pemulihan pelanggaran HAM.
Tema hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) atas wilayah adat dipilih karena persoalan ini memiliki dimensi HAM yang kuat. Lebih lengkap bisa ditelusuri di http://www.komnasham.go.id/kabar-latuharhary/komnas-ham-luncurkan-4-empat-buku-inkuiri-nasional dan https://drive.google.com/file/d/0B9oSBEtjy7UPN2w3cXRMR2t4RDQ/view?usp=drivesdk halaman 198-215
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara.
Perkumpulan Kaoem Telapak, organisasi transformasi dari Perkumpulan Telapak, sebagai wadah untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kemartabatan konstituennya, yaitu kaum petani, nelayan, dan masyarakat adat di Indonesia. Perkumpulan ini bercita-cita untuk mewujudkan keadilan antar unsur alam dan antar generasi dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di Indonesia.

Jakarta 23/6/2016 – Proses pengesahan Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat berjalan lambat, sementara masyarakat adat di seluruh Indonesia sudah tak sabar menanti presiden menandatangani pembentukan Satgas Masyarakat Adat, sebagai upaya melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Pembentukan Satgas Masyarakat Adat diharapkan dapat menjembatani rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara.

Pada akhir Juli 2015 draft Satgas telah diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) Siti Nurbaya. Tembusan ke Kemen Seskab juga sudah diterima namun ternyata harus melewati proses panjang untuk bisa ditandatangi presiden .

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengingatkan gagasan membentuk Satgas Masyarakat Adat sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan SBY. “Waktu itu AMAN mengambil topik perubahan iklim dan REDD+ karena melihat isunya dalam agenda global. Berdasar analisa kami, isu tersebut bisa mengangkat persoalan Masyarakat Adat secara positif dan mendapat perhatian,” papar Abdon.

“Paska Putusan MK No 35, kami banyak berinteraksi dengan UKP4 yang ditugaskan presiden untuk mengurus masalah perubahan iklim. Sejak itu Satgas Masyarakat Adat sudah dibicarakan, bahkan dalam rapat dimana saya ikut jadi narasumber berkaitan dengan Deklarasi 9 Program Nasional soal PPHMA berlangsung di kantor Wapres Budiono waktu itu” lanjut Abdon

“Membahas situasi Masyarakat Adat dengan KLH-K saat ini seperti kura-kura sembunyikan kepalanya menutup diri, seolah semua urusan di lembaga tersebut sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi”

“Saya mau menggarisbawahi bahwa diskusi mengenai Satgas sudah panjang, bukan baru dimulai. Hampir seluruh rapat-rapat menyimpulkan perlu ada unit khusus di bawah presiden yang bisa melakukan terobosan cangkang ego sektoral. Unit khusus ini sangat perlu hadir, karena berhadapan dengan sektor yang bekerja seperti negara dalam negara”

Urusan masyarakat adat seperti berhadapan dengan puluhan negara. Oleh karena situasi seperti itulah lembaga untuk mengurus masyarakat adat harus permanen dan independen, agar bisa keluar dari kerangkeng cangkang sektoral. Sangat ideal, tapi bagaimana menempatkannya dalam tata negara belum ketemu. Intinya mau keluar dari situasi yang sulit.

“Jadi kalau kita lihat transformasi pembahasan Satgas yang masuk dari pintu REDD dan mau keluar dari pintu kebangsaan dan kewarganegaraan, Masyarakat Adat menjadi sesuatu yang mendasar bagi negara kesatuan. Butuh banyak pemikiran agar hasilnya sesuai dengan konstitusi kita, bukan keluar ke tempat lain,” pungkas Abdon Nababan.

Sementara itu Maria SW Sumardjono, Akademisi Universitas Gajah Mada, mengatakan baru saja menyurati presiden tentang penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan penyempurnaan Peraturan Presiden (Perpres) Peraturan 3 Kementerian dan 1 badan ada lampiran tata cara pengakuan masyarakat hukum adat. Tapi tidak membedakan antara di kawasan hutan atau di luar kawasan hutan. Kalau Perda silahkan, tapi di situ disebutkan cukup dengan surat bupati. Perda cenderung berbau money politics. Pengakuan cukup dengan surat bupati.

Oleh karenanya kehadiran Satgas bisa menjadi positif. “Saya hargai keharusan adanya Satgas, itu bisa mendorong banyak hal. Namun apakah masa kerja satu tahun cukup untuk menyelesaikan banyak permasalahan. Apakah konflik dapat diselesaikan dalam satu tahun, setelah itu bagaimana. Satu tahun kerjanya banyak, tiap hari ada kasus. Padahal tidak hanya mengumpulkan data, mengkaji dan mengkategorisasi seluruh kasus, lalu memberi rekomendasi, apa waktunya cukup,” Maria mempersoalkan masa kerja Satgas dalam draf.

“Sementara peraturan-peraturan tentang masyarakat hukum adat juga centang perenang. Baru saja keluar Permen X/2016 yang kacau itu. Selama ini kita sebut hak ulayat yang punya kewenangan publik dan perdata. Sekarang dikeluarkan hak komunal punya ninik mamak, namanya wilayat kaum memang lebih kental perdatanya. Lalu hak ulayat di pasal 3 UUPA tidak diurus Kemen ATR, itu bikin pusing,” jabar Maria Sumardjono. .

