Untuk menghindari kerugian yang akan terjadi dan yang tidak dapat diperbaiki, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi masyarakat adat nasional Indonesia, dan Forest Peoples Programme (“Organisasi Pemohon”) dengan hormat meminta Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (“Komite”) mempertimbangkan situasi masyarakat adat Aru dari Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, di bawah prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak dari Komite. Situasi dimaksud menyangkut pemberian izin oleh Republik Indonesia (“Indonesia” atau “Negara”) untuk perkebunan tebu industri besar di atas sebagian besar wilayah leluhur masyarakat adat Aru dan kurangnya jaminan hukum yang efektif terhadap hak-hak masyarakat tersebut. Permintaan khusus diuraikan dalam ayat 19 di bawah ini.
Pada tahun 2010, Bupati Kabupaten Kepulauan Aru mengeluarkan ‘izin prinsip’ untuk konversi hutan alam di Kepulauan Aru menjadi perkebunan. Izin ini didukung oleh Gubernur Maluku, yang mengeluarkan ‘Surat Rekomendasi kepada Menteri Kehutanan untuk Pelepasan Kawasan Hutan ‘ pada bulan Juli 2011. Selanjutnya, pada bulan Februari 2013, Kementerian Kehutanan Indonesia mengalokasikan ‘kawasan hutan’ untuk 19 dari 28 perusahaan yang membentuk Konsorsium PT. Menara Group (“Menara Group”). Setahun kemudian, pada tanggal 6 Februari 2014, Pjs Gubernur Maluku, Saut Sitomorang, juga mengizinkan pembangunan perkebunan tebu di daerah-daerah yang sama. Yang terbaru, pada bulan Juni 2015, Menteri Pertanian mengumumkan bahwa Negara telah menetapkan tiga lokasi untuk pengembangan perkebunan tebu industri dan fasilitas pengolahannya di Indonesia.
Menteri memperlihatkan bahwa, “untuk mencapai swasembada pangan, termasuk gula dan daging sapi, Kementerian Pertanian telah menyiapkan tiga wilayah di Indonesia timur yaitu Aru di Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Merauke, untuk pertanian dan perkebunan tebu”. Pengumuman terbaru ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap bermaksud mendesakkan pembangunan perkebunan di Aru tanpa mempertimbangkan tingginya penentangan dari masyarakat setempat dan dampak ekstrim yang sangat mungkin terjadi terhadap masyarakat adat di sana.
Subjek dari permohonan ini berkaitan dengan pelanggaran yang akan segera terjadi dan masif terhadap hak-hak masyarakat adat Aru atas lebih dari 50 persen wilayah tradisional mereka dan sumber-sumber penghidupan yang terdapat di dalamnya terkait dengan pembangunan perkebunan tebu besar ini. Daerah ini, meliputi wilayah sekitar 484.500 hektar dan sebagian besar pulau-pulau dalam Kepulauan Pulau Aru, telah diberikan kepada Menara Group sebagai konsesi. Luas konsesi ini sama dengan lebih dari setengah wilayah tradisional masyarakat adat Aru dan mencakup lebih dari setengah dari 179 desa mereka. Oleh karena itu, hal ini merupakan situasi mendesak yang sepenuhnya sesuai dengan kriteria yang diadopsi oleh Komite sehubungan dengan prosedur peringatan dini dan tindakan mendesaknya. Selain skalanya besar dan perambahan di tanah tradisional masyarakat adat termasuk untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam. Hal ini juga merupakan situasi yang serius membutuhkan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi skala atau jumlah pelanggaran serius terhadap Konvensi.
