“Seharusnya kajian dalam naskah akademik yang bersangkutan dengan undang-undang yang diuji
telah dapat menginventarisasi seluruh ketentuan undang-undang Putusan MK,” Maruarar Siahaan
Jakarta 3/12/2014 – Sidang ke-3 uji materi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang berlangsung pada tanggal (3/12/ 2014) menghadirkan tiga orang saksi masyarakat adat yaitu Yoseph Danur (Colol) NTT, Datu Suganda (Cek Bocek) Lombok dan Albertus Mardius (Matemenggungan Siyai) Kalbar serta saksi ahli Maruarar Siahaan
Menurut keterangan saksi tokoh adat Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur Yoseph Danur menjelaskan bahwa di daerah Manggarai terdapat dua kategori penguasaan hutan. Pertama, penguasaan yang dimiliki oleh adat, termasuk wilayah hutannya. Lalu ada penguasaan perorangan dengan penanda batas-batas hak kelola yang ditetapkan oleh nenek moyang dengan menggunakan alam sebagai penanda batas. Meskipun diberikan hak pengelolaan, warga dilarang menebang hutan.
“Tiap gedang (kampung) wilayah kelola, dibuka pemukiman atau kebun-kebun yang disebut lingko. Sampai sekarang lingko masih ada, termasuk wilayah hutannya,” kata Yosep Danur. Akan tetapi pada masa pemerintahan Belanda, ditetapkan tapal batas hutan Manggarai. “Tapal batas ini menurut pengakuan orang tua, ditetapkan secara sepihak di kebun-kebun masyarakat adat. Bahkan kampung adat (gedang) masuk ke dalam kawasan hutan,” tambah Yoseph.
Sedangkan Saksi lainnya, Datuk Suganda menjelaskan bahwa pada 1935 Belanda mengusir masyarakat adat yang tinggal di wilayah Selesek, sehingga masyarakat tersebut dipindahkan ke Desa Lawin. “Dari Lawin mereka tetap mencari nafkah ke wilayah Selesek tadi,” imbuh Suganda. Datu Suganda menambahkan bahwa pada 2011 masyarakat adat tidak boleh lagi mengadakan kegiatan di wilayah tersebut karena dari pihak kehutanan atau pemerintah melarang keras, masyarakat adat tidak boleh lagi melakukan aktivitas di wilayah hutan adatnya itu karena sudah menjadi hutan lindung.
Albertus Mardius dari Matemenggungan Siyai, Kalbar, dalam kesaksiannya menyampaikan bahwa hukum adat mengatur warga kampungnya atau siapapun yang melanggar ketentuan berikut ritual adat di dalam hutan.“Hukum adat berkaitan erat dengan mata pencaharian pokok kami di sana,” papar Mardius. Wilayah adat kami terbelah menjadi dua, wilayah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di Kalteng dan Perkampungan di Kalbar
“Namun pada tahun 2002 pihak PT SBK mengatakan kami tidak boleh lagi mengambil hasil hutan karena sudah ada pemiliknya yaitu pihak kehutanan. Dalam situasi seperti itu kami menutup akses jalan masuk PT SBK, akibatnya ada 6 orang warga kami ditangkap dan ditahan selama 40 hari di Kapolres Sintang. Tanpa ada penjelasan apapun mengapa mereka ditangkap.Setelah penangkapan itu patroli semakin meningkat,” kata Albertus dalam kesaksiannya.
Saksi ahli Maruarar Siahaan menyampaikan bahwa dalam penunjukan kawasan hutan harus memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sehingga jika hal demikian terjadi, maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus memperhitungkan dan mengeluarkannya dari kawasan hutan tersebut agar tidak merugikan masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan,” papar Maruarar Siahaan.
Lebih jauh Maruarar mengatakan, ketidaktaatan akan arah yang telah dirumuskan dalam politik hukum yang harus ditempuh, baik karena kesengajaan maupun kelalaian menyebabkan produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak ke arah used constituendum yang diinginkan dan tidak memenuhi harapan untuk mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi.
“Seharusnya kajian yang dilakukan dalam naskah akademik yang bersangkutan dengan undang-undang yang diuji, telah dapat menginventarisasi seluruh ketentuan undang-undang, putusan MK, dan norma konstitusi yang berhubungan dengan undang-undang yang akan diperbarui atau diubah,” papar Maruarar Siahaan . ***JLG