“Mungkin bagi yang tidak familier dengan konsep adat ini tidak soal, tapi bagi saya orang kuno bertanya-tanya mau ke mana, ini qou vadis . Jadi selain UU PPHMA, semua peraturan perundang-undangan terkait hukum adat itu kusut. Lalu, soal Lembaga Negara Independen banyak yang over lap. Apakah sudah ada studi LNI Independen, yang mana? Ini memerlukan studi mendalam, seperti apa yang namanya Lembaga Negara Independen permanen itu,” tanya Maria Sumardjono .

Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Mengikat Presiden

Menanggapi lambatnya pembentukan Satgas Masyarakat adat Achmad Sodiqi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi punya kewenangan menguji undang-undang. “Putusan MK 35 sejajar dengan Undang-Undang, maka pasal-pasal yang telah dibatalkan pada UU Kehutanan otomatis mati, tak bisa dijadikan landasan lagi. Undang-undang tersebut tak perlu oleh DPR karena otomatis tidak berlaku lagi. Sifat putusan final dan sejajar dengan Undang-Undang” jabarnya

“Termasuk presiden terikat pada putusan tersebut karena dalam sumpah jabatannya menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Putusan MK itu membatalkan undang-undang dan sejajar dengan undang-undang ditafsirkan untuk dilaksanakan. Maka, jelas kita tak usah menunggu UU Kehutanan itu direvisi dan disesuaikan, putusan yang sudah mengikat”

“Terkait kelembagaan, itu di bawah presiden. “KPK itu juga tak ada, tapi dibutuhkan karena penegakan hukum tidak jalan, jadi akan semacam itu. Yang namanya di bawah presiden harus ada ketentuannya, kalau masalah pelaksanaan itu semua eksekutif. Contohnya, ada Putusan MK yang terkait sengketa di Kaltim di kawasan yang sudah dikasih sertifikat, jadi susah,” papar Achmad Sodiqi

“Pihak kehutanan klaim itu bagian kehutanan. Sebetulnya kalau tanah di bawah itu ya di luar kehutanan. Siapa yang selesaikan? ya presiden yang harus selesaikan. Mahkamah Konstitusi tak bias, karena berada di ranah eksekutif. Maka presiden harus turun tangan, seperti land reform. Nanti Satgas yang mau dibikin itu kira-kira modelnya seperti apa, apakah seperti KPK karena bisa menggerakkan sektor nasional dan langsung di bawah presiden,” Achmad Sodiqi menjelaskan.

Berdasarkan informasi Prasetyo dari KLH-K (Direktorat Pengakuan MHA dan Kearifan Lokal) bahwa draf Satgas sudah dilaporkan ke Menteri Siti Nurbaya, namun masih terdapat hal yang tidak sinkron, ada yang tak berjalan. Setelah ditelusuri surat itu mandek di Deputi PMK. “Ada surat yang berbeda antara yang ada atau dipegang kawan di PMK dan yang kita sampaikan, nanti akan ditelusuri,” tambahnya.

Prosedur Izin Prakarsa

Dwiyanto Staf PMK Seskab membenarkan bahwa pada tanggal 29 Maret lalu Seskab menyelenggarakan rapat dengan instansi terkait antara lain BPN, KLHK, Kemenhukham, membahas substansi rencana pembentukkan Satgas Masyarakat Adat. Dari rapat itu ada masukkan, lalu Seskab kirim balik ke KLHK minta draf disempurnakan. Catatan dari rapat tersebut mempersoalkan masalah koordinasi, tak bisa dieksekusi, dan seharusnya dikomunikasikan lebih dulu ke presiden.

Lazimnya, kalau proses itu diajukan ke Seskab instansi pemrakarsa itu langsung izin pemrakarsa ke presiden. Biasanya kita siapkan draf. Kalau presiden setuju, lalu dibahas dan ada panitia khusus membahas substansi. Persoalannya ada prosedur yang tidak dilalui, maka terhambat karena tak tahu substansinya dan revisi draf belum dikembalikan ada panitia antar-kementerian dan lembaga untuk menyempurnakan substansinya.

Tapi ternyata izin prakarsa belum berjalan. Jadi substansi kita bahas, dan KLHK membuat surat pada presiden untuk izin pemrakarsa. Begitu presiden setuju ini ditindaklanjuti, substansi sudah matang. Untuk menyeselesaikan konflik adat, misalnya masuk dalam kawasan hutan adat, yang punya kewenangan itu Eselon II.

Proses administrasi harus dilalui, harus ada disposisi tertulis, harus ada izin. Begitu presiden nyatakan setuju seharusnya KLHK mengajukan dan kita proses membentuk panitia antar kementerian.Kalau ini penting dan ditindaklanjuti, maka prosedur itu bisa bypass.

“Ini kok tiba-tiba ada draf yang ingin diajukan presiden. Kalau saat rapat kita semua setuju, makanya kita ajukan. Tapi begitu draf itu disampaikan ternyata banyak persoalan. Misalnya soal pencabutan izin bukan wewenang Satgas tapi instansi yang menerbitkan izin. Kewenangan Satgas tak boleh tumpang tindih dengan kewenangan dan tugas-fungsi lembaga yang ada,” kata Dwiyanto.