Situasi ini menjadi lebih mendesak dan serius mengingat bahwa sebelumnya dan pada beberapa kesempatan Komite telah menyatakan keprihatinan serius tentang perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat adat di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh situasi masyarakat adat Aru saat ini. Pada tahun 2007, misalnya, Komite antara lain, mendesak Indonesia untuk meninjau
kembali undang-undangnya untuk memastikan bahwa UU tersebut menghormati hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah komunal mereka. Komite mengulangi kembali rekomendasi ini pada tahun 2009, mengamati bahwa Indonesia tetap belum memiliki sarana hukum yang efektif untuk mengakui, mengamankan dan
melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya. Demikian juga, pada tahun 2011, 2012 dan 2013, Komite menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang permasalahan yang sama sehubungan dengan pembangunan perkebunan besar di atas tanah adat di Merauke, Papua Barat, jenis perkebunan yang sama yang dalam waktu dekat mengancam Kepulauan Aru dan pemilik adat kawasan tersebut. Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“CESCR”) juga telah mengadopsi rekomendasi-rekomendasi yang rinci di bulan Mei 2014, yang banyak diantaranya menyangkut pengabaian terus-menerus di Indonesia atas hak-hak masyarakat adat dalam kaitannya dengan perkebunan agro-industri.
Deskripsi Umum tentang Kepulauan Aru
Kabupaten Kepulauan Aru terletak di bagian tenggara Provinsi Maluku, berdekatan dengan Australia di Laut Arafura. Kabupaten ini mencakup 187 pulau yang tersebar di seluruh wilayah, yang lima di antaranya adalah pulau besar, dan mencakup area seluas 8.563 km2. Orang-orang yang menghuni Kabupaten Kepulauan Aru berasal dari suku Aru. Mereka percaya bahwa alam dan seluruh isinya adalah mutlak milik para leluhur yang selalu mengawasinya. Dengan pandangan seperti ini, keseimbangan yang secara alami terkandung di alam akan selalu terjaga, karena hal-hal yang merusak seperti eksploitasi yang berlebihan dan yang lainnya dapat terhindar karena adanya kepercayaan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk alamnya selain untuk kebutuhan dasar hidupnya.
Kabupaten Kepulauan Aru sangat kaya sumber daya alam dan budaya. Kepulauan Aru memiliki budaya yang beragam. Ada 12 bahasa adat yang berbeda dengan tujuh di antaranya digunakan oleh kurang dari 2000 orang. Penghidupan sehari-seharinya disandarkan pada hortikultura subsisten (tanaman pokok di sana adalah singkong dan jagung), pengolahan sagu, berburu hewan-hewan besar dan memerangka hewan-hewan kecil di hutan, dan memancing di sungai dan pesisir. Hal ini dilengkapi dengan upah buruh harian dan penjualan hasil hutan dan hasil laut. Secara biogeografis, kabupaten ini adalah rumah bagi berbagai spesies fauna endemik Wallacea antara lain burung cendrawasih, kanguru pohon, kakatua hitam, kakatua jambul kuning Aru, dan kasuari.
Perampasan lahan adat Aru oleh Menara Group
Pada tahun 2012, masyarakat adat yang tinggal di beberapa desa di Kepulauan Aru terkejut mendapati Menara Group melakukan survei atas tanah tradisional mereka untuk keperluan pengembangan perkebunan tebu tanpa pemberian informasi sebelumnya atau tanpa partisipasi efektif mereka dalam pengambilan keputusan. Para pemimpin adat dan warga dari desa-desa di sana berkumpul untuk membahas apa yang sedang terjadi. Kekhawatiran muncul bahwa kegiatan Menara Group akan mengancam lingkungan, tanah dan masa depan mereka. Untuk mendapatkan kejelasan, mereka mencari informasi di Kota Dobo, pusat pemerintahan terdekat. Setelah mendapatkan informasi tentang rencana perkebunan tebu dari Menara Group, mereka membentuk koalisi untuk
mempertahankan pulau-pulau mereka dari kelanjutan rencana pengembangan perkebunan ini. Koalisi ini dengan tegas telah menolak konversi tanah adat tradisional di Aru menjadi perkebunan dan telah memberitahu pemerintah tentang penentangan mereka ini
Informasi yang dikumpulkan menunjukkan bahwa rencana investasi Menara Group telah dimulai pada awal 2010. Pada saat itu, Bupati Kepulauan Aru telah mengeluarkan izin prinsip, izin lokasi,15 dan ‘rekomendasi pelepasan kawasan hutan’16 seluas 481.403 hektr untuk kepentingan rencana Menara Group ini. Hal ini ditegaskan dan disahkan oleh Gubernur Maluku, yang mengeluarkan ‘Surat Rekomendasi kepada Menteri Kehutanan untuk pelepasan kawasan hutan’ pada bulan Juli 2011. Selanjutnya, di bulan Februari 2013, Kementerian Kehutanan Indonesia mengalokasikan lahan hutan untuk 19 dari 28 perusahaan yang membentuk Menara Group. Izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan mencakup total 305.120 hektar18 atau sekitar 50 persen dari seluruh 626.900 hektar lahan di Kepulauan Aru. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 177 Desa dan 99 di antaranya termasuk dalam konsesi Menara Group.
