Pernyataan Sikap: Satu Tahun Pemerintahan Jokowi

Pernyataan Sikap: Satu Tahun Pemerintahan Jokowi

PERNYATAAN SIKAP

RAPAT PENGURUS BESAR XVI

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA

Pada tanggal 03-04 November 2015, bertempat di Toraja, Sulawesi Selatan, telah dilaksanakan Rapat Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara XVI (RPB AMAN XVI) yang dihadiri oleh Dewan AMAN Nasional, Sekretaris Jendral AMAN, pimpinan organisasi sayap AMAN, badan otonom AMAN, dan unit-unit kerja khusus AMAN.

Melalui RPB XVI ini, kami kembali menyampaikan penghargaan kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla atas komitmennya terhadap perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat yang telah dengan tegas dicantumkan di dalam Nawacita atau visi-misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Komitmen terhadap perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat tersebut telah diuraikan ke dalam 6 (enam) point, yang terkait dengan peninjauan dan penyesuaian seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan:

  • Pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan sesuai dengan norma-norma hukum yang telah ditetapkan dalam Putusan MK 35/2012
  • Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat;
  • Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam seperti RUU Pertanahan sesuai dengan norma-norma pengakuan dan perlindugan hak-hak masyarakat adat sebagaimana diamanatkan di dalam Putusan MK 35/2012;
  • Mendorong penyusunan undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik agraria;
  • Membentuk komisi independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat;
  • Memastikan penerapan UU Desa berjalan, khususnya mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi UU Desa.

Meskipun telah ada di dalam Nawacita, kami mencatat bahwa selama 1 tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, belum ada operasionalisasi yang jelas terhadap keenam komitmen yang tertera jelas di dalam Nawacita. Kami mencatat bahwa hingga hari ini pemerintah belum menunjukkan komitmen yang kuat pada upaya melanjutkan dan mempercepat pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat menjadi undang-undang.

Berbarengan dengan itu, Satgas Masyarakat Adat yang kami pandang sebagai kunci dari operasionalisasi keenam komitmen dalam Nawacita juga belum jelas kapan akan dibentuk. Padahal pembentukan Satgas Masyarakat Adat ini telah dikomunikasikan pada saat Presiden Joko Widodo menerima AMAN dan perwakilan masyarakat adat untuk berdialog di Istana Negara pada bulan Mei yang lalu.

Tidak hanya itu, Keenam komitmen tersebut tidak begitu jelas diterjemahkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan juga di dalam Rencana Kerja Kementerian/Lembaga. Kami mencatat pula bahwa selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, cara pandang terhadap masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah dan wilayah adat belum berubah. Hal ini dipersulit dengan koordinasi antar Kementerian/Lembaga tidak berjalan dengan baik di dalam aspek pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan MATR No. 9/2015 tentang Hak Komunal. Selain masalah koordinasi, masalah pengakuan dan perlindungan khususnya wilayah adat semakin sulit dilakukan karena Pemerintah hingga saat ini belum menyediakan suatu sistem administrasi mengenai bagaimana suatu wilayah adat mendapatkan legalitasnya. Pemerintah masih berpegang pada PP No. 24 tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah yang hanya mengakomodir pada pendaftaran tanah individu untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah. Di sisi lain, peerintah terlihat belum memiliki keinginan kuat untuk mendesign suatu sistem pendaftaran hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya.

Masalah lain yang menjadi perhatian serius kami belakangan ini adalah masalah kebakaran lahan dan gambut yang telah menyebabkan bencana asap berkepanjangan. Beberapa waktu terakhir ini, masyarakat adat dicemaskan dengan rencana Pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) yang terkait dengan Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA).

Belakangan ini, opini publik diarahkan pada upaya menyalahkan kebiasaan masyarakat adat yang membakar lahan dan gambut dalam membuka lahan untuk sawah dan kebun sehingga menimbulkan bencana asap. Khusus mengenai masalah ini kami menyerukan agar penerbitan PERPPU terkait KARHUTLA tidak diarahkan untuk mengkriminalisasi mayarakat adat yang sejak lama memiliki tradisi pengelolaan lahan dan gambut dengan cara membakar.

Perlu kami sampaikan bahwa tradisi membakar lahan dan gambut untuk bercocok tanam telah berjalan secara turun temurun dan terbukti dalam berabad-abad tidak menimbulkan bencana kebakaran. Pelarangan terhadap kebiasaan ini akan berdampak pada perubahan yang dramatis terhadap pola hidup dan tradisi masyarakat adat.

Kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat juga tidak berkurang. Dalam satu tahun terakhir, AMAN mencatat terdapat 20 orang anggota masyarakat adat yang telah dipenjara. 18 diantaranya disebabkan karena usaha mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya, sementara dua diantaranya disebabkan karena penerapan hukum yang tidak adil. Kriminalisasi dan kekerasan tersebut akan semakin meningkat di masa yang akan datang sepanjang Pemerintah tidak mencabut UU P3H yang menjadi basis hukum dari tindakan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.

Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut, kami Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyatakan sikap:

  1. Mendesak Pemerintah Indonesia dan Partai-Partai Politik untuk mendukung dan menginstruksikan kepada anggota DPR-RI agar memastikan masuknya Rancangan Undang Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) ke dalam daftar RUU Prioritas dan disahkan pada tahun 2016;
  2. Mendesak Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pembentukan Satuan Tugas Presiden untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat atau disebut dengan Satgas Masyarakat Adat;
  3. Mendesak Presiden RI untuk segera mengeluarkan Instruksi Presiden tentang percepatan pengakuan wilayah adat sesuai dengan putusan MK 35/2012;
  4. Mendesak Presiden RI untuk mempertahankan kebijakan tentang moratorium pemberian ijin konsesi di atas kawasan hutan dengan memperkuat instrument hukum tentang moratorium, dan melakukan evaluasi terhadap moratorium yang sudah berjalan;
  5. Mendesak Presiden untuk tidak menjadikan masyarakat adat sebagai target pelarangan dalam mempraktekkan tradisi pengelolaan hutan dan lahan di dalam pembentukan PERPPU tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan;
  6. Mendesak Pemerintah untuk merevisi PP 24 tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah dengan memasukkan hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan wilayah adat sebagai objek pendaftaran tanah dan mendapatkan bukti pedaftaran hak kolektif dari pemerintah;
  7. Mendesak Kementerian/Lembaga terkait untuk melakukan konsultasi secara terbuka dengan masyarakat adat dan organisasi masyarakat adat dalam menterjemahkan keenam visi-misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke dalam RPJMN dan RKP Kementerian/Lembaga;
  8. Mendesak Pemerintah untuk mencabut UU P3H yang telah terbukti menjadi alat hukum bagi penegak hukum dalam melakukan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat;
  9. Mendesak Pemerintah untuk mengevaluasi seluruh kebijakan pemberian izin usaha yang wewenangnya dimiliki Gubernur/Bupati, mencabut ijin Hak Guna Usaha (HGU), HPH, izin tambang dan kawasan-kawasan industri lainnya serta mencabut peraturan perundang-undangan serta pemberian izin yang merugikan masyarakat adat seperti Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang kesemuanya berada di wilayah adat di nusantara yang melanggar hak dan terus menjadi basis hukum dari kekerasan dan kriminalisasi  terhadap masyarakat adat, serta mendesak pemerintah untuk menindak atau menghukum pelaku usaha yang masih beroperasi di lapangan meskipun ijinnya sudah dicabut.

  ——–**——–

Tinggalkan Balasan