Menanggapi hal tersebut Abdon Nababan mengatakan, “saya sudah menjelaskan soal gagasan besarnya adalah rekonsiliasi. Harus ada satu tindakan yang menunjukkan ada niat baik dan tindakan presiden. Yang paling mungkin adalah mengurusi korban kriminalisasi berdasark kewenangan hukum presiden, yaitu amnesti, grasi, restitusi. Bahkan rehabilitasi nama baik menyatakan bahwa mereka bukan penjahat, tapi pejuang. Mereka sedang melawan penjajah, bukan berkhianat,” Abdon menekankan.

“Jadi konteksnya rekonsiliasi, maka yang dipakai adalah kuasa presiden sebagai kepala negara. Kita semua sudah tahu kalau seluruh kerugian ini dibayar mungkin 20 tahun APBN habis. Karena besar, jadi memaafkan dan tanpa melupakan kejadian. Bukti ini masih ada. Apa tindakan politik presiden terhadap bukti-bukti itu?”

“Kekuasaan apa di tangan presiden yang bisa dia pakai untuk menunjukkan bahwa di negara yang sedang pudar ini dia mau merangkul rakyatnya. Harus diurus bersama karena ini urusan negara dan bangsa. Jadi harus ada upaya rekonsiliasi dan kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan untuk selamatkan republik ini,” tegas Abdon Nababan. ***JLG

Jakarta 23/6/2016­ – Melihat banyaknya kasus kriminalisasi yang terjadi terhadap masyarakat adat, Satgas masyarakat adat dinilai penting untuk menjembatani upaya politik dan hukum yang sedang berlangsung di tingkat nasional maupun daerah sehubungan belum disahkannya UU Pengakuan Perlindungan Hak Masyarakat Adat sebagai jembatan mediasi antara negara dan masyarakat adat.

Sebagai contoh terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalbar, berkonflik dengan perusahaan. Pasalnya tanah adat wilayah Masyarakat adat Semunying sekitar 1.420 hektar dirampas oleh PT. Ledo Lestari (sumber Inkuiri Nasional Komnas HAM). Berdasarkan temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM, PT. LL belum memiliki HGU dan izin pinjam pakai kawasan hutan.

Sementara pada tahun 2010 Jakobus Luna, Bupati Bengkayang saat itu sudah mengeluarkan SK pengakuan terhadap masyarakat adat Semunying. Merasa dirugikan oleh PT. Ledo Lestari pada tahun 2012 lalu, demi mempertahankan hak-haknya warga Semunying Jaya menyita hampir semua kendaraan operasional, menutup tempat pembibitan, dan menutup perkantoran PT. Ledo Lestari. Perjuangan ini menyebabkan Jamaludin warga bersama Momorus Kepala Desa Semunying Jaya ditahan selama sembilan hari di sel tahanan Kepolisian Resort Bengkayang dan jadi tahanan kota selama 20 hari.

Kasus ini masih terus berkembang dan belum ada solusi yang berpihak kepada kedua korban dan masyarakat adat Semunying. Dalam sidang terakhir (26/11/2015) lalu diputuskan bahwa gugatan tidak diterima dengan alasan ada kekurangan administratif. Dengan pertimbangan hukum hakim menggunakan UU kehutanan, artinya masyarakat adat Semunying harus diakui melalui Perda. Sekarang kasusnya dalam tahap naik banding. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 sebab masyarakat adat diakui keberadaannya pada pasal 18a – 18b.

Hadi Daryanto, Dirjen KLHK menjelaskan beberapa contoh tugas dari Satgas seperti : mengidentifikasi , mengkaji/mengkategorikan seluruh kasus pelanggaran HAM, konflik agraria dan konflik sosial. Menyiapkan/merekomendasikan hak masyarakat adat yaitu : perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Satgas masa berlakunya selama satu tahun, dinaungi langsung oleh Presiden RI, pembiayaan ditanggung APBN, dan mempersiapkan satu Lembaga Independen.

Menurut Prof. Dr. Maria SW Sumardjono , SH., MCL., MPA. , Akademikus Universitas Gadjah Mada, jika Satgas hanya diberikan wewenang satu tahun diragukan mampu mengkaji dan mengkategorikan seluruh kasus, karena konflik yang menimpa masyarakat adat di Indonesia terjadi pada lintas sektor. Menurutnya Satgas masyarakat adat perlu cepat dibentuk. Karena beberapa contoh Perda Masyarakat Adat belum sepenuhnya berjalan dan diakui oleh pemerintah. “Perlu ada tata cara dan kepastian hukum yang jelas untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat,”tegas Maria Sumardjono.

Akademikus Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, menyampaikan bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) statusnya sejajar dengan UU, tidak perlu menunggu revisi kehutanan, karena putusan itu MK sudah mengikat. Jika dibentuk kelembagaan baru maka statusnya harus langsung dinaungi presiden. Untuk menyelesaikan persoalan masyarakat adat sudah seharusnya presiden terlibat langsung dalam penyelesainnya, mengingat banyak masalah kriminalisasi dan klarifikasi.

Berbicara kondisi masyarakat adat sekarang klarifikasinya belum ada, kriminalisasi sudah terjadi. Masalah di masyarakat adat sepanjang dia turun temurun tinggal di daerah tersebut tidak bisa dikriminalisasi, ini merupakan konsekuensi menghormati hukum masyarakat adat dan mengahargai sistem tradisional yang mereka miliki. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga adat, hukum adat, wilayah adat dan tata cara bertahan masyarakat adat dimana hal ini tetap dijunjung tinggi hingga sekarang. Sedangkan subjek hukum masyarakat adat tidak harus sepenuhnya mengacu kepada UU, karena masyarakat adat sudah memiliki subjek hukum sendiri, tentunya harus dijabarkan secara jelas dan rapi.

