SBY Sia-Siakan Kesempatan Jadi “Pahlawan” Bagi Masyarakat Adat

SBY Sia-Siakan Kesempatan Jadi “Pahlawan” Bagi Masyarakat Adat

Sarasehanaman logo “Mendorong Pelaksanaan Komitmen Pemerintah Dalam Upaya Percepatan Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat”

     Sorong 16/3/2015 – “UUD dalam implementasinya tidak sederhana. Putusan MK No 35 meralat prinsip-prinsip yang keliru dalam UU no 41 tentang Kehutanan kalimat ‘Negara’ dicoret. Sejatinya Masyarakat Adat adalah penyandang hak, Masyarakat Adat adalah subyek hukum dan Masyarakat Adat adalah pemilik wilayah adat yang sah,” papar Noer Fauzi Rachman Sajogyo Institue-Dewan Pakar Pembaruan Konsorsium Pembaruan Agraria saat membuka sesi Sarasehan “Mendorong Pelaksanaan Komitmen Pemerintah Dalam Upaya Percepatan Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat”.

     Lebih jauh Noer Fauzy Rachman mengatakan,” membaca Putusan Mahkamah Konstitusi No 35 menunjukkan kebiasaan dalam praktek badan-badan dari pemerintah pusat, salah satunya Kementerian Kehutanan. Kebiasaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan dalam prakteknya, menganggap Masyarakat Hukum Adat bukan pemiliknya, Masyarakat Hukum Adat bukan penyandang hak , Masyarakat Hukum Adat bukan subyek hukum, berbeda dengan golongan lain. Padahal urusan hak itu subyek hukum, perusahaan dianggap sebagai pemegang hak, perusahaan dianggap sebagai yang memiliki izin atas wilayah dimaksud dan mengendalikan teritori wilayah itu.

     Kalau untuk meralat kalimat bisa diralat oleh Mahkamah Konstitusi, tapi kalau untuk meralat kebiasaan praktek-praktek lembaga pemerintah, ini adalah sesuatu yang tidak mudah dan kita mengalami proses kelambatan ralat itu. Kita harus fasih membaca Putusan Mahkamah Konstitusi ini, sama seperti orang yang mau belajar berjuang, harus mengerti apa yang menjadi dasar perjuangannya.

     Dari lapangan kita sudah melihat dokumen photo plangisasi hutan adat sebagai pernyataan-pernyataan klaim hutan adat dan terjadi pertarungan di lapangan dengan pemegang izin yang diberikan oleh pemerintah pusat ataupun Taman Nasional, atau mereka yang sudah tinggal di wilayah itu menguasai sebagian dari wilayah adat. Ini harus diselesaikan segera, karena kalau tidak segera diselesaikan ini akan berkembang menjadi suatu pertarungan terus menerus di lapangan.

     Salah satu kuncinya adalah apa yang dibuat oleh pemerintah?, apakah pemerintah bisa meralat atau mengubah keputusan-keputusan pejabat publik? Umpanya satu izin lokasi perusahaan, Ambil contoh yang jauh dari Papua, PT Toba Pulp Lestari 190.000 hektar, ada berapa puluh wilayah adat ada di dalamnya.

     Bagaimana caranya surat izin pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan bisa diubah supaya wilayah adat itu dilindungi dari proses bekerjanya perusahaan PT Pulp Toba Lestari yang menghabisi wilayah adat dari puak masyarakat adat yang ada di situ, ini masih berlangsung, belum selesai. Bagaimana dengan masyarakat adat yang berada di ‘Taman Nasional’? Taman Nasional masih melakukan tindakan represif, seperti yang terjadi di Bengkulu Selatan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan harus menyingkir dari situ dengan cara kekerasan. Saya mengingatkan itu dengan maksud supaya membuka dialog.

     Sayangnya presiden SBY kepemimpinan yang lampau saat Putusan MK terbit, beliau tidak memanfaatkan kesempatannya menjadi pahlawan bagi masyarakat adat. Sebenarnya ada kesempatan dan waktu setelah 16 Mei 2003 sampai periode akhir masa jabatannya November 2014. Padahal RUU Masyarakat Adat sudah ada di DPR dan tinggal disahkan. Tetapi presiden memilih Kementerian Kehutanan untuk mengurus supaya daftar isian masalah terhadap draf RUU DPR malambat, dan itu taktik supaya tidak disahkan DPR. SBY juga tidak segera membentuk unit kerja yang mengurus seluruh konflik-konflik hak-hak masyarakat adat, sebaliknya dia serahkan dan dia biarkan. pemeritah d presiden begitu dia menyerahkan kebijakan pada saat transisi, pemerintah derah berbeda-beda, menyelesaikannya secara masing-masing seperti Malinau. Yang tidak akftif didiamkan saja, sehingga kesempatannya hilang.

       Transisi dari periode SBY bersama Kabinetnya ke Presiden Jokowi dan Kabinet-nya, itu penting untuk diperhatikan karena AMAN bersama para orang-orang yang masuk dalam pembentukan Rumah “Transisi” menekankan apa yang harus dilakukan Jokowi-JK dan Kementrian-Kementrian-nya. AMAN punya usulan dan masuk agenda prioritas Presiden Jokowi. Harus ada pengakuan pemerintahan abai selama 69 tahun, diikuti dengan permintaan maaf. Membentuk unit kerja atau Satgas di kantor presiden untuk mengkoreksi kesalahan masa lalu tersebut. Melakukan rehabilitasi atas korban-korban kriminalisasi terutama mereka yang masih mendekam di dalam penjara, mereka yang berstatus tersangka atau terdakwa atau DPO. Memberi Amnesti-abolisi untuk menghentikan status mereka, untuk menghentikan prosesnya sebagai tersangka atau terdakwa. Presiden perlu membentuk unit kerja mangatasi hal ini karena baru saja terjadi,” Papar Noer Fauzy Rachman.

     Menerima klaim keberadaan masyarakat adat, membentuk komisi nasional perwakilan-perwakilan masyarakat adat. Kita tidak mau lagi diurus sebagai objek. Kita urus wilayah adatnya itu, kita memiliki pengelolaan wilayah adat dan tata gunanya, produktifitasnya dipertinggi,” tutup Noer Fauzy.

     Sarasehan ini rangkainan dari Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di gedung BLKI Sorong (16/3/2015) pagi. Disamping Noer Fauzi Rachman pembicara lainnya adalah Sandra Moniaga anggota Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga, Yance Arizona Epistema, Martin Labo Ketua Legislasi lahirnya Perda Adat Kabupaten Malinau, Himsar Sirait, Deputi Penataan Lingkungan KLH-K Dengan moderator Muhammad Arman. ***

Tinggalkan Balasan