AMAN, 22 Januari 2014. Pria itu bernama Rudi Redhani. Ia adalah pendamping usaha ekonomi masyarakat Balai Adat Malaris, Kalimantan Selatan. Di sela-sela lokakarya Wirakoperasi di Bogor ia memaparkan pengalamannya kepada redaksi Gaung AMAN.
Di komunitas Balai Adat Malaris ada kelompok usaha ekonomi yang beranggotakan 28 orang masyarakat adat. Kelompok itu berdiri sejak tahun 2009. “Semula kelompok itu mengerjakan kayu manis organik,” ujar Rudi Redhani, “Namun, hasilnya pada waktu itu kurang memuaskan, sementara untuk mengurus sertifikatnya juga mahal.”
Untuk itulah, lanjut Rudi, mereka membangun usaha baru berupa pembuatan sirup kayu manis. “Usaha itu dimulai tiga tahun lalu,” ungkapnya, “Tapi untuk pengembangan produk baru yang difasilitasi program Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) baru April 2014 lalu.”
Pengembangan produk baru itu, jelas Rudi, adalah minuman kayu manis dan bubuk kayu manis. “Pengembangan produk baru itu adalah upaya kita untuk mengatasi kendala distribusi bila dikirim ke luar Kalimantan Selatan,” ungkapnya, “Kedepan kita akan mengembangkan produk baru berupa teh celup kayu manis.”
Pelanggan produk olahan kayu manis dari kelompok usaha masyarakat adat ini sudah tersebar. “Ada pelanggan kita yang berasal dari Jogjakarta,” katanya, “Untuk bubuk kayu manis kita bisa menghasilkan 150 botol per bulan.”
Menurut Rudi, jika ingin bertambah pendapatan dari masyarakat adat, harus memulai bisnis. “Karena peluangnya ada, permintaannya selalu ada dan stok untuk memenuhi permintaan itu sering kekurangan,” ujarnya, “Saya sering memotivasi kelompok usaha itu untuk terus berkembang, karena usaha bisnis itu tidak perlu mengorbankan aktivitas menyadap karet.”