Etikat baik dari pemerintah dibutuhkan untuk pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pemahaman terhadap hak ulayat masyarakat adat perlu dipahami dengan baik dan menyesuaikan setiap daerah, karena hak ulayat adalah hak bersama namun dapat juga sebagai hak individu karena individu merupakan bagian dari sekelompok masyarakat.

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan berusaha mencari isu untuk media baik untuk publik maupun pemerintah dimulai dengan perubahan iklim agar masyarakat adat dipedulikan dan diperhatikan. Satgas masyarakat adat sudah dibicarakan dan dibahas secara serius dalam forum diskusi tanggal 13 Oktober 2014 lalu. Kemudian ditindaklanjuti pada diskusi (2/11/2014). Berkaitan dengan Sembilan Program Nasional terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kantor Wakil Presiden Boediono. Abdon menyampaikan kekecewaannya,” Jika Masyarakat Adat berurusan dengan sektor-sektor seperti berurusan dengan puluhan negara, seolah-olah ada negara dalam Negara,” papar Abdon.

Menurutnya Satgas Masyarakat Adat akan diusulkan sebagai satu komisi nasional dan wajib dilaksanakan oleh negara, karena dalam Inkuiri Nasional sangat banyak ditemukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Jika lembaga independen akan dibentuk maka harus menyesuaikan dan disingkronkan dengan RUU masyarakat adat. AMAN juga akan berkomitmen terus mengawali proses Satgas ini sampai direalisasikan oleh pemerintah.

Saafroedin Bahar, mendukung penuh pembentukan Satgas masyarakat adat. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia saat ini karena negara sebagai lembaga yang seharusnya menaungi masyarakat adat belum bisa memberikan kepastian hukum. Sangat disayangkan UU dibuat oleh DPR tetapi DPR sendiri tidak memahami atau berpura-pura tidak paham masalah yang terjadi, Putusan MK 35 selalu dihadang secara konseptual. Jika negara ini tidak mengingkari perjanjian sakral 17 Agustus 1945, dimana negara wajib melindungi rakyatnya, tapi saat ini diabaikan oleh NKRI.

Catatan-catatan kriminalisasi seperti di Semunying harusnya dihentikan. KOMNAS HAM juga harus serius menangani dan membela rakyat sebab ada kekhawatiran akan pudarnya pengakuan terhadap Negara Indonesia ini. Pemerintah Daerah juga harus memberikan sanksi kepada PT. LL, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemulihan HAM Masyarakat Semunying. Negara perlu menyadari isu masyarakat adat adalah isu nasional. Perhatian pemerintah penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat adat. **** Paulus Ade Sukma Yadi

Kriminalisasi Marak Ormas Sipil Minta Presiden Bentuk TIM Penyelesaian Kasus
Jakarta 19/6/2016 – Akhir-akhir ini kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan makin marak terjadi di Indonesia. Pada sisi lain penegakan hukum hanya menjadi alat untuk memaksa agar seseorang, kelompok atau institusi tidak meneruskan pekerjaan atau kegiatannya.

Menurut Haris Azhar Koordinator KontraS, kriminalisasi atau bentuk pemidanaan yang dipaksakan tersebut terjadi bukan karena melanggar hukum melainkan karena motif bisnis, persaingan politik dan penerapan hukum acara yang tidak tepat.

KontraS mencatat sedikitnya 25 kasus kriminalisasi terjadi sepanjang 2015 sebagaimana yang disampaikan pada konferensi pers (19/6/2016). Abdul Halim – KIARA menyampaikan sejak 2013 s/d Juni 2016 ada 30 masyarakat pesisir mengalami kriminalisasi terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Jepara, Brebes, Batang. Provinsi – NTB Lombok Timur, Lampung – Tulang Bawang, Sulawesi Tengah – Toli-toli.

Monica dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan ada 220 kasus kriminalisasi terjadi terhadap masyarakat adat pada tahun 2015. Empat orang tetua Semende Banding Agung Bengkulu terjerat UU P3H divonis tiga tahun penjara denda Rp 1,5 miliar masih menjalani tahanan. Bachtiar Sabang dari Sinjai Sulsel juga dijerat UU P3H.

Kasus masyarakat adat paling menghebohkan dialami oleh Bokum dan Nuhu Suku Tobelo Dalam (Togutil), Halmahera dituduh melakukan pembunuhan berantai. Suatu perbuatan yang tidak pernah mereka akui. Secara ruang jelajah (suku Tobelo antara satu dan lainnya memiliki ruang teritorial sendiri-sendiri) TKP sangat jauh dari tempat mereka berada saat peristiwa terjadi serta alat bukti panah bukan khas mereka) pembunuhan itu tidak mungkin dilakukan tersangka. Sebuah pengadilan yang tidak adil dipaksakan untuk mengadili mereka berdua dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Bokum dan Nuhu. Keduanya divonis 14 tahun penjara, denda Rp 100 juta. Sementara fakta lain di wilayah mereka beroperasi sebuah perusahaan tambang.