Karena izin yang diterbitkan Negara mencakup hampir 50 persen dari wilayah adat masyarakat adat Kepulauan Aru, izin tersebut secara serius mengancam kepemilikan, pemanfaatan yang harmonis dan bahkan kelangsungan hidup wilayah adat mereka. Skala konversi yang akan dilakukan untuk pengembangan perkebunan tebu monokultur ini juga mungkin akan mengakibatkan
kehancuran pada budaya dan sumber daya ekonomi yang menopang kehidupan mereka. Sumber penghidupan subsistem mereka sebagian besar berasal dari hutan, yang akan ditebang habis untuk 15 Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk membangun perkebunan monokultur di atas area luas dalam wilayah mereka. Hutan juga merupakan lokasi dari tempat-tempat vitalitas budaya dan spiritual yang mendasar, yang juga akan hilang bila hutan dikonversi menjadi perkebunan tebu.
Setelah mendapat izin dari pemerintah pada tahun 2010, pada tahun 2012, Menara Group melakukan survei lahan untuk perkebunan tebu di hutan adat masyarakat adat Aru tanpa konsultasi terlebih dahulu, dan tanpa pemberian informasi tentang rencana tersebut. Masyarakat adat Aru baru menyadari ketika mereka melihat sendiri kegiatan survei yang dilakukan oleh Menara Group. Untuk
mengamankan kegiatan surveinya, perusahaan melibatkan Angkatan Laut dan Kepolisian Republik Indonesia, sebuah praktek yang telah banyak dikritik, termasuk oleh Komite, saat aparat-aparat seperti itu digunakan di tempat-tempat lainnya di Indonesia. Polisi tidak hanya terlibat dalam kegiatan survei perusahaan, mereka juga secara aktif membatasi hak-hak masyarakat adat atas
kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai dengan melarang atau membubarkan pertemuan-pertemuan damai, seperti ketika Polres Aru melarang dan membubarkan musyawarah adat masyarakat adat tentang perkebunan yang digelar di Kota Dobo pada tanggal 11 Desember 2013.
Pada tanggal 23 Oktober 2013, Pengurus Wilayah AMAN Maluku melaporkan situasi Aru kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”) Indonesia. Komnas HAM menyelidiki dan menemukan pelanggaran serius terhadap hak-hak masyarakat adat. Selain itu, pada tahun 2014, Komnas HAM melakukan Inkuiri Nasional terhadap Pelanggaran Hak-Hak Masyarakat Adat di Kawasan utan. Kasus Aru adalah salah satu kasus yang diselidiki dalam proses tersebut. Komnas HAM menemukan antara lain bahwa Negara telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat di Kepulauan Aru”. Namun Negara tidak menanggapi atau bertindak untuk melaksanakan rekomendasi yang diadopsi oleh Komnas HAM dan, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan bulan Juni 2015 oleh Menteri Pertanian, Negara tampaknya memutuskan untuk mengizinkan Menara Group mengembangkan perkebunan di Kepulauan Aru.
