Kotabaru. 4 Januari 2015. Bertempat di Balai Adat Batu Lasung, Desa Cantung Kiri Hilir (CKH), Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, masyarakat dari Desa Cantung Kiri Hilir dan Desa Banua Lawas mendeklarasikan kesepakatan untuk mengambilalih kembali tanah-tanah adat dan tanah-tanah masyarakat yang selama ini digarap oleh PT. Jaya Mandiri Sukses (JMS). Terkait dengan mekanisme dan tata cara penarikan kembali tanah adat akan dilakukan secepat mungkin sesuai dengan keinginan masyarakat di kedua desa tersebut.
Masyarakat berpendapat ada beberapa alasan bagi mereka untuk mengambilalih tanah-tanah yang digarap tersebut. Pertama, tidak ada proses yang baik dalam pengambilan tanah-tanah adat yang digusur PT. JMS. Kedua, tidak ada kejelasan ganti rugi lahan yang digusur oleh pihak perusahaan. Ketiga, adanya beberapa pelanggaran-pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak perusahaan terhadap jumlah lahan plasma masyarakat yang selama ini dijanjikan oleh perusahaan. Saat ini pihak perusahaan telah membuka lahan seluas 2504 hektare, dari total luasan izin mencapai 6700 hektare, namun saat ini pihak perusahaan hanya memberikan lahan plasma seluas 210 hektare, atau kurang dari 20% dari total luasan lahan yang saat ini ditanami, padahal didalam Permentan No. 26 Tahun 2007 dan SK Ditjenbun Kementan No.03/Kpts/Rc.110/1/07 dan beberapa perjanjian lainnya pihak perusahaan menjanjikan lahan petani plasma sekurang-kurangnya 20% dari total luasan lahan yang ditanami.
Keempat, masyarakat menilai ada kejanggalan dalam perizinan PT. JMS terkait dengan Izin Usaha Perkebunan dan HGU perusahaan yang masih belum memiliki kejelasan, selain itu juga di beberapa lokasi penanaman sawit yang dilakukan perusahaan masuk ke dalam kawasan hutan yang belum dialihfungsikan.
Menanggapi permasalahan kasus ini Ketua PW AMAN Kalsel, Yasir Al Fatah mengatakan pemerintah harusnya dapat melakukan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. “Setiap usaha atau pembangunan di Kawasan Adat termasuk didalamnya hutan adat harusnya di dahului oleh Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior Informed Consent /FPIC),” ujarnya, “PT JMS sebagai salah satu perusahaan anggota RSPO harusnya memenuhi kewajiban tersebut. Jika tidak maka wajar masyarakat mendapatkan kembali haknya yang telah diambil oleh pihak-pihak lain dengan cara-cara adat juga.”
Sementara itu Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif WALHI Kalsel berpendapat, “Kami mencatat dalam kurun waktu tahun 2008 – 2014 terdapat 26 kasus perkebunan sawit yang menimbulkan konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Sudah seharusnya pemerintah daerah melakukan penyelesaian akar permasalahan agraria dengan membentuk kelambagaan penanganan konflik agraria di tingkat kabupaten dan provinsi sehingga permsalahan konflik agraria tidak semakin meluas”
Harizajudin, Kepala Departemen Sosial dan Inisiasi Kebijakan Sawit Watch menambahkan pihak perusahaan segera menyelesaikan permasalahan dengan masyarakat. “Pemerintah harusnya dapat bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan nakal yang tidak memenuhi prosuder perijinan yang berlaku sesuai dengan aturan yang ada, jika melanggar harusnya ada tindakan tegas,” jelasnya, “Perusahaan ini diduga telah melakukan pembukaan lahan perkebunan di kawasan hutan serta kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten.”
Kontak Media:
Yasir Al Fatah (Ketua PW AMAN Kalsel) – 0812 5019 8002
Dwitho Frasetiandy (Direktur Eksekutif WALHI Kalsel) – 0856 1831 939
Harizajuddin (Kepala Departemen Sosial dan Inisiasi Kebijakan Sawit Watch) – 0812 1985 3194