Dalam kesempatan ini Yahya Zakaria dari KPA menyampaikan bahwa sejak Desember 2015 jumlah kriminalisasi dalam konflik agraria meningkat dari tahun ke tahun. Selama dekade 2004-2014 jumlah pejuang agraria yang ditangkap mencapai 1395 orang.

Beberapa bulan terakhir terjadi kriminalisasi terhadap petani Ujang Sukandi, Rismaludin dari Serikat Tani Indramayu (STI) dijerat UU P3H (pengrusakan hutan) dengan tuduhan merambah hutan tanpa izin. Dalam pemeriksaan terhadap Ujang aparat terbukti melalukan intimidasi. Rismaludin pemimpin Serikat Tani Pagar Dewa, Muara Enim, Prov Sumatera Selatan ditangkap padahal Rismaludin baru saja bebas menjalani hukum selama setahun. dengan tuduhan pengancaman dan pencurian getah karet. Dia kemudian diancam beberapa pasal pidana. Tiga petani Paguyuban Petani Kendal juga dijerat UU P3H, karena lahan yang sudah mereka kuasai sejak dulu diklaim sebagai tanah Perhutani. Realitanya Perhutani telah tukar guling dengan PT Semen Indonesia lalu mengambil wilayah mereka.

Kriminalisasi Awak Media

Kriminalisasi terjadi tidak hanya menyangkut persoalan agraria saja, Asep Komarudin LBH Pers mengatakan tiap tahun setidaknya tiga sampai empat kriminalisasi terhadap jurnalis terjadi. Kebebasan pers dan berekspresi semakin mengkhawatirkan. Menurut data World Press Freedom 2015 posisi Indonesi merah, ranking 138 dari 180 negara. Sepanjang tahun 2015 AJI Indonesia mencatat 43 kasus kekerasan dialami jurnalis tiga diantaranya kasus kriminalisasi.

Kasus kriminalisasi bukan lagi kepada medianya tetapi kepada narasumber, seseorang yang memberi keterangan kritis kepada media namun dituduh melakukan pencemaran nama baik. Dua orang anggota ICW dilaporkan melakukan pencemaran nama baik karena statemennya disejumlah media. Padahal Dewan Pers sudah merekomendasikan bahwa itu proses jurnalistik seharusnya mengikuti UU Pers yang sudah ada. Tapi pihak Bareskrim Mabes Polri tetap melanjutkan laporan tersebut.

Kasus narasumber lainnya menimpa Erwin dianggap menghina lembaga kepolisian karena pernyataannya di acara Lawyers Club. Pernyataan Erwin dalam acara talk show tersebut menyebut Bareskrim adalah mesin kriminalisasi. Kemudian dia dilaporkan dengan pasal 207 KUHP yaitu menghindar dari badan hukum – institusi kepolisian. Kasus lainnya terjadi di Pekanbaru bermula dia adalah korban pengeroyokan sejumlah anggota kepolisian karena mengambil gambar. Lalu dilaporkan balik bahwa dia yang menghina lembaga kepolisian akibat kata-katanya justru saat dipukuli itu. Kasus-kasus pencemaran nama baik lewat media online juga banyak menggunakan UU ETI padahal kritik yang disampaikan menyangkut pelayanan publik.

Asep menyoroti aktifitas pelarangan diskusi di lapangan.”Warga yang seharusnya dilindungi ketika menyampaikan ekspresinya, dihambat dengan alasan jika diskusi tetap dijalankan, polisi tidak bertanggung jawab kalau nanti dibubarkan oleh organisasi massa yang menentang diskusi tersebut. Polisi membuat diskresinya sendiri, bahwa diskusi tersebut tidak bisa dilaksanakan. Padahal tugas polisi seharusnya melindungi warga, malah menjadi aktor yang menghalang-halangi penyampaian kebebasan berekspresi yang sah,” papar Asep.

Hukum Acara

Ichsan Zikry dari LBH menyampaikan bahwa dua orang abdi hukum LBH Jakarta ditangkap ketika mendokumentasikan aksi menolak Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang pengupahan bersama 23 orang buruh pada (23/10/2015). Setidaknya 49 orang dikriminalisasi pada tahun 2015. “Semoga hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi saat Kapolri baru terpilih nanti,” kata Zikry . Dia menambahkan pelanggaran terhadap hukum acara kerap dilakukan, tanpa adanya pengawasan. Tidak adanya pemberitahuan penyidikan saat mulai melakukan penyidikan kepada penuntut umum disebut sebagai hukum acara.

Faktanya sepanjang 2012-2014 dari 600 ribu-an perkara yang diselidiki oleh kepolisian 250.000 diantaranya tidak diberitahukan ke penuntut umum. Seringkali sudah ada tersangka akhirnya mengambang, pada dasarnya hanya polisi yang tahu. Keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan kasus murni ada didiskresi polisi saja. Dari 250 ribu perkara tersebut 47.000 dikembalikan kepada penyidik.