Negara telah gagal memenuhi UU Nasional dan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penegakan Hak-Hak Masyarakat Adat saat mengesahkan konsesi Menara Group
Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku mendapati bahwa lisensi Negara dan izin yang dikeluarkan kepada Menara Group telah diberikan sebelum perusahaan memperoleh izin lingkungan yang diperlukan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Ini bertentangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.21 Meskipun adanya cacat ini, Gubernur Maluku menyatakan penilaian dampak post hoc “layak” lewat Keputusan No. 114, 115, dan 116, semuanya diterbitkan tanggal 16 Agustus 2012. Selain itu, tidak ada konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat adat seperti yang disyaratkan oleh UU Perkebunan tahun 2004.22
Dalam Keputusan Nomor 35/PUU-X/2012, yang diterbitkan pada bulan Mei tahun 2013, Mahkamah Konstitusi di Indonesia menyatakan bahwa sebagian isi UU Kehutanan Tahun 1999 tidak konstitusional mengenai bagian yang menyatakan bahwa hutan yang secara tradisional ditempati dan digunakan oleh masyarakat adat termasuk sebagai “hutan negara”. Keputusan ini menggolongkan kembali tanah adat tradisional sebagai tanah yang dimiliki secara perorangan oleh masyarakat adat, bukan sebagai “hutan negara”, dan dengan demikian juga menghapus yurisdiksi Kementerian Kehutanan atas tanah adat tradisional. Keputusan ini pada prinsipnya mengoreksi cacat substansial dalam hukum Indonesia, meskipun UU lainnya tetap menghambat pengakuan dan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak masyarakat adat. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak dianggap mengikat Negara dan Negara masih belum mengadopsi atau melakukan amandemen undang-undang atau peraturan untuk melaksanakan keputusan ini. Seandainya keputusan tersebut telah diadopsi atau amandemen undang-undang atau peraturan telah dilakukan, hal itu akan semakin menegaskan ilegalitas pemberian hak konsesi kepada Menara Group di Kepulauan Aru. Yang semakin memperburuk masalah, seperti ditegaskan oleh CESCR, Negara kemudian mengadopsi undang-undang yang tidak sejalan dengan Keputusan MK 35 tersebut.
Pada bulan Juni 2014, Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya merekomendasikan agar Indonesia mengamandemen legislasi dan peraturan lainnya yang tidak sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, CESCR mendesak Indonesia untuk melakukan penataan batas dan demarkasi batas-batas wilayah adat dan hutan adat, dan untuk menyelesaikan seluruh sengketa
melalui konsultasi dengan perwakilan masyarakat adat dan Komnas HAM.28 Kelanjutan konsesi perkebunan Menara Group di Kepulauan Aru bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan, seperti yang dibahas di bawah, bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia, yang tingkat dan sifat nya melibatkan prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak Komite
Perkebunan Tebu Besar di Kepulauan Aru Akan Menimbulkan Kerugian Yang Tidak Dapat Dipulihkan Pada Masyarakat Adat Kepulauan Aru
Komite, CESCR dan lain-lainnya sebelumnya telah menyatakan keprihatinan tentang ketiadaan kerangka perlindungan hukum yang efektif untuk hak-hak masyarakat adat29 serta adanya inkonsistensi dengan hak-hak tersebut, yang menghambat dan menegasikan praktik dan pemenuhan hak-hak tersebut dalam banyak hal, dalam berbagai ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Tidak ada yang berubah sejak keprihatinan ini dilayangkan. Mereka juga telah mengamati bahwa hak-hak masyarakat adat terus-menerus diabaikan sehubungan dengan pembangunan perkebunan di Indonesia dan bahwa konsekuensi yang ditimbulkan umumnya mengerikan dan berlangsung lama.
Sekali lagi, tidak ada yang berubah untuk sementara, itu adalah kesimpulan dari hasil praktik Negara, dengan kata-kata Komnas HAM, dari pengabaian masyarakat adat di Kepulauan Aru saat menerbitkan konsesi yang mencakup hampir 50 persen dari tanah mereka dan 99 dari ke-177 desa mereka. Kawasan luas milik mereka ini telah dirampas secara legal dan dialihkan ke Menara Group
dan mereka akan sangat kehilangan sumber penghidupan mereka ketika, seperti ancaman dalam waktu dekat ini, hutan-hutan leluhur mereka akan dikonversi menjadi perkebunan industri monokultur.
