Perempuan Adat Dayak Punan Dulau

AMAN, 3 Oktober 2014. Hari ketiga Inkuiri Adat region Kalimantan juga memperdengarkan kesaksian perempuan adat Dayak Punan Dulau.

Perempuan itu bernama Sakdiyah. Ia memberikan kesaksian pada Inkuri Adat tentang kekayaan alam dayak Punan Kalimantan Utara – dengan bahasa punan yang diterjemahkan pendampingnya. “Di waktu kecil saya punya rumah di hulu, rumah panjang. Lantainya dari kulit kayu dinidjngnya kulit kayu dan pembatasnya juga,” ujarya seperti ditulis Siti Maemunah, Badan Pengurus Jatam dan Peneliti Sajogyo Institute, di media sosial hari ini (3/10).

Kami, lanjut Sakdiyah, menggunakan rotan untuk mengikut jenang dan gelegar rumah. “Kami juga menyediakan lumbung untuk tempat padi jika kami berladang, lumbungpun dari kulit kayu,” lanjutnya, “Juga perlengkapan sayuran seperti keladi, pisang, padi dan sayuran lainnya.”

Kala itu, menurut Sakdiyah, hidup kami sejahtera karena dengan mudah mendapat yang kami butuhkan, seperti daging dan ikan. “Begitu juga halnya dengan membuat perahu,” ujarnya, “Bapak saya membuat perahu dari kayu yang besar dan mengikatnya dengan rotan, tidak pakai paku.”

Jika ada tamu datang, jelas Sakdiyah, kami mencari daun Opou, yang bisa untuk membuat kipas dan membungkus ketupat. “Obat-obatan tradisonal kami punya dari hutan, apabila anak kami sakit atau demam, seperti pulineson, kageiadang, teguna,” jelasnya, “Teguna digunakan untuk ritual menugal ladang. Hutan kami masih utuh, kami berburu menggunakan Oh. sedangkan perempuan memancing ke sungai. Kami juga mengambil rotan untuk kami jadikan bakul yang kami jual”.

Bulan Mei kemaren, lanjut Sakdiyah, saya mudik ke hulu untuk mencari madu, atau panyih. “Setelah sampai disitu saya kaget melihat keadaan di sana, tak ada pohon-pohon besar, yang sekarang jadi semak belukar,” lanjutnya, “Tapi saya tetap memberanikan diri berjalan ke tepi hutan ditempat kami menginap sampai saya dipatok ular, dan kaki saya berdarah.”

Oleh karena itu, tutur Sakdiyah, kami tak mau perusahaan di tempat kami.”Karena kami tak bisa lagi hidup di hutan. Sedangkan kami di Sekatak buji hanya separuh saja di kampung, sebagian anak muda yang punya anak pergi ke hulu untuk mencari kebutuhan hidupnya”, tutur Sakdiyah.

“Saya mewakili semua masyarakat Punan Dulau menyampaikan apa yang kami rasakan. Kata perusahaan tak beroperasi di wilayah kami sejak 1988, ternyata 2005 dia kembali lagi dan mengakibatkan hilangnya pohon madu, dan buah-buah kami, seperti cempedak, lai dan durian,” tegasnya, “Jadi tak ada lagi yang bisa kami harapkan untik mempertahankan wilayah kami. Jika perusahaan terus di sana, hidup kami akan susah, kemana kami bisa hidup. Apakah dia (perusahaan) bisa menyediakan kami tempat hidup, apakah seperti di langit? jika di langit, siapa yang bisa mengantar, apakah perusahaan bisa mengantar kami ke langit?,”tutup Sakdiyah.

Tinggalkan Balasan