Dalam kondisi seperti itu penyidik cenderung mendiamkan – tidak mengembalikan lagi kasus tersebut kepada penuntut umum – digantung oleh penyidik. Hal ini terjadi secara sistematis dalam skala nasional, bukan hanya karena oknum, tapi sistem yang membuka luas terjadinya kriminalisasi. “Ini catatan buat Kapolri siapapun terpilih nantinya harus bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus kriminalisasi,” pungkas Zikry. KontraS, KPA, KIARA, LBH Pers, AMAN, ICW, LBH Jakarta meminta Presiden membentuk team khusus menangani kriminalisasi. ****JLG

Kalau kita mengamati perdebatan publik yang juga tercermin dalam liputan media massa tanah air, sorotan utama pada hampir seluruh pembicaraan tentang “demokrasi kita” menguatnya pengaruh kapital (politik uang) dalam perebutan jabatan-jabatan politik dalam negeri, mulai dari pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur sampai tingkat presiden.

Situasi itu dengan gamblang bisa kita hubungkan bahwa telah terjadi kecenderungan liberalisasi politik, demokrasi semakin menjauh dari falsafah hidup kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” – Kondisi tersebut merupakan bagian dari perubahan besar dan mendasar yaitu pergeseran nilai hidup dalam Masyarakat Indonesia, dari yang sebelumnya bersifat kolektif (kebersamaan) menjadi semakin individualistik.

Kehidupan bersama sebenarnya sudah mengakar pada budaya politik lokal bangsa-bangsa (nations) hidup dan berkembang sebelum adanya Bangsa Indonesia dimana pengorganisasiannya diwadahi dalam Negara RI. Bangsa atau komunitas merupakan kumpulan individu yang secara turun-temurun hidup bersama dalam satu wilayah terbatas, memiliki tatanan kehidupan yang terbukti mampu menjamin keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.

Bangsa-bangsa dan komunitas-komunitas yang masih menjalankan sebagian atau seluruhnya dari sistem nilai dan ideologi tersebut ditopang oleh pranata sosial, budaya, ekonomi dan politiknya yang khas, kemudian kita kenal sebagai Masyarakat Adat. Masyarakat Adat adalah mereka yang secara tradisional dan turun-temurun sudah tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural, religius yang erat dengan lingkungan ekosistem lokalnya. Setiap komunitas masyarakat adat memiliki kekhasan sendiri, baik dalam sistem politik, sosial budaya dan sistem pengelolaan sumberdaya sendiri.

Sejatinya, hak asal usul Masyarakat Adat atas wilayah adat sampai mengatur kehidupan sendiri bersama komunitas (community-based self-governance) dijamin dalam konstitusi kita sebelum amandemen, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945, sesudah amandemen menjadi Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3).  Mengacu pada pasal-pasal ini, Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional, telah lebih dahulu mengakui dan secara hukum melindungi hak-hak asal-usul, termasuk komunitas masyarakat adat.

Sayangnya, dalam realitas perjalanan kita sebagai bangsa merdeka menunjukkan hal  sebaliknya. Hak Masyarakat adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri berdasarkan hak asal-usul itu secara sistematis dihilangkan oleh pemerintah (sebagai penyelenggara negara) dengan berbagai instrumen yang mengatas-namakan negara.

Pertama, dengan menerapkan (memaksakan) konsep tanah negara dan hutan negara sebagai interpretasi sepihak atas Pasal 33 UUD 1945, pemerintah mengambil-alih secara paksa wilayah-wilayah adat dan sumberdaya di dalamnya.

Ke dua, dengan menerapkan penyeragaman konsep desa secara membabi buta, pemerintah telah menghancurkan otonomi pemerintahan adat lokal (community-based self governance).

Ke tiga, dengan menerapkan konsep pembinaan teritorial TNI (dulu ABRI) sampai ke tingkat desa secara berlebihan. Pemerintah berhasil mengontrol dan mematikan inisiatif-inisiatif komunitas masyarakat adat dalam membangun dirinya sendiri.

Ke empat, dengan perubahan demokrasi Pancasila “permusyawaratan perwakilan” menjadi demokrasi liberal  yang dikendalikan oleh partai-partai politik bersifat oligarki. Masyarakat adat pada perjalanannya menjadi sangat minoritas dalam jumlah pemilih sehingga kehilangan kesempatan mengutus perwakilannya sebagai representasi politik dalam Negara RI.

Masyarakat adat, sebagaimana diekspresikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret tahun 1999 sangat yakin bahwa secara keseluruhan sistem politik dan hukum kita terkini sama sekali tidak berpihak, apalagi melindungi hak-hak adat. Ada yang sangat salah dengan negara ini sehingga harus ditata-ulang, khususnya dalam hubungan ‘Negara’ dengan masyarakat adat.  Perubahan radikal hanya bisa dilakukan jika kita mau merubah pandangan pertama-tama tentang masyarakat adat yang selama ini dikampanyekan penguasa “ilmu” dan modal global sebagai kumpulan orang terbelakang, terasing dan tuna-budaya.

Pada dasarnya masyarakat adat telah memiliki sistim demokrasi sendiri, lengkap dengan mekanisme pertahanan sendiri terhadap berbagai ancaman dan perusakan dari luar, juga pengaturan penggunaan sumber daya untuk menjaga kepentingan bersama atas sumber daya alam dalam jangka panjang. Mereka pun pada tingkat yang berbeda-beda telah berinteraksi dan beradaptasi dengan dunia luar. Hanya saja mekanisme adaptasi dan pertahanan diri itu terkacau-balaukan oleh gempuran sangat keras dan terus menerus disertai dengan pengurasan kekuatan masyarakat adat.

