Tindoki: Rasa Toraja Dalam Musik

Tindoki: Rasa Toraja Dalam Musik

SAMSUNG CAMERA PICTURESPara musisi muda pulang kampung! Bukan karena tak ingin meraih karier bermusik di kota besar lantas menjadi terkenal, melainkan menggali kembali tradisi leluhur dan memulai berkarya dari asal.

Mereka adalah Tindoki, sebuah band yang dimotori oleh sekelompok pemuda kelahiran Toraya (Toraja). Sebagian dari mereka adalah anak muda yang sempat merantau untuk belajar di luar Toraja, tetapi kemudian memilih untuk “pulang” dengan suatu visi besar terhadap budaya. Dalam bahasa Toraja, nama mereka merupakan kombinasi dari kata “tindo” yang berarti mimpi dan “ki” yang berarti kami: “mimpi kami.” Ya, mereka punya mimpi terhadap pelestarian seni musik asli Toraja dengan mengkombinasikan instrumen musik modern dan musik tradisi.

Kesan bermusik dengan sentuhan budaya dapat dengan mudah ditangkap mata ketika personil Tindoki tengah bersiap untuk pentas. Kostum yang mereka kenakan begitu khas. Pakaian bercorak kain tradisi: kain batik atau bate’ sebagai penutup kepala (passapu), baju dari tenun atau pa’tannun bermotif garis-garis (paramba’), sarung tenun yang dilipat di pinggang (sambu’), dan lengkap dengan tas berbahan juga tenun Toraja (sepu’). Sedangkan si penabuh gendang dan perkusi Tindoki mengenakan baju perang Toraja yang terbuat dari tulang dan kulit kerbau serta ikat kepala kepala berupa kepang bunga kering (beke’) yang terbuat dari biang, tanaman yang mirip tebu. Kostum panggung kerap mereka padukan dengan celana denim dan sepatu boots dari kulit. Perpaduan yang kontras, namun apik tersebut tak hanya mereka tunjukkan dari bagaimana mereka menampilkan diri di atas panggung, namun pula dari musik dan lirik yang mereka mainkan.

Awalnya, saya mengenal Tindoki dari cerita kawan di Jakarta. Pada suatu kesempatan, saya beruntung bisa melihat mereka manggung sekaligus mengobrol banyak hal tentang budaya Toraja di Art Center Rantepao, Toraja Utara. Pagelaran musik menjadi salah satu bagian dari rangkaian acara yang diselenggarakan oleh AMAN bersama Handcrafted Films bertajuk “If Not Us Then Who?” (Siapa Lagi Kalau Bukan Kita?), sebuah kampanye kreatif melalui media film dokumenter pendek dan foto tentang persoalan masyarakat adat dan perubahan iklim.

“Ai hi hi!”

Teriakan berlengking (meoli) dari salah satu personil Tindoki dibalas dengan nyaring oleh para penonton. Masing-masing personil bersiap dengan lebih dari satu instrumen musik di dekat mereka. Bagi saya dan penonton lain yang tidak akrab dengan alat musik tradisi Toraja akan merasakan perbedaan yang jelas dan mungkin saja sedikit bingung dengan perkakas yang sebagian besar terbuat dari bambu.

Lantunan alat musik tiup menjadi pembuka. Atmosfir kampung memenuhi gedung tempat berlangsungnya acara. Disusul kemudian, beat musik Rock yang berpadu lentur dengan selingan nada-nada unik yang berasal dari alat-alat musik tradisional yang belum saya tahu namanya. Lagu berlirik bahasa Toraja sudah tentu paling banyak dimainkan. Bernuansa riang dan menggelorakan semangat. Namun untuk menikmati musik yang enak, kita kadang tak perlu menunggu untuk tahu arti dari lirik. Musik adalah bahasa universal. Siapa pun bisa ikut melantun bersama dan menggerakkan badan sebagai ekspresi suka-cita pada apa yang kita dengar, lihat, dan rasakan. Kehadiran Tindoki memeriahkan suasana pemutaran film (screening) dan pameran foto di Art Center.

Usai Tindoki manggung, saya berkenalan dan berbincang dengan Laso’ Rinding atau akrab disapa Monge. Ia adalah vokalis Tindoki yang sekaligus memotori berdirinya band ini. Monge tak hanya mahir mengatur vokal, namun juga memainkan beberapa alat musik tradisional Toraja. Tentu pertanyaan pertama yang terlontar adalah apa sesungguhnya mimpi Tindoki. Sesuai nama mereka: tindo-ki.

Pria muda berambut gondrong itu dengan yakin menjawab cita-cita yang hendak diraih Tindoki, “Kami ingin melestarikan alat musik nenek moyang yang hampir punah!”