Mantan Pelapor Khusus tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Rodolfo Stavenhagen, mengidentifikasi perkebunan di Indonesia menempatkan masyarakat adat sungguh-sungguh di ambang kehilangan wilayah tradisional mereka dan dengan demikian menghilangkan mereka sebagai komunitas yang unik. Ini adalah situasi saat ini yang terancam oleh perampasan besar-besaran dan secara paksa atas tanah adat di Kepulauan Aru untuk mendukung Menara Group. Pengambilalihan tanah adat secara masif untuk perkebunan tebu ini juga tepatnya adalah situasi yang dirancang untuk ditangani oleh prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak Komite. Tidak hanya Indonesia telah mengabaikan keprihatinan sebelumnya yang dinyatakan oleh Komite dan
banyak pihak lain ketika pemberian konsesi ini, Indonesia secara terbuka menyatakan di bulan Juni 2015 bahwa konsesi-konsesi tersebut akan dikembangkan lebih lanjut meskipun ada keputusan Mahkamah Konstitusi dan penolakan terang-terangan dari masyarakat adat yang terkena dampak. Dalam hal ini, baik Komite dan CESCR telah jelas menyarankan Indonesia bahwa konsesi-konsesi atau perkebunan dalam arti yang lebih luas adalah tidak sah tanpa persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan dari masyarakat adat yang terkena dampak.
Saat meninjau rencana Indonesia untuk membangun perkebunan kelapa sawit besar-besaran di atas tanah adat di provinsi Kalimantan, Komite menyoroti “ancaman yang ditimbulkannya terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah mereka dan untuk dengan bebas mempraktikkan budaya mereka. Komite menyarankan agar Indonesia meninjau hukum-hukumnya “serta cara hukum-hukum ditafsirkan dan diimplementasikan dalam praktik, untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut menghormati hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah komunal mereka. Komite juga menyarankan agar “Negara mengamankan harta benda dan hak kepemilikan masyarakat lokal sebelum melangkah lebih lanjut” dengan konsesi-konsesi tersebut. Rekomendasi serupa juga dibuat oleh CESCR di tahun 2014. Organisasi Pemohon dengan hormat menyampaikan bahwa ini juga merupakan langkah-langkah tepat yang diperlukan dalam kaitannya dengan situasi masyarakat adat Kepulauan Aru.
Kesimpulan dan Permohonan
Hampir 50 persen kawasan hutan masyarakat adat Kepulauan Aru akan dikonversi menjadi perkebunan tebu jika Menara Group diizinkan untuk melanjutkan kegiatannya lebih jauh. Hal ini akan segera menyebabkan hilangnya mata pencaharian tradisional masyarakat adat Aru di wilayah bersangkutan. Hal ini juga akan mengakibatkan kerusakan besar pada hubungan spiritual antara masyarakat adat Aru dan lingkungannya serta kerugian besar bagi integritas budaya mereka. Meskipun ancaman-ancaman terhadap masyarakat adat ini jelas dan sangat nyata, Negara tidak mengambil tindakan apapun untuk menangani ancaman-ancaman ini atau hak-hak yang akan dilanggar. Sebaliknya, Negara berkomitmen untuk mengizinkan pengambilalihan tanah adat yang masif dan bahaya ekstrim dan kerugian nyata bagi pemilik tradisionalnya.
Berdasarkan hal di atas, Organisasi Pemohon dengan hormat meminta Komite untuk:
a. Memantau dan membuat rekomendasi bawah prosedur peringatan dini dan tindakan segera pada situasi Aru masyarakat adat yang terkena dampak konsesi perkebunan yang diberikan kepada Menara Group, termasuk seperti yang diusulkan dalam ayat 17 di atas;
b. Mendesak Indonesia untuk segera melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Mei 2013 dengan partisipasi yang efektif masyarakat adat serta memastikan bahwa ada standar hukum nasional untuk mengarahkan penerapan hukum oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan keputusan tersebut;
c. Mendesak Indonesia untuk segera mengembangkan kebijakan dan memberlakukan dan mengamandemen undang-undang untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak-hak mereka atas tanah dan wilayah dan cara-cara hidup mereka; dan
d. Mendesak Indonesia untuk mengundang Pelapor Khusus PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, atau menerima permintaan kunjungan ke lokasi.
Download artikel lengkap aru-islands-ew-ua-request-final-bahasa