Celakanya, tindakan-tindakan tersebut difasilitasi, didorong bahkan dilakukan oleh birokrasi pemerintah bersama institusi pemerintah lainnya.  Gempuran yang sangat keras terhadap Masyarakat Adat adalah penghancuran sistim politik lokal yang dikenal dengan demokrasi deliberatif, pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah-mufakat.

Bagi Masyarakat Adat, keputusan paling mulia adalah keputusan yang diambil secara musyawarah dimana keputusan diambil berdasarkan akal paling sehat hasil melalui pergulatan pemikiran seluruh kalangan warga adat. Sementara keputusan yang paling rendah nilainya adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dimana keputusan diambil atas kepentingan pragmatis warga yang paling banyak. Kepentingan pragmatis warga yang paling banyak inilah yang kemudian menjadi persoalan demokrasi kita hari ini.

Kedaulatan rakyat dikerangkeng dalam nilai pragmatisme individual warga negara. Di masa lalu, pemerintah berusaha keras “mematikan” perangkat-perangkat demokrasi di komunitas Masyarakat Adat, sebaliknya di sisi yang lain pemerintah malah melegitimasi kekuasaan-kekuasaan di luar Masyarakat Adat untuk masuk dan menguasai Masyarakat Adat dengan membuat atau membiarkan hidup lembaga-lembaga adat buatan pemerintah atau lembaga-lembaga adat yang merepresentasikan kekuasaan-kekuasaan feodal lama di tengah-tengah Masyarakat Adat  (Kekuasaan lama pada zaman kejayaannya juga pernah menindas Masyarakat Adat)

Negara harus berubah – kalau ingin bangsa ini selamat dan masih dalam persatuan yang berdaulat. Pada saat kita menyongsong liberalisasi perdagangan dan investasi global, ini sangat penting. Negara harus memulihkan hak-hak adat dan menegakkan otonomi lembaga-lembaga adat sehingga mereka mampu mempertahankan diri dan jika dibutuhkan mampu melakukan ‘perlawanan’ terhadap berbagai pelanggaran hak politik, sosial, ekonomi dan budaya mereka.

Intervensi negara terhadap sistem politik Masyarakat Adat harus dikurangi seminimal mungkin sehingga kekuatan adat yang masih dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia bisa difungsikan untuk menata kembali struktur dasar ‘negara-bangsa’ Indonesia. Negara harus menjamin kepastian hukum atas hak-hak adat sebagai prasyarat bagi pembangunan bangsa yang mengandalkan kekuatan masyarakatnya, termasuk kekuatan untuk menentukan pilihan pembangunan terbaik bagi dirinya sendiri sesuai kemampuan dan cita-cita mereka tentang masa depan yang lebih baik.

Agenda ke depan. Gerakan masyarakat adat menuju otonomi asli (kedaulatan rakyat) sebagai bagian dari gerakan sosial harus memastikan bahwa sistem politik kita menganut demokrasi partisipatif (participatory democracy) yang menjamin keterlibatan langsung warga Masyarakat Adat dalam seluruh proses pembuatan kebijakan dan hukum yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kehidupannya.

Jalan ke arah ini masih mungkin diupayakan, termasuk dengan memanfaatkan “ruang politik terbatas” yang tertuang dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR RI semata-mata untuk menjadi pijakan awal melakukan perubahan tatanan politik yang lebih mendasar.

Sistem politik baru (masih berupa cita-cita) harus mengakomodasi keragaman sistem-sistem politik yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk membebaskannya dari intervensi luar secara berlebihan (biasanya birokrasi dan DPP/DPW parpol). Diperlukan perubahan mendasar terhadap sistem PEMILU agar memungkinkan keikut-sertaan partai politik lokal dan calon independen dari Masyarakat Adat (tanpa partai politik) bersaing memperebutkan posisi di DPR, DPRD (kabupaten dan provinsi). Untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan di samping presiden, bupati dan gubernur juga harus dipilih secara langsung oleh rakyat yang hidup di wilayah pemilihan itu.

Untuk tingkat nasional atau pusat, perlu mempertimbangkan kembalinya utusan khusus bagi golongan-golongan yang tidak memungkinkan mereka memasuki arena politik demokrasi liberal ini. Juga perlu dipikirkan agar utusan-utusan golongan tersebut memiliki hak politik kolektif yang kuat dalam menentukan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang beragam baik suku maupun agamanya.

Dengan keyakinan bahwa perubahan mendasar hanya akan terjadi kalau dimulai dari “desa/kampung” maka posisi dan peran masyarakat adat – penduduk pedesaan lainnya menjadi sangat penting, antara lain dengan terus-menerus membangun otonomi asli yang berakar pada budaya politik lokal dan kearifan adat. Menerapkan demokrasi partisipatif dalam pengambilan keputusan bersamaa di tingkat komunitas. Menumbuh-suburkan keberanian politik pemimpin-pemimpin lokal “merebut” hak politik komunitas adatnya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan bersama di kalangan Masyarakat Adat yang terkait dengan “posisi Masyarakat Adat terhadap negara, modal dan nilai-nilai baru”. Dari kepemimpinan politik tingkat komunitas inilah Masyarakat Adat kemudian memperkuat dirinya memimpin perubahan pada tingkat yang lebih luas tingkat kabupaten, baru kemudian memasuki arena advokasi di tingkat provinsi, nasional dan internasinal.