Tindoki beranggotakan sembilan lelaki, antara lain Laso’ Rinding Sombolinggi (Monge), Asdem Lebang (Kojek), Erwin Uddu (Sorreng), Denis Paseru (Denis), Fahyul Robert (Betto), Alexander Tikupasang (Dul), Hardi Rupang (Bagong), Arnold Soisa (Arnold), dan Desti Trisnoangga (Inno). Setiap personil Tindoki memiliki beragam profesi selain bermusik dan bisa memainkan lebih dari satu alat musik. Arnold yang guru Bahasa Indonesia sangat fasih bertutur sejarah dan seringkali menyisipkan tradisi lisan dengan nada yang khas dari petikan cerita dalam sastra Toraja. Lainnya, adalah Asdem yang sering berkreasi dengan seni rupa kontemporer serta Inno ialah pelukis, pematung, dan komikus.

Tindoki lahir tahun lalu, tepatnya pada April 2014. Meski baru dibentuk, mereka sudah tampak kompak di atas panggung. Para personil adalah kawan sepermainan. Sebagian dari mereka bahkan sudah pernah bergabung dalam satu band sebelumnya dengan konsep yang berbeda. Setelah yakin pada visi yang sama dan komitmen untuk bermusik dengan “rasa” Toraja, mereka lantas tidak sekadar main dari panggung ke panggung, melainkan keliling kampung. Tujuannya adalah untuk menemui para tetua di berbagai komunitas adat untuk menemu-kembali apa saja alat-alat musik asli Toraja. Mereka tak segan untuk bolak-balik ke kampung tertentu untuk belajar langsung tentang filosofi hingga cara memainkan dan membuat alat-alat musik tradisional yang telah langka. Setiap suara punya makna dalam tradisi Toraja.

“Kami prihatin! Orang Batak misalnya, bisa terus bermusik dengan sulingnya. Masa Toraja ngga bisa?!” ungkap Monge.

Tindoki manggung selama dua hari (25-26 Maret 2014) di Rantepao. Di hari kedua, mereka membuka Bengkel Tindoki, yaitu semacam mini workshop di mana mereka mensosialisasikan alat-alat musik Toraja. Anak-anak sekolah dan anak muda sekitar bisa ikut membuat dan memainkan perkakas musik yang telah langka.

Asdem dikelilingi para pelajar SD yang asyik dan serius membuat alat musik tiup dari tanah liat. Namanya basin-basin atau tulali, biasa dibuat dan dimainkan oleh gembala saat menemani kerbau atau ternak merumput. Arnold dan Monge memperkenalkan pada saya nama dan bentuk alat-alat musik yang baru pertama kali saya lihat.

Ada karombi atau gongga yang terbuat dari bambu dan tali. Cara memainkannya terlihat sederhana, tetapi mencoba membunyikannya perlu keseriusan. Tali pada karombi ditarik-tarik secara lentur sambil diapit di bibir. Gerakan dari bambu yang bergetar akan menghasilkan resonansi suara yang lembut dan mendawai dari getaran napas di kerongkongan. Konon, karombi adalah alat musik tertua yang dibawa leluhur Orang Toraja ketika turun dari langit. Ada juga suling yang disebut te’dek dalam bahasa Toraja dan terdiri dari beragam bentuk dan bunyi. Geso’ dimainkan dengan cara digesek mirip biola. Sedangkan alat musik tiup yang terbuat dari tanduk kerbau disebut barrung. Sambil menyiapkan album yang akan segera rilis, saat ini Tindoki juga sedang berproses membuat dokumentasi buku yang merekam segala pengetahun tentang alat-alat musik dan seni musik Toraja.

Musik mungkin sudah menjadi udara bagi para personil Tindoki. Mereka tidak hanya bermusik untuk sebuah profesi atas capaian suatu karya seni, tetapi musik adalah kehidupan itu sendiri. Darah Orang Toraja yang mengalir dalam tubuh Tindoki adalah identitas yang mereka tegaskan dalam bermusik. Ini bukan cuma soal selera atau aliran musik, melainkan media yang menjadi representasi intelektualitas leluhur Toraja dalam menciptakan budaya bermusik yang terinspirasi dari alam. Dan Tindoki menghadirkannya untuk saat ini dan generasi muda ke depan sebagai warisan tradisi yang dipastikan tidak akan hilang lagi.

Oleh Nurdiyansah Dalidjo

3 Komentar


  1. Kak, boleh tanya ciri khas musik toraja gak? Ciri khas yg membedakan musik toraja dengan musik daerah lain

Tinggalkan Balasan