Indonesia sebagai negara-bangsa, bangunan utamanya adalah komunitas-komunitas Masyarakat Adat, perlu secara pro aktif mendorong dan mengambil kepemimpinan dalam perumusan instrumen-instrumen hukum internasional yang melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Kenapa kita tidak memulai proses pemulihan martabat dan harkat bangsa ini dengan menempatkan keragaman adat kita sebagai warisan yang luhur, sebagai sumber ikatan kebersamaan kita sebagai bangsa? Bhinneka Tunggal Ika! ****Abdon Nababan****

RUU Pertanahan masuk daftar Prolegnas 2016 dan diproyeksikan untuk  melengkapi UU Pokok Agraria. Bagi masyarakat adat Bab Hak Ulayat/ Wilayah Adat dalam RUU Pertanahan tersebut sangatlah krusial, sebab mengatur tentang hak ulayat di dalam RUU tersebut tidak mudah. Hak ulayat/ wilayah adat merupakan suatu kenyataan yang kompleks menyangkut istilah – menggambarkan secara keseluruhan suatu sistem pengaturan di dalam suatu masyarakat adat.

Pembahasan tentang hak ulayat untuk diatur di dalam RUU Pertanahan diperhadapkan pada keterbatasan ruang lingkup RUU Pertanahan itu sendiri yang mempunyai ruang lingkup pengaturan hanya pada aspek “tanah”. Ketika konsep hak ulayat dijabarkan di dalam RUU Pertanahan sebagai “Sistem Pengaturan Atas Tanah” dalam wilayah adat akan memiliki pengertian yang berbeda-beda, baik itu menyangkut subyek hukum, penamaan, maupun pengaturannya.

Menurut Abdon Nababan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hak ulayat sebagai konsep asli orang Minangkabau tak boleh dibawa ke tempat lain. Kalau konsep itu digunakan di Papua, orang Papua tak punya hak ulayat. Di Bali namanya juga berbeda, di Banten juga berbentuk wewengkon. Jika menggunakan konsep hak ulayat yang sifatnya teritorial, sementara di  Papua sendiri tak masuk kategori hak ulayat sebab di sana bersifat geneologis (hubungan darah).

Di Tanah Batak merupakan konfederasi marga (huta). Tapi yang memiliki kewenangan yang jelas atas tanah adalah huta atau kampung. Tapi dalam kampung ada marga (keluarga) yang juga memiliki aturan sendiri terhadap tanah. Meski isunya adalah tanah ulayat, tapi tampaknya hak ulayat adalah konsep yang abstrak kaitannya dengan kewenangan suatu masyarakat dan jangkauan berlakunya hukum adat. Sementara konsep lebensraum (ruang hidup) Masyarakat Adat sudah jelas. Wilayah adat adalah objek tanah, air, udara dari hak ulayat. Tapi dalam wilayah adat ada hak suku, marga dan lainnya yang perlu diatur.

Bagaimana RUU Pertanahan menyerap, mendefinisikan ulang atau memperbarui hak ulayat. Jika mungkin memperkenalkan wilayah adat sebagai pengganti hak ulayat agar bisa hidup di semua tempat dan relevan untuk seluruh wilayah. Persoalannya bagaimana menggali dan menemukan konsep-konsep yang serupa atau mirip dengan hak ulayat di berbagai tempat dengan konsep-konsep yang beragam tersebut bisa diekstraksi dan diformulasikan menjadi norma hukum.

Hal lain yang disoroti Abdon Nababan adalah peminjaman tanah di wilayah adat untuk kepentingan umum oleh pemerintah. Poin peminjaman harus ada di RUU Pertanahan  karena menimbulkan ketidakpastian terhadap fasilitas umum. Mereka hanya dapat hak pakai dari lembaga adat dan bukan pelepasan. Lembaga adat hanya memberi hak guna dan hak pakai.

Juga terkait perangkat hukum adat sebagai subjek dan objek dari tanah adat. Secara sosiologis soal bentuk pemindahan hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha. Banyak hal yang harus digali menyangkut persoalan sosial maupun analisis dampak sosial.

Bagaimana masyarakat di dalam wilayah adat mengelola harta kekayaan (internal), bagaimana hubungannya dengan kelompok masyarakat atau individu di luar dirinya, bagaimana kerjasamanya dengan perusahaan, dan bagimana sikap terhadap program pemerintah (bukan perusahaan), semua itu perlu diatur.

Direktur Advokasi PB AMAN Erasmus Cahyadi mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini belum bersinggungan dengan kewenangan mengatur obyek wilayah adat dan ruang berlakunya hukum kewenangan masyarakat adat. Padahal sangat berhubungan dengan ruang hidup, seberapa jauh jangkauan berlakunya hukum adat dan seberapa jauh kewenangan lembaga adat itu mengatur teritorialnya.****JLG

Pernyataan Sikap: Rapat Pengurus Besar (RPB) KE XVII AMAN

Rapat Pengurus Besar (RPB) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke XVII yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 2016 di Bogor, Jawa Barat, membahas berbagai perkembangan terakhir terkait Masyarakat Adat di Indonesia. Pertemuan 6 bulanan Pengurus Besar (PB) AMAN ini dihadiri oleh Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) dari 7 Region, Sekretaris Jendral AMAN beserta para deputi dan direktur program, serta Organisasi Sayap dan Badan Otonom AMAN. RPB AMAN ke XVII